Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Mencari Jalan Keluar untuk MBG: Antara Skema Top-Down dan Bottom-Up

Bisnis | 2025-09-24 17:09:05

 

 

Selama ini distribusi MBG berjalan dari pemerintah pusat, turun ke pemerintah daerah, sekolah, vendor penyedia makanan, baru sampai ke anak didik. Model ini memberi ruang kendali besar pada birokrasi dan vendor, namun minim partisipasi keluarga. Akibatnya:

 

  • Distribusi lambat dan kaku.
  • Risiko penyalahgunaan anggaran.
  • Kontrol kualitas makanan sering gagal di lapangan.
  • Terjadi tragedi keracunan massal.

Dengan target nasional yang besar, model ini justru terkesan “berat di atas, rapuh di bawah”.

Alternatif Bottom-Up: Inspirasi dari Dedi Mulyadi

Sebagai solusi, ditawarkan skema bottom-up dengan cara memberi dana langsung kepada keluarga sebesar Rp15.000 per anak per hari. Uang bisa ditransfer melalui rekening bank, e-wallet, atau QRIS. Dengan begitu:

 

  • Keluarga bisa membeli makanan sesuai kebutuhan gizi anak.
  • Distribusi lebih cepat dan efisien.
  • Pemberdayaan ekonomi lokal meningkat karena pembelian dilakukan di pasar setempat.

Model ini bukan gagasan baru. Mantan Bupati Purwakarta sekaligus tokoh Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pernah mendorong kebijakan serupa dengan pendekatan partisipatif. Baginya, keluarga adalah aktor utama dalam memastikan anak-anak mendapatkan gizi terbaik. Dengan melibatkan orang tua secara langsung, program bantuan lebih manusiawi, akuntabel, dan sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.

Namun, kelemahan skema ini ada pada potensi penyalahgunaan dana—uang bisa saja tidak dipakai untuk kebutuhan anak.

Model Hybrid sebagai Jalan Tengah

Solusi paling realistis adalah kombinasi top-down dan bottom-up. Dalam model ini:

 

  • Anak tetap mendapat paket makanan standar dari vendor (menjamin minimal asupan gizi).
  • Orang tua juga mendapat dana tambahan Rp5.000–7.000 per anak/hari untuk membeli buah, susu, atau lauk sesuai selera anak.

Dengan kombinasi ini, standar gizi nasional tetap terjaga, sementara fleksibilitas keluarga juga terpenuhi.

Roadmap Tiga Tahun MBG Hybrid

 

  1. Tahun Pertama (2025): Audit vendor dan kasus keracunan. Uji coba hybrid di beberapa kabupaten/kota. Edukasi orang tua melalui aplikasi gizi.
  2. Audit vendor dan kasus keracunan.
  3. Uji coba hybrid di beberapa kabupaten/kota.
  4. Edukasi orang tua melalui aplikasi gizi.
  5. Tahun Kedua (2026): Ekspansi ke 50% sekolah dasar. Integrasi dengan sistem digital monitoring. Laporan gizi bulanan berbasis aplikasi.
  6. Ekspansi ke 50% sekolah dasar.
  7. Integrasi dengan sistem digital monitoring.
  8. Laporan gizi bulanan berbasis aplikasi.
  9. Tahun Ketiga (2027): Nasionalisasi penuh model hybrid. Evaluasi efektivitas gizi & efisiensi anggaran. Penetapan regulasi permanen (Perpres/UU MBG).
  10. Nasionalisasi penuh model hybrid.
  11. Evaluasi efektivitas gizi & efisiensi anggaran.
  12. Penetapan regulasi permanen (Perpres/UU MBG).

Penutup

MBG sejatinya hadir untuk menjawab krisis gizi dan stunting. Namun tanpa desain kebijakan yang inklusif, program ini berisiko menjadi beban politik sekaligus sosial. Melalui model hybrid yang terinspirasi dari gagasan partisipatif Dedi Mulyadi, pemerintah tidak hanya menjaga kontrol kualitas, tetapi juga memberikan ruang partisipasi aktif keluarga. Hanya dengan cara itu, MBG dapat menjadi investasi gizi berkelanjutan, bukan sekadar proyek populis yang berakhir dengan skandal.rogram Makan Bergizi (MBG) digadang sebagai proyek raksasa pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak bangsa. Namun, sejak awal pelaksanaannya, kebijakan ini menuai polemik. Selain karena sifatnya yang sangat top-down, kasus keracunan massal yang muncul justru memperlemah kepercayaan publik. Jika tidak segera diatasi, target besar MBG akan terhambat bahkan gagal tercapai.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image