Dari Hafalan ke Pemahaman: Menata Ulang Arah Pendidikan Indonesia
Pendidikan dan Literasi | 2025-09-20 13:37:53Bayangkan seorang siswa SMP yang dapat mengucapkan rumus luas permukaan tabung tanpa jeda. Namun, ketika diminta menghitung banyaknya air yang bisa ditampung sebuah ember berbentuk tabung, ia terdiam. Kasus ini bukan sekadar anekdot; ia menggambarkan wajah pendidikan kita yang masih sangat berfokus pada hafalan ketimbang pemahaman konseptual.
Hafalan vs Pemahaman
Hafalan bukanlah hal buruk. Kita semua perlu mengingat fakta-fakta dasar—seperti perkalian sederhana atau aturan bahasa—agar dapat berpikir lebih cepat. Namun, ketika hafalan menjadi tujuan utama, siswa kehilangan kesempatan untuk membangun kerangka logika yang memungkinkan mereka memecahkan masalah baru.
Pembelajaran konseptual adalah pendekatan yang menekankan pemahaman “mengapa” di balik sebuah fakta, bukan hanya “apa” yang harus diingat. Seorang siswa yang memahami prinsip luas permukaan tabung, misalnya, dapat mengaitkan konsep itu dengan persoalan sehari-hari: menghitung cat untuk mengecat drum, atau menentukan jumlah bahan dalam kerajinan logam.
Apa Kata Penelitian?
Banyak penelitian internasional menegaskan bahwa pemahaman konseptual memberi dampak jangka panjang yang jauh lebih kuat dibanding hafalan semata. Laporan klasik How People Learn dari National Research Council (2000) menyebutkan bahwa pengetahuan yang terorganisasi secara konseptual lebih mudah diingat, ditransfer, dan digunakan untuk memecahkan masalah baru.
Lebih lanjut, penelitian Henry Roediger dan Jeffrey Karpicke (2006) tentang retrieval practice menemukan bahwa siswa yang berlatih menguji diri (misalnya lewat soal terbuka) mengingat materi lebih lama dibanding mereka yang hanya membaca berulang kali.
John Hattie dalam meta-analisis Visible Learning juga menunjukkan bahwa strategi yang menekankan pemahaman—seperti umpan balik guru yang mendalam dan pembelajaran berbasis proyek—memiliki pengaruh lebih besar pada capaian siswa ketimbang drilling hafalan.
Bukti dari Dunia dan Indonesia
Negara-negara yang berorientasi pada pemahaman konseptual cenderung tampil lebih baik dalam tes PISA yang mengukur kemampuan memecahkan masalah dalam konteks nyata. OECD menegaskan bahwa PISA 2022 tidak hanya menguji matematika atau sains sebagai fakta, tetapi juga kemampuan berpikir kreatif dan penggunaan pengetahuan pada situasi baru.
Indonesia, sayangnya, masih tertinggal. Rata-rata skor siswa Indonesia usia 15 tahun pada PISA 2022 adalah 366 poin untuk matematika, 359 poin untuk membaca, dan 383 poin untuk sains—semuanya jauh di bawah rata-rata OECD (sekitar 472 poin untuk matematika). Hanya sekitar 18 persen siswa yang mencapai Level 2 atau lebih dalam matematika, artinya mayoritas belum menguasai kompetensi dasar. Situasi ini memperlihatkan bahwa apa yang dipelajari siswa di sekolah sering kali tidak dapat digunakan dalam situasi nyata.
Namun ada secercah harapan. Asesmen Nasional yang dilaksanakan Kemendikbudristek menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kompetensi literasi siswa meningkat dari 59,49 persen pada 2022 menjadi 70,03 persen pada 2024. Sementara itu, kompetensi numerasi naik dari 45,24 persen pada 2022 menjadi 67,94 persen pada 2024. Meskipun peningkatan ini menggembirakan, perolehan tersebut belum merata di semua kabupaten/kota—terutama di daerah dengan keterbatasan infrastruktur dan akses guru berkualitas.
