Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Izzul Islamy Buyung Agustian

Dari Deklarasi Aljir ke Jantung London: Jejak Sejarah di Balik Pengakuan Kedaulatan Palestina

Sejarah | 2025-10-01 19:13:34
Kondisi Palestina saat ni yang perlahan menemukan jati dirinya sebagai sebuah negara


LONDON – Pada pagi yang cerah tanggal 22 September 2025, di sebuah jalan di kawasan Hammersmith, London Barat, sebuah plakat baru disiapkan untuk dipasang. Di hadapan kerumunan anggota parlemen, puluhan duta besar, dan warga sipil yang terharu, Duta Besar Palestina untuk Inggris, Husam Zomlot, mengumumkan sebuah momen bersejarah. Bangunan yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai Misi Palestina kini secara resmi akan menjadi "Kedutaan Besar Negara Palestina".

"Di ibu kota yang sama dengan Deklarasi Balfour, setelah lebih dari satu abad penolakan, perampasan, dan penghapusan, pemerintah Inggris akhirnya mengambil langkah yang sudah lama tertunda untuk mengakui Negara Palestina," ujar Zomlot di tengah sorak-sorai hadirin.

Pengibaran bendera Palestina di atas kedutaan barunya di London, menyusul pengakuan resmi dari Inggris, Prancis, Kanada, dan negara-negara Eropa lainnya sepanjang 2024 dan 2025, bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi dalam semalam. Momen ini adalah puncak dari sebuah maraton diplomatik yang melelahkan selama 36 tahun dimana itu menjadi sebuah perjalanan yang dimulai dengan satu proklamasi penuh harapan di Aljir, Aljazair, yang mengubah arah perjuangan sebuah bangsa.

Jejak Sejarah: Dari Janji yang Diingkari hingga Pemberontakan Batu

Kisah ini tidak dimulai di London, tetapi di sana benihnya ditanam. Pada tahun 1917, di tengah kecamuk Perang Dunia I, pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, sebuah dokumen singkat yang menjanjikan dukungan bagi pendirian "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" di Palestina, yang saat itu baru saja direbut dari Kesultanan Utsmaniyah. Janji ini, yang dibuat tanpa persetujuan penduduk mayoritas Arab Palestina yang mencakup lebih dari 90% populasi, memicu konflik yang membara hingga hari ini.

Di bawah Mandat Britania yang dilembagakan pada 1922, imigrasi massal Yahudi dari Eropa ke Palestina difasilitasi, mengubah demografi secara drastis dan memicu ketegangan serta perlawanan dari penduduk asli. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mewarisi masalah ini dari Inggris yang kelelahan, mengadopsi Resolusi 181 pada tahun 1947. Resolusi ini merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara: satu untuk Arab, satu untuk Yahudi. Rencana ini ditolak mentah-mentah oleh pihak Arab, karena memberikan 56% tanah kepada minoritas Yahudi yang saat itu hanya memiliki kurang dari 10% lahan.

Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum Mandat Britania berakhir, para pemimpin Zionis secara sepihak memproklamasikan berdirinya Negara Israel. Perang yang meletus keesokan harinya memicu apa yang dikenal oleh bangsa Palestina sebagai Nakba atau "Bencana". Lebih dari 760.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri dari rumah mereka, dan ratusan desa dihancurkan, menciptakan krisis pengungsi yang belum terselesaikan hingga kini.

Dinamika konflik kembali berubah secara fundamental dalam Perang Enam Hari tahun 1967 , ketika Israel menduduki sisa wilayah Palestina—Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Pendudukan militer ini melahirkan dua sistem terpisah: pemukim Yahudi menikmati hak penuh sebagai warga negara Israel, sementara warga Palestina hidup di bawah pemerintahan militer yang menekan segala bentuk ekspresi politik dan sipil.

Setelah dua dekade hidup di bawah pendudukan, frustrasi rakyat memuncak. Pada Desember 1987, sebuah insiden lalu lintas di Gaza di mana sebuah truk militer Israel menabrak mobil pekerja Palestina dan menewaskan empat orang, menjadi pemicu Intifada Pertama , atau "pemberontakan batu". Gambaran pemuda Palestina yang melemparkan batu ke arah tank-tank Israel menarik simpati global dan menyoroti realitas pendudukan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemberontakan rakyat ini menciptakan urgensi politik yang memaksa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang saat itu berada di pengasingan, untuk mengubah strateginya secara radikal.

Titik Balik 1988: Proklamasi Kemerdekaan di Aljir

Di tengah gejolak Intifada, Dewan Nasional Palestina (PNC) menggelar sidang luar biasa di Aljir pada 15 November 1988. Di sana, Ketua PLO Yasser Arafat membacakan Deklarasi Kemerdekaan Palestina. Ini bukan sekadar manuver retoris; ini adalah sebuah pivot strategis yang diperhitungkan dengan matang. Dengan mendasarkan klaim kemerdekaan pada Resolusi PBB 181, PLO secara cerdas menggunakan kerangka hukum yang sama yang melahirkan Israel, dan dengan demikian, secara implisit menerima solusi dua negara yang menjadi sebuah pergeseran monumental dari piagam awalnya.

