Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Etika Bermedia Sosial: Mengkritik dengan Santun, Bukan Mencaci

Didaktika | 2025-09-17 20:07:16
Diskusi Seri Ke-2, KKA IAI Rawa Aopa Konawe Selatan (Dok ISW)

Catatan ini dari diskusi jurnalisme dalam rangkaian kegiatan Kuliah Kerja Amaliah Institut Agama Islam Rawa Aopa Konawe Selatan, 17 September 2025.

Di era digital, media sosial menjadi wadah tak terbatas untuk menyuarakan kritik, opini, dan aspirasi. Namun, kebebasan berekspresi ini sering kali disalahgunakan, berubah menjadi ajang caci maki dan penyebaran informasi yang tidak akurat. Lantas, bagaimana kita bisa memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menyuarakan kritik secara efektif, etis, dan konstruktif?

Kekuatan Kritik yang Santun dan Cerdas

Mantan wartawan senior, Zulkarnain Hamson, berbagi pengalamannya tentang bagaimana kritik yang disampaikan dengan santun bisa jauh lebih efektif daripada makian. Ia mencontohkan dua pengalamannya. Pertama, saat menghadapi antrean panjang mobil akibat kelangkaan BBM, alih-alih mencaci, ia justru mengunggah foto antrean tersebut di Facebook dengan ucapan "Terima kasih Pertamina telah membuat antrean hampir dua kilometer."

Sindiran halus ini berhasil menarik perhatian pihak terkait. Keesokan harinya, kantor wilayah Pertamina mendatangi Bupati, meminta maaf, dan melakukan inspeksi mendadak ke SPBU.

Contoh kedua, Zulkarnain menulis status sindiran tentang jalanan rusak di sebuah kabupaten, menyebutnya sebagai "offroad di tengah kota." Dalam waktu sebulan, jalanan yang rusak parah itu diperbaiki. Kunci keberhasilan dari kedua kasus ini adalah penggunaan sarkasme dan sindiran yang cerdas, bukan kata-kata kasar yang memicu amarah negatif.

Membedakan Fakta dan Opini

Ismail Suardi Wekke menambahkan perspektif lain. Ia menekankan pentingnya membedakan antara fakta dan opini, sebuah hal yang sering kali diabaikan di media sosial. Sering kali, opini personal disebarkan seolah-olah sebagai fakta, yang berujung pada fitnah dan berita bohong.

Dalam konteks kritik, sebuah opini haruslah didasarkan pada fakta yang valid. Sebagaimana ajaran dalam agama dan etika jurnalistik, kita harus selalu memastikan sumber (dari mana informasi berasal) dan isi (apakah kontennya bermanfaat dan tidak menyebarkan keburukan). Sebagai contoh, meskipun sebuah berita tentang korupsi itu benar, menyebarkannya tanpa etika dan konteks yang jelas, terutama jika itu dapat merugikan pihak lain (misalnya, anak dari pelaku korupsi), adalah tindakan yang perlu dipertimbangkan kembali.

Empat Fakta dalam Jurnalisme Forensik

Zulkarnain Hamson memaparkan empat jenis fakta yang harus dikuasai oleh seorang jurnalis, maupun pengguna media sosial yang kritis:

 

  1. Fakta Empirik: Fakta yang didasarkan pada pengamatan langsung dan data.
  2. Fakta Publik: Fakta yang sudah diketahui oleh khalayak luas.
  3. Fakta Psikologis: Fakta yang berkaitan dengan persepsi, ingatan, dan interpretasi individu terhadap suatu peristiwa.
  4. Fakta Opini: Pendapat atau sudut pandang pribadi yang tidak selalu didasarkan pada fakta empiris.

Memahami perbedaan ini sangat krusial agar kritik yang disampaikan tepat sasaran. Banyak orang, termasuk sebagian jurnalis, tidak mampu membedakan jenis-jenis fakta ini. Mereka mengkritik bupati atas kerusakan jalan yang sebenarnya merupakan kewenangan menteri. Akibatnya, kritik tersebut tidak berdampak, bahkan menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak berwenang.

Menuju Ekosistem Digital yang Etis dan Produktif

Pada akhirnya, diskusi ini mengajak kita semua untuk berkontribusi pada ekosistem digital yang lebih sehat. Ini bukan hanya tanggung jawab para ahli, akademisi, atau pemerintah, tetapi juga tanggung jawab setiap individu. Kita harus mulai dengan diri sendiri, menyaring informasi sebelum membagikannya dan memastikan setiap kritik yang kita sampaikan bertujuan untuk kebaikan bersama.

Sudah saatnya kita semua menyadari bahwa kebebasan berekspresi di media sosial bukanlah izin untuk mencaci maki. Sebaliknya, itu adalah kesempatan untuk menjadi agen perubahan yang positif melalui kata-kata yang bijak, cerdas, dan santun.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image