Realitas di Lapangan
Guru sering menghadapi tekanan untuk “mengejar target kurikulum” dan “menyiapkan siswa untuk ujian”. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar lebih banyak berisi ceramah, catatan di papan tulis, dan hafalan definisi. Padahal, banyak guru sebenarnya ingin mengajak siswa berdiskusi, melakukan eksperimen, atau menyelesaikan proyek nyata.
Beberapa sekolah yang berani bereksperimen dengan project-based learning membuktikan bahwa anak-anak bisa lebih kritis, kreatif, dan percaya diri ketika diberi ruang untuk memahami. Seorang guru IPA di Kupang, misalnya, menceritakan bahwa ketika siswanya diminta membuat filter air sederhana, mereka bukan hanya mempelajari prinsip penyaringan, tetapi juga menemukan cara kreatif dengan bahan seadanya.
Peran Kebijakan dan Praktik
Perubahan arah pendidikan tidak bisa dibebankan hanya pada guru. Ada setidaknya tiga hal yang perlu dibenahi bersama:
1. Reformasi asesmen
Ujian seharusnya tidak lagi menekankan soal hafalan, tetapi menguji kemampuan aplikatif. Contoh sederhana adalah saat pengujian pemahaman siswa melalui tes berbasis pilihan ganda. Untuk mengembangkan pembelajaran berbasis konsep. Ujian pilihan ganda dapat digantikan menggunakan test berbasis esai. Konsep ujian esai sederhana dapat memberikan ruang siswa untuk mencurahkan hasil pengembangan pemikirannya yang ia susun.
2. Pelatihan guru berkelanjutan
Guru perlu dilatih untuk menguasai strategi pembelajaran konseptual, termasuk diskusi kelas, metode inkuiri, dan penggunaan teknologi pendidikan. Masih banyak guru yang hanya memberikan materi kepada siswa dengan cara memcatat materi. Selain itu, juga diperlukan pemberian pemahaman kepada siswa mengenai tujuan dari pembelajaran sebuah materi yang dipelajari, sehingga siswa dapat memahami mengapa mereka perlu mempelajari materi tersebut dan bisa relevan untuk memecahkan permasalahan di kehidupan sehari-hari.
3. Dukungan kebijakan
Kurikulum Merdeka sudah memberi ruang lebih luas untuk pembelajaran berbasis proyek, namun implementasi harus disertai dukungan sarana, supervisi, dan evaluasi yang konsisten. Target Pendidikan akan sulit dicapai kalau sistem kurikulum yang diterapkan sering berubah ketika perubahan pemangku jabatan. Pendidikan bukan suatu sektor yang hasil capaiannya dapat dilihat dalam jangka waktu yang pendek. Perlu waktu untuk melihat hasil dari penerapan kurikulum, karena Pendidikan diterapkan kepada pembangunan manusia.
Penutup
Pada akhirnya, hafalan hanya akan menjadi fondasi awal, bukan tujuan akhir pendidikan. Tanpa pemahaman konseptual, pengetahuan siswa berhenti pada kemampuan mengulang tanpa bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Pendidikan harus diarahkan agar siswa tidak hanya tahu “apa” tetapi juga memahami “mengapa” dan “bagaimana”, sehingga mereka mampu berpikir kritis, kreatif, dan memecahkan persoalan baru.
Perubahan ini membutuhkan sinergi dari banyak pihak—guru, pemerintah, orang tua, hingga masyarakat luas. Reformasi asesmen, pelatihan guru berkelanjutan, serta kebijakan kurikulum yang stabil akan menjadi kunci keberhasilan. Jika hal ini terwujud, maka sekolah bukan lagi sekadar tempat mencetak penghafal, melainkan ruang lahirnya generasi pemikir dan inovator yang siap menghadapi tantangan masa depan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
