Obor Kemerdekaan Itu Kembali Menyala!
Dunia islam | 2025-09-23 23:48:14Pengakuan negara-negara Barat di panggung dunia laksana retakan baru pada tembok panjang sejarah penjajahan dunia. Retakan itu kini menjadi celah bagi cahaya yang semakin deras menyelinap masuk, dan menjadi penanda perubahan arah sejarah.
Oleh : Ali Amril - Aktivis Filantropi Dunia Islam, CEO QUPRO Indonesia, dan Chairman Aliansi Kemanusiaan Indonesia (AKSI)
Di ruang Sidang Umum PBB, 23 September 2025, suasana menjadi hening sesaat ketika nama Palestina kembali di-gema-kan. Semua kamera tertuju ke podium. Dari mimbar tersebut, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melantangkan suara: “Kita harus mengakui Palestina sekarang! Kita harus menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza!” Kalimat itu menghentak batas-batas formalitas diplomasi. Ia tidak berbicara dengan metafora hampa, ia berbicara dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dari negara yang menjadi saksi sejarah, membawa pesan dari bangsa yang sejak lama berdiri tegak bersama Palestina.
Luka Lama dan Bara yang Belum Kunjung Padam
Palestina adalah luka lama yang tak kunjung sembuh dan jua belum kunjung padam. Sejak 1948, tanah itu menjadi simbol perlawanan dan pengkhianatan, harapan sekaligus nestapa bagi peradaban.
Di Gaza, dunia kerapkali menyaksikan penderitaan yang seolah abadi: anak-anak dihilangkan keluarga dan masa depannya, perempuan berjalan di antara reruntuhan dan puing tempat tinggal mereka, pelaparan dan kelaparan sistemik yang semakin nyata.
Laporan lembaga kemanusiaan mencatat, lebih dari 60 ribu nyawa warga sipil dibunuh dan hilang sejak Oktober 2023. Dari angka itu, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Blokade ketat membuat makanan, listrik, dan air bersih menjadi kemewahan. Rumah sakit beralih fungsi menjadi ruang tunggu menuju kematian.
Prabowo menamai semua itu dengan jelas: “bencana kemanusiaan yang terus berlangsung.” Dunia tahu, bahkan dunia sangat tahu, namun sebagian besar memilih diam dan acuh, berlindung di balik strategi politik dan kalkulasi kepentingan. Bara itu tetap ada, tak kunjung padam meski dipaksa ditimbun puing-puing penjajahan.
Retakan Baru di Tembok Barat
Namun sesuatu kini berubah. Inggris, Kanada, Australia, Portugal, dan sejumlah negara Eropa lainnya kini menyatakan pengakuan terhadap negara Palestina. Bagi banyak orang Palestina, ini bukanlah kabar diplomatik an sich, namun pengakuan atas eksistensi mereka sebagai bangsa.
Prabowo menegaskan bahwa pengakuan Palestina sebagai negara tidak boleh dipandang sekadar simbol belaka. Ia adalah tanggung jawab moral dan historis kolektif bangsa-bangsa dunia. Retakan di tembok Barat ini menunjukkan bahwa meski dominasi politik masih dikuasai oleh sedikit negara, arus nurani global mengalami perubahan arah.
Sejarah penuh dengan lika-liku: tembok Berlin runtuh bukan oleh peluru, namun oleh retakan legitimasi. Begitu pula penjajahan kolonial klasik yang runtuh ketika suara rakyat dunia bersatu. Retakan baru ini bisa menjadi awal bagi keruntuhan sebuah sistem yang terlalu lama menahan hak bangsa Palestina.
Hak Veto: Anomali Dunia yang Membelenggu
Namun, di tengah gelombang harapan itu, ada satu kata yang terus menghantui: veto.
Dewan Keamanan PBB, lembaga yang seharusnya menjaga perdamaian dunia, justru sering menjadi penghalang permanen. Lima negara pemegang hak veto : Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan kolektif negara-negara lainnya.
