Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Mereka yang Yakin Akan Akhirat

Agama | 2025-09-19 21:01:09

Oleh Muliadi Saleh

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَا لَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَاۤ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِا لْاٰ خِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ

"dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang diturunkan sebelum engkau, serta mereka yakin akan adanya akhirat." (QS. Al-Baqarah: 4)

Ada jalan panjang yang ditempuh manusia untuk mencari kebenaran. Sebagian tersesat di lorong keraguan, sebagian terjebak dalam tirai hawa nafsu, dan sebagian yang lain beruntung dituntun oleh cahaya wahyu. Ayat ini berbicara tentang mereka yang mendapat anugerah agung itu—orang-orang yang hatinya terbuka menerima firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tanpa menolak apa yang diturunkan sebelumnya kepada para nabi terdahulu.

Mereka sadar bahwa wahyu bukanlah episodik yang berdiri sendiri, melainkan rangkaian mata rantai dari Adam hingga Muhammad SAW. Taurat, Zabur, Injil, hingga Al-Qur’an, semuanya berasal dari sumber yang sama: Allah Yang Maha Esa. Maka iman kepada Al-Qur’an berarti juga mengakui validitas risalah yang datang sebelumnya. Mereka tidak membeda-bedakan para rasul. Mereka melihat para nabi sebagai cahaya-cahaya yang berbaris, menerangi zaman demi zaman, hingga cahaya itu sampai pada puncaknya—cahaya Al-Qur’an.

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan: orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang membenarkan semua kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Mereka tidak hanya mengimani Al-Qur’an, tetapi juga menyadari bahwa wahyu terdahulu adalah bagian dari risalah yang sama, meski hukum-hukumnya telah disempurnakan dengan syariat Nabi Muhammad SAW.

Namun ada simpul iman yang membuat mereka tegak berdiri: keyakinan pada akhirat.

Keyakinan ini bukan sekadar prasangka atau harapan kosong. Allah menggunakan kata yuqinun (yakin) yang menunjukkan keteguhan tanpa keraguan sedikit pun. Seperti seseorang yang melihat matahari terbit dengan mata kepala sendiri—demikianlah kepastian yang ada dalam hati mereka terhadap hari kebangkitan.

Al-Qurthubi menafsirkan, keyakinan kepada akhirat adalah fondasi yang membuat amal dunia menjadi bermakna. Tanpa iman kepada hari pembalasan, manusia akan menjalani hidup tanpa arah, seperti musafir yang kehilangan tujuan. Sebaliknya, orang-orang yang yakin akan akhirat selalu menjadikan hidup di dunia sebagai ladang menanam, sementara akhirat adalah musim menuai.

Mereka itulah orang yang hidup dengan dua pandangan. Dengan mata dunia, mereka bekerja, berusaha, membangun keluarga, menata peradaban. Tetapi dengan mata akhirat, mereka senantiasa berhati-hati, takut berbuat zalim, takut menumpuk dosa. Dunia bagi mereka adalah titipan, bukan kepemilikan mutlak. Hidup mereka tidak diikat oleh gemerlap fana, tetapi diarahkan oleh keyakinan bahwa setiap langkah akan dipertanggungjawabkan.

Betapa indah gambaran ini: iman kepada wahyu yang diturunkan kini, iman kepada kitab-kitab sebelumnya, dan keyakinan penuh akan hari akhir. Tiga simpul iman ini bagaikan tiang penopang sebuah rumah. Jika salah satunya runtuh, maka runtuhlah seluruh bangunan. Tetapi jika ketiganya kokoh, maka hidup seorang mukmin akan berdiri tegak, teduh, dan penuh arah.

Maka ayat ini menuntun kita untuk bercermin. Sudahkah kita membaca Al-Qur’an dengan penuh takzim, bukan sekadar suara lantang tanpa penghayatan? Sudahkah kita menghargai risalah para nabi sebelumnya sebagai bagian dari sejarah iman, bukan menafikannya dengan kesombongan? Dan yang paling penting, sudahkah kita meyakini akhirat dengan keyakinan yang hidup, bukan sekadar kata di bibir?

Karena jika keyakinan itu benar-benar hidup, ia akan menjelma dalam sikap sehari-hari. Ia membuat kita lebih jujur, karena tahu setiap dusta akan disingkap. Ia membuat kita lebih sabar, karena tahu setiap kepedihan akan diganti dengan balasan. Ia membuat kita lebih peduli, karena sadar setiap harta akan dihisab.

Hidup ini bukan akhir. Dunia hanyalah ruang tunggu, sementara tujuan sejati ada di hadapan. Itulah pesan ayat ini: bahwa iman tidak parsial, melainkan rangkaian yang utuh—percaya kepada wahyu, menghormati risalah terdahulu, dan meyakini kepastian akhirat. Barangsiapa mengikat erat tiga simpul ini, maka ia akan hidup dengan cahaya, mati dengan husnul khatimah, dan bangkit dengan wajah berseri di hadapan Allah Yang Maha Adil.

Refleksi:

Mari kita jadikan ayat ini sebagai penuntun dalam setiap langkah. Jangan biarkan iman hanya berhenti pada bibir. Mari tumbuhkan ia dalam hati, lalu pancarkan dalam amal nyata. Karena pada akhirnya, dunia ini akan sirna, tetapi keyakinan dan amal saleh akan tetap abadi di sisi Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image