Menjaga Ruh Dakwah dalam Sunyi: Tradisi Kultum sebagai Napas Kader Muhammadiyah
Agama | 2025-09-16 16:03:50Menjaga Ruh Dakwah dalam Sunyi: Tradisi Kultum sebagai Napas Kader Muhammadiyah
Oleh: Amir Hady (Sekretaris PWM Kaltim)
Dalam dinamika gerakan Muhammadiyah, tidak hanya aktivitas programatik dan struktural yang menjadi penanda hidupnya organisasi, namun juga ruhaniyah kader yang terus diasah. Salah satu medium yang khas dan mengakar dalam tradisi Persyarikatan adalah kultum—kuliah tujuh menit—yang disampaikan dalam berbagai forum, mulai dari pengajian, rapat, hingga pertemuan struktural. Meskipun durasinya singkat, kultum memiliki kekuatan membentuk karakter, memperkuat ruh perjuangan, dan menjaga orientasi dakwah.
Artikel ini mengulas pengalaman dan refleksi dari seorang kader Muhammadiyah yang aktif menyampaikan kultum, baik secara terjadwal maupun spontan, dalam berbagai forum organisasi. Di antara tema yang paling sering diangkat adalah keikhlasan, kesyukuran, dan kesabaran—tiga nilai inti yang tak lekang oleh waktu, dan senantiasa relevan dalam dinamika gerakan Islam modern ini.
Tradisi Kultum dalam Muhammadiyah: Ciri dan Fungsi
Kultum dalam lingkungan Muhammadiyah bukan sekadar formalitas atau pemanis pembuka acara. Ia adalah bagian dari dakwah bil hikmah yang sangat fungsional. Biasanya disampaikan setelah salat berjamaah, dalam pembukaan suatu acara pertemuan, atau dalam pembukaan rapat organisasi. Durasi singkatnya justru menjadi tantangan tersendiri: bagaimana menyampaikan pesan yang kuat dan bernas dalam waktu yang terbatas?
Dalam Muhammadiyah, kultum umumnya diawali dengan kutipan ayat Al-Qur’an atau hadis, sesuai dengan semangat tarjih: semua pandangan dan nasihat harus berpijak pada dalil yang kuat. Setelah itu, isi kultum mengalir dengan gaya reflektif dan aplikatif—membumi dengan kehidupan kader maupun realitas organisasi.
Karena itu, kultum menjadi sarana kaderisasi yang efektif. Ia melatih keberanian bicara di depan publik, memperkuat pemahaman agama, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab moral terhadap umat.
Keikhlasan, Kesyukuran, dan Kesabaran: Tema yang Tak Pernah Usang
Dari sekian banyak tema kultum, keikhlasan, kesyukuran, dan kesabaran menjadi materi yang tak pernah habis digali. Nilai-nilai ini menjadi fondasi penting dalam gerakan dakwah, terutama dalam Muhammadiyah yang dikenal sebagai gerakan amal tanpa pamrih.
Keikhlasan mengingatkan bahwa seluruh amal, sekecil apapun, hanya bernilai jika dilakukan karena Allah. Dalam kerja struktural Muhammadiyah yang kadang tidak nampak oleh publik, keikhlasan menjadi sumber energi tak terlihat yang menggerakkan banyak hal.
Kesyukuran menjaga hati agar tetap lapang dan bersyukur atas setiap capaian, sekecil apapun. Dalam organisasi, tak semua usaha dihargai secara langsung. Sikap syukur menjauhkan kader dari sifat mengeluh, dan menanamkan keyakinan bahwa setiap jerih payah selalu dilihat Allah.
Kesabaran adalah bahan bakar utama dalam dakwah yang penuh tantangan. Dalam kondisi minim sumber daya, penolakan masyarakat, atau friksi internal, kesabaran menjadi pilar utama yang menjaga kader tetap istiqamah di jalan perjuangan.
Ketiga tema ini bersifat evergreen. Meskipun disampaikan berulang kali, ia tetap relevan dan menyentuh—karena menyentuh sisi terdalam jiwa manusia yang sedang berjuang dalam jalan Allah.
Pengalaman Spontan, Ruh yang Mengalir
Dalam berbagai rapat rutin PWM, biasanya sudah ditunjuk siapa yang akan mengisi kultum beserta cadangannya. Namun tak jarang, kondisi memaksa kader untuk menyampaikan kultum secara spontan, menggantikan yang berhalangan hadir atau terlambat tiba. Dalam situasi seperti ini, kesiapan mental dan wawasan keislaman menjadi kunci.
Kultum spontan yang disampaikan tanpa teks, namun diawali dengan ayat atau hadis, justru seringkali lebih mengena. Karena ia lahir dari kejujuran hati dan refleksi personal terhadap kondisi jamaah maupun organisasi. Ketika seorang kader berdiri menyampaikan kultum, ia tidak hanya berbicara kepada orang lain, tetapi juga sedang menasihati dirinya sendiri.
Seperti diungkapkan oleh salah satu kader, “Yang paling berat dari kultum itu bukan saat menyampaikan, tapi saat mencoba mengamalkan yang disampaikan.”
Pengalaman Paling Membekas: Ruh Ikhlas dari Ranting
Dari berbagai forum kultum—rapat PWM, pertemuan, musyawarah—yang paling membekas bagi sang kader adalah saat menyampaikan kultum di ranting Muhammadiyah di pedesaan. Ranting merupakan unit terkecil dalam struktur Muhammadiyah, namun di sanalah ruh perjuangan paling tulus justru hidup.
Keterbatasan fasilitas, minimnya dana, dan akses yang serba terbatas tidak menyurutkan semangat para kader ranting untuk menghidupkan Muhammadiyah di tengah masyarakat. Mereka mengelola masjid, mengajar anak-anak, dan menjadi penggerak sosial dengan sumber daya yang sangat terbatas. Namun, semangatnya luar biasa.
Ketika menyampaikan kultum di tempat seperti itu, bayangan tentang perjuangan mereka memenuhi kepala dan hati. Kata-kata yang keluar menjadi lebih jujur, lebih reflektif, dan lebih bermakna. Karena ruh dakwah yang dirasakan bukan dari buku, tapi dari kenyataan.
Di sinilah kultum benar-benar menjadi media spiritual leadership—bukan hanya menyampaikan nilai, tetapi ikut menyerap dan meresapi nilai dari lingkungan tempat kultum itu disampaikan.
Penutup: Menjaga Api di Tengah Rutinitas
Tradisi kultum dalam Muhammadiyah bukan hanya soal menyampaikan nasihat singkat. Ia adalah bagian dari mekanisme menjaga ruh dakwah agar tetap menyala, meskipun dalam rutinitas struktural dan kerja organisasi yang berat.
Kultum adalah ruang tafakur bersama, pengingat hati, dan penyejuk jiwa bagi para pejuang dakwah. Ia bukan hanya milik para ustaz, tetapi milik semua kader yang mau berbagi hikmah dan menyemai nilai. Dalam sunyi atau keramaian, di forum resmi maupun sederhana, kultum tetap menjadi penjaga ruh gerakan Muhammadiyah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