Dalam isu Palestina, sejarah mencatat: sejak 1945, tidak kurang dari 36 rancangan resolusi terkait Israel-Palestina telah diveto. Dari jumlah itu, 34 dilakukan oleh Amerika Serikat. Resolusi yang menyerukan gencatan senjata di Gaza, resolusi yang membuka akses bantuan kemanusiaan, bahkan resolusi yang mengusulkan Palestina diterima sebagai anggota penuh PBB, semuanya dikandaskan oleh veto.
Tahun lalu pada medio April 2024. Amerika Serikat memveto rancangan resolusi yang mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB, meskipun hampir semua anggota Dewan Keamanan setuju. Dunia kembali terjebak dalam lingkaran anomali: mayoritas bersuara, tetapi minoritas yang berkuasa.
Jika hak veto terus digunakan sebagai penghalang, maka keadilan akan terus ditawan oleh kepentingan politik kekuatan besar. Inilah paradoks: lembaga yang didirikan untuk menjaga perdamaian justru menjadi alat untuk melanggengkan penjajahan.
Indonesia di Panggung Dunia
Dalam situasi itu, suara Indonesia menjadi penting. Sejak era Soekarno, bangsa ini menolak segala bentuk kolonialisme. Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung menjadi saksi: Indonesia mendeklarasikan solidaritas terhadap bangsa-bangsa tertindas, termasuk Palestina.
Kini, 60 tahun lebih kemudian, suara itu kembali di-gema-kan oleh Presiden Prabowo. Ia menegaskan bahwa pengakuan Palestina adalah langkah yang penting, sebuah sikap berada di sisi sejarah yang benar.
Indonesia kini, bukanlah negara superpower, namun keberanian moralnya menjadikannya mercusuar. Kehadiran Indonesia di PBB adalah wujud konsistensi sejarah: berdiri di sisi bangsa yang terjajah.
Dilema Dunia Barat
Meski sejumlah negara Barat mulai mengakui Palestina, masih ada dilema besar: apakah pengakuan ini akan diikuti dengan tindakan nyata? Apakah mereka akan berani menekan Israel menghentikan blokade, mengakhiri pemukiman ilegal, atau membuka akses kemanusiaan?
Ada risiko besar bahwa pengakuan ini hanya menjadi retorika kosong untuk memperbaiki citra, sementara penderitaan Palestina terus berlangsung. Dunia sudah terlalu sering menyaksikan janji tanpa aksi.
Di sinilah ujian moral Barat sesungguhnya. Jika pengakuan hanya berhenti di meja konferensi, maka ia hanyalah kosmetik diplomasi. Namun jika pengakuan diikuti langkah konkret, ia dapat menjadi pintu bagi perubahan arah sejarah.
Momentum Deklarasi New York
Deklarasi New York yang didukung oleh 142 negara anggota PBB menjadi tonggak moral baru. Ia adalah majority voice, suara mayoritas dunia yang tidak bisa lagi diabaikan.
Secara semiotik, deklarasi ini adalah tanda semangat zaman. Dunia bergerak menuju konsensus bahwa Palestina harus merdeka. Meski Dewan Keamanan dengan hak veto masih bisa menggagalkan kembali, namun legitimasi moral sudah dimenangkan.
Dalam sejarah, legitimasi moral selalu dapat menjadi bahan bakar perubahan. Ketika apartheid di Afrika Selatan jatuh, itu bukan semata karena kekuatan senjata, namun karena isolasi moral juga berperan di panggung internasional. Palestina kini berada di jalur yang sama: dari isolasi menuju legitimasi.
Menjaga Nyala Obor Kemerdekaan
Obor kemerdekaan kini kembali dinyalakan oleh dunia. Pengakuan, seruan moral, retakan dalam tembok kekuasaan yang terlalu lama menahan gelombang keadilan, semuanya kembali mengalir deras.
Namun, obor bisa dengan dipadamkam, jika dunia kembali membiarkan veto digunakan hanya untuk melanggengkan status quo. Tugas kita bukan hanya menyalakan obor, namun juga menjaga nyalanya tetap terang hingga menjadi api besar yang membumihanguskan ketidakadilan.
Sejarah akan mencatat: jika dunia gagal bertindak ketika sudah saatnya dan harus bertindak, maka sejarah akan menuntut pertanggungjawaban. Perdamaian sekarang! Pengakuan Palestina sekarang! Bukan pilihan, tapi keharusan!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
