Gerakan Urban Farming: Dari Bukit Baruga Menyapa Indonesia
Gaya Hidup | 2025-09-16 15:07:07Penulis : Muliadi Saleh
Suasana Masjid Bin Baz, Bukit Baruga, Makassar, pada 15 September 2025 terasa berbeda. Di halaman masjid itu, Walikota Makassar Munafri Arifuddin bersama Ibu Imelda Aksa hadir bukan untuk sekadar meresmikan sebuah program, melainkan meluncurkan sebuah gerakan yang menyentuh langsung denyut kehidupan kota: Gerakan Urban Farming Bukit Baruga. Tepat di jantung kota, suara doa bertemu dengan suara bumi. Peresmian itu bukan sekadar acara simbolis, tetapi pertanda lahirnya sebuah tekad kolektif untuk mengubah cara kota ini menatap masa depan pangan dan lingkungannya.
Namun, sebelum gema launching ini terdengar, sesungguhnya benih gerakan itu telah lebih dahulu disemai. H. Arif Widianto, pendiri Masjid Bin Baz, sejak dua tahun terakhir telah menjadikan masjid bukan hanya rumah ibadah, tetapi juga pusat kehidupan yang subur. Di halaman masjid, berbagai jenis tanaman tumbuh dengan rapi, dari sayuran hijau hingga tanaman buah. Ada kolam ikan, termasuk ikan hias, yang memberi sentuhan kesejukan dan keindahan. Ada pula ayam-ayam yang dipelihara dengan penuh kesungguhan, melengkapi harmoni antara manusia, hewan, dan tumbuhan. Aktivitas sederhana namun berdaya ini telah menegaskan satu hal: masjid adalah pusat kemakmuran sejati, bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga tempat menanam kehidupan.
Urban farming adalah jawaban atas kegelisahan zaman. Ia lahir dari kesadaran bahwa kota yang kian padat, dipenuhi beton dan aspal, membutuhkan ruang hijau baru untuk bernapas. Namun lebih dari sekadar ruang, urban farming adalah jembatan yang menghubungkan manusia kembali dengan tanah. Menanam di halaman rumah, di dinding vertikal, di atap gedung, bahkan di lorong-lorong sempit, adalah upaya memutus jarak antara benih dan piring makan. Konsep ini sederhana, namun filosofinya dalam: setiap tangan yang menanam sesungguhnya sedang menjaga kehidupan.
Al-Qur’an pun berulang kali mengingatkan bahwa tumbuhnya tanaman adalah tanda kekuasaan Allah. Dalam surah Al-An’am ayat 99, Allah berfirman:
“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan darinya tanaman yang menghijau; Kami keluarkan dari tanaman itu butir yang banyak, dan dari mayang kurma keluar tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, zaitun, dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Perhatikanlah buahnya di waktu berbuah dan menjadi masak. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat ini seakan mengajarkan bahwa setiap daun, setiap biji, setiap tetes air yang menumbuhkan kehidupan adalah pelajaran bagi manusia yang mau merenung. Urban farming