Dari Luka Menjadi Langkah
Pendidikan | 2025-09-23 10:22:15
Awal Perjalanan Belajar
Setiap orang memiliki titik balik yang membentuk cara pandangnya terhadap pendidikan. Bagi saya, titik balik itu hadir sejak duduk di bangku sekolah dasar. Sejak kelas satu, saya dikenal sebagai anak yang rajin, suka bertanya kepada guru, dan memiliki ketertarikan besar pada matematika. Namun, ketika ujian akhir tahun diumumkan, saya hanya berada di peringkat sepuluh dari tiga puluh siswa.
Hasil itu terasa mengecewakan, tetapi justru menjadi pemicu. Saya berjanji pada diri sendiri untuk masuk ke dalam tiga besar pada tahun berikutnya. Hari-hari saya mulai dipenuhi dengan belajar, mengerjakan latihan soal, dan mengikuti les tambahan hingga malam. Usaha itu tidak sia-sia. Di kelas dua, saya berhasil meraih peringkat dua, lalu pada tahun berikutnya menjadi yang teratas.
Meski sistem peringkat dihapus saat kelas empat dan lima karena perubahan kurikulum, semangat belajar saya tidak pernah padam. Saya terus menjaga nilai akademik sekaligus aktif mengikuti lomba olimpiade matematika. Semangat itu berlanjut hingga kelas enam, saat Ujian Nasional mulai membayang.
Sebuah Kalimat yang Membekas
Menjelang ujian, sekolah menyelenggarakan bimbingan belajar gratis untuk tiga mata pelajaran utama: matematika, IPA, dan bahasa Indonesia. Suatu hari di sesi IPA, seorang teman bertanya tentang arti kata kementhus dalam bahasa Jawa. Guru tersenyum lalu menjawab, “Artinya sok pintar contohnya seperti dia itu,” sambil menunjuk ke arah saya.
Bagi sebagian orang, itu hanya gurauan ringan. Namun, bagi anak kecil seperti saya, kalimat itu terasa menusuk. Saya berusaha menahan air mata di depan teman-teman. Malam harinya, saya terus memikirkan: apakah saya terlalu menonjol? Atau justru belum cukup baik di mata guru?
Kalimat sederhana itu meninggalkan luka kecil, tapi kelak justru menjadi sumber kekuatan.
Dari Luka Menjadi Semangat
Beberapa hari setelah kejadian itu, guru yang sama mengumumkan bahwa siapa pun yang berhasil meraih nilai 100 di UN IPA akan mendapatkan hadiah. Ucapan tersebut langsung menyalakan api dalam diri saya. Bukan hadiahnya yang saya incar, melainkan kesempatan untuk membuktikan bahwa saya mampu.
Sejak itu, rutinitas saya berubah total. Pagi hingga malam saya gunakan untuk belajar IPA. Saya menyalin ulang materi, mengerjakan soal-soal lama, bahkan membuat kuis kecil untuk diri saya sendiri. Saat hari ujian tiba, saya mengerjakan soal dengan penuh percaya diri.
Hasilnya diumumkan beberapa minggu kemudian. Saya berhasil meraih nilai sempurna, 100, untuk IPA dan dinobatkan sebagai lulusan terbaik di sekolah. Saat menerima hadiah kecil dari guru IPA, senyum beliau terasa jauh lebih berharga daripada benda apa pun yang diberikan.
Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa motivasi tidak selalu datang dari pujian. Justru, kadang luka kecil atau rasa diremehkan bisa menjadi bahan bakar untuk membuktikan diri.
Pendidikan sebagai Proses Ketahanan Diri
Pengalaman itu menjadi pondasi penting bagi perjalanan akademik saya berikutnya. Saat SMP, saya kembali menjadi lulusan terbaik. Di SMA, tantangan semakin berat. Materi pelajaran lebih rumit, dan persaingan untuk masuk universitas ternama menjadi semakin ketat. Namun, saya mengingat kembali pengalaman masa kecil saya. Rasa diremehkan yang pernah saya alami justru terus memotivasi untuk membuktikan kemampuan.
Akhirnya, saya berhasil menjadi orang pertama dari sekolah saya yang diterima melalui jalur Golden Ticket SNBP di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Capaian ini bukan hanya tentang prestasi pribadi, tetapi juga tentang bagaimana pendidikan telah mengajarkan ketahanan diri, kedisiplinan, dan ketekunan.
Langkah Nyata untuk Membuktikan Diri Lewat Pendidikan
Dari pengalaman ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh siapa pun yang ingin membuktikan diri lewat pendidikan:
1. Ubah Luka Menjadi Energi Positif
Jangan biarkan ejekan atau kegagalan membuat kita berhenti. Jadikan itu sebagai bahan bakar untuk membuktikan diri.
2. Disiplin dan Konsisten
Kesuksesan bukan hasil semalam. Belajar teratur, sedikit demi sedikit, lebih efektif daripada belajar mendadak.
3. Berani Bertanya dan Aktif
Pendidikan bukan hanya soal mendengar, tetapi juga berani bertanya, berdiskusi, dan mencari tahu lebih dalam.
4. Tetapkan Tujuan yang Jelas
Dengan menargetkan nilai contoh: UN IPA 100, memiliki tujuan konkret akan membuat kita lebih fokus dalam berusaha.
5. Seimbangkan Akademik dan Kegiatan Lain
Belajar penting, tapi membangun karakter melalui organisasi, lomba, atau kegiatan sosial juga sangat berharga.
6. Syukuri Proses, Bukan Hanya Hasil
Hadiah atau peringkat hanyalah bonus. Yang terpenting adalah perjalanan yang menempa ketangguhan diri.
Luka yang Menjadi Langkah
Pendidikan bukan hanya tentang guru yang mengajar atau siswa yang belajar. Lebih dari itu, pendidikan adalah perjalanan membentuk pribadi yang tangguh. Saya percaya, setiap anak memiliki kesempatan untuk membuktikan diri, meski jalannya tidak selalu mulus.
Saya ucapkan terima kasih kepada guru saya. Bukan karena candaan atau hadiah yang pernah beliau berikan, tetapi karena tanpa disadari, beliau telah mengajarkan pelajaran berharga, luka dapat berubah menjadi langkah, dan setiap langkah dapat membawa kita menuju masa depan yang lebih baik.
(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