Sebulan kemudian, pada 15 Desember 1988, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 43/177 . Dengan 104 suara mendukung, 2 menolak (AS dan Israel), dan 36 abstain, resolusi ini "mengakui" (acknowledges) proklamasi tersebut dan, yang paling penting, memutuskan bahwa sebutan "Palestina" harus digunakan menggantikan "PLO" di seluruh sistem PBB. Ini adalah kemenangan diplomatik pertama yang signifikan, mengangkat status Palestina dari sekadar gerakan pembebasan menjadi entitas kenegaraan di mata dunia.

Perjalanan Panjang Pengakuan: Dari Global Selatan ke Jantung Barat

Deklarasi Aljir segera memicu gelombang pengakuan pertama yang cepat. Dalam hitungan minggu, puluhan negara dari Liga Arab, Gerakan Non-Blok, dan Blok Timur, termasuk Uni Soviet (kini Rusia) dan Tiongkok, secara resmi mengakui Negara Palestina. Namun, negara-negara Barat, termasuk Inggris, Prancis, dan AS, tetap menahan diri, bersikeras bahwa pengakuan hanya bisa datang dari hasil negosiasi damai yang disepakati kedua belah pihak.

Momentum melambat di era 1990-an selama proses Perjanjian Oslo yang penuh harapan namun akhirnya gagal. Alih-alih mengarah pada negara yang berdaulat, Oslo justru menciptakan sistem administrasi mandiri Palestina di bawah kendali permanen Israel, sebuah periode yang menyaksikan pendudukan menjadi lebih mengakar daripada sebelumnya. Selama tahun-tahun "proses perdamaian" dari 1993 hingga 2000, populasi pemukim Israel di Tepi Barat hampir dua kali lipat.

Kegagalan Oslo mendorong Palestina beralih ke strategi "internasionalisasi", memperjuangkan pengakuan melalui PBB. Puncaknya adalah pada 29 November 2012, ketika Majelis Umum PBB memberikan suara mayoritas untuk meningkatkan status Palestina menjadi "Negara Pengamat Non-Anggota"

Titik balik di Eropa terjadi pada 2014 ketika Swedia menjadi negara Uni Eropa pertama di Barat yang mengakui Palestina. Satu dekade kemudian, di tengah krisis kemanusiaan yang parah di Gaza, pintu air diplomatik terbuka lebar. Pada Mei 2024,

Spanyol, Irlandia, dan Norwegia secara terkoordinasi mengakui Palestina, dengan alasan bahwa langkah tersebut diperlukan untuk menjaga harapan solusi dua negara tetap hidup.

Langkah ini diikuti oleh gelombang yang lebih besar pada September 2025, menjelang Sidang Umum PBB ke-80. Negara-negara G7 seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Prancis akhirnya memberikan pengakuan resmi.

Paradoks Kedaulatan: Diakui Secara Hukum, Terjajah di Lapangan

Saat ini, Palestina berada dalam posisi yang paradoks. Secara hukum (de jure), statusnya sebagai negara sangat kokoh, diakui oleh lebih dari 157 dari 193 negara anggota PBB. Statusnya sebagai "Negara Pengamat non-Anggota" di PBB memberinya akses ke berbagai badan internasional, termasuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sejak 2015, sebuah langkah yang secara fundamental mengubah kalkulus risiko bagi para pejabat Israel.

Namun, secara kenyataan (de facto), Palestina belum berdaulat. Wilayahnya tetap berada di bawah pendudukan militer Israel yang oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024 dinyatakan ilegal menurut hukum internasional. Keputusan ICJ ini memperkuat strategi Palestina, dengan memberlakukan kewajiban hukum pada semua negara untuk tidak mengakui atau membantu kehadiran ilegal Israel.

Pengibaran bendera di Kedutaan Besar Palestina di London adalah simbol kuat dari keberhasilan strategi diplomatik jangka panjang yang diluncurkan di Aljir pada 1988. Ini adalah kemenangan yang diraih di atas kertas dan di koridor-koridor kekuasaan global. Namun, bagi warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, yang masih menghadapi krisis kemanusiaan parah dengan puluhan ribu korban tewas dan kehancuran masif, perjuangan sesungguhnya adalah mengubah pengakuan simbolis ini menjadi kemerdekaan yang nyata dan berdaulat di tanah air mereka sendiri.

Daftar Pustaka

Al Jazeera. (2025). Palestinian flag raised outside embassy in London after UK recognition.

Algerie Monde Live. (2024). November 15, 1988 – The Birth of the Palestinian State in Algeria, The Fight Continues.

Amnesty International Indonesia. (2025). Diplomasi HAM kunci penyelesaian krisis kemanusiaan di Gaza, bukan relokasi.

Antara News. (2025). Resolusi PBB, Palestina, dan konsistensi Indonesia di garis depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image