Masjid Percontohan: Dari Jogokariyan hingga Suciati, Merajut Jalan Baru Umat
Agama | 2025-09-18 09:53:52
Ada sebuah pertanyaan sederhana namun mendalam: sejauh mana masjid hadir dalam denyut kehidupan umat?
Pertanyaan ini bergema dalam rangkaian kegiatan Pembinaan Masjid Percontohan 2025 yang digelar Kanwil Kemenag DIY, (16-17/9/2025) menghadirkan banyak tokoh, narasumber, dan juga praktik nyata pengelolaan masjid yang inspiratif.
Sejak awal, semangat acara ini terasa jelas. Bukan hanya bicara tentang administrasi, regulasi, atau manajemen masjid, melainkan upaya serius menghidupkan kembali ruh masjid sebagai pusat peradaban. Dari ruang diskusi hingga kunjungan lapangan, satu hal yang nyata: masjid tak boleh berhenti di sajadah, ia harus menjelma menjadi rumah besar bagi umat.
Menggugah dari Jogokariyan
Cerita yang disampaikan Ustadz Jazir ASP, Ketua Dewan Syuro Masjid Jogokariyan, selalu segar dan menyentuh akar persoalan. Ia mengawali dengan hal sederhana: data jamaah. Siapa yang sudah salat? Siapa yang belum? Dari sinilah lahir program “mensholatkan orang hidup” hingga menjadikan salat berjamaah sebagai prioritas gerakan.
Yang menarik, Ustadz Jazir mengajarkan bagaimana masjid dikelola dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Bukan pengurus saja yang menentukan arah, tapi seluruh warga diajak menyusun “garis-garis besar haluan masjid”. Akhirnya, muncul ide-ide orisinal seperti bimbingan salat untuk warga yang belum terbiasa, program pendidikan anak, hingga pengembangan ekonomi umat berbasis wakaf produktif.
Dari Jogokariyan kita belajar, masjid yang hidup bukan karena bangunan megah, melainkan karena denyut jamaahnya.
MADADA: Masjid Berdaya dan Berdampak
Dari tingkat nasional, Akmal Salim Ruhana, Kasubdit Kemasjidan Ditjen Bimas Islam, memperkenalkan konsep MADADA – Masjid Berdaya dan Berdampak. Sebuah gagasan yang mengingatkan kita pada sejarah Rasulullah, ketika masjid adalah pusat dakwah, pendidikan, bahkan perlindungan sosial.
Di era modern, tantangan umat kian kompleks: kemiskinan, stunting, pinjaman online, hingga perjudian digital. Masjid diharapkan tidak pasif, tetapi aktif menjadi pusat solusi. Dari sertifikasi tanah wakaf, perlindungan sosial bagi marbot, hingga sinergi dengan lembaga zakat dan wakaf—semua menjadi agenda nyata.
MADADA membuka cakrawala baru bahwa masjid bukan hanya milik jamaahnya, melainkan juga pilar bangsa.
Sinergi dan Inspirasi dari Suciati
Hari kedua, para peserta diajak ke Masjid Suciati Saliman Sleman, masjid yang pada 2024 meraih penghargaan nasional sebagai masjid percontohan di ruang publik. Di sinilah semangat teori bertemu dengan kenyataan.
Ibu Atie Raharjo, putri almarhumah Suciati, berbagi cerita bahwa masjid bukan sekadar bangunan, tapi warisan nilai pelayanan. Sementara Muhammad Nur Affandi, takmir masjid, memaparkan bagaimana Suciati menjadi ramah untuk anak, lansia, difabel, hingga wisatawan. Peserta juga melihat langsung fasilitas masjid: bersih, lengkap, teratur, dan penuh keramahan.
Di Suciati, kita belajar bahwa masjid bisa tampil megah, tapi tetap hangat dan membumi. Sebuah kombinasi yang kerap hilang dari wajah masjid modern.
Refleksi: Masjid, Rumah Bersama
Dari rangkaian kegiatan ini, jelas bahwa revitalisasi masjid bukan pilihan, melainkan keharusan. Masjid adalah tempat ibadah, tapi juga ruang edukasi, pusat solidaritas, sekaligus mercusuar nilai.
Kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah masjid di sekitar kita sudah ramah bagi anak muda, bagi lansia, bagi difabel? Apakah masjid hadir memberi solusi pada persoalan ekonomi dan sosial? Ataukah masih sebatas ruang ritual yang sepi setelah adzan berkumandang?
Masjid Jogokariyan menunjukkan kekuatan basis data dan partisipasi jamaah. Konsep MADADA menunjukkan arah kebijakan nasional yang berpihak pada pemberdayaan. Masjid Suciati menunjukkan bagaimana profesionalisme dan keramahan bisa berjalan beriringan.
Semua itu memberi pesan bahwa masjid bisa, dan harus, menjadi rumah bersama. Rumah di mana hati tertambat, ilmu bertumbuh, solidaritas menguat, dan iman semakin kokoh.
Jalan ke Depan
Tentu tantangan masih banyak. Tidak semua masjid punya sumber daya seperti Suciati atau keberanian eksperimentasi seperti Jogokariyan. Tetapi semangat revitalisasi ini adalah titik awal yang tak boleh berhenti.
Langkah sederhana bisa dimulai: menghidupkan jamaah subuh, mendata kondisi warga sekitar, membuka ruang untuk anak-anak dan remaja, memberi ruang kreatif bagi budaya Islami, hingga mencoba wakaf produktif skala kecil.
Masjid tidak boleh lagi terjebak dalam “ritualisme sempit”. Ia harus hadir di tengah problem umat, mengulurkan tangan ketika masyarakat butuh, dan menyalakan cahaya harapan ketika kegelapan melanda.
Akhirnya, kita kembali pada pesan sederhana namun kuat: masjid adalah rumah kita bersama. Jika kita merawatnya, ia akan merawat kita. Jika kita menghidupkannya, ia akan menghidupkan umat. (@fauzi)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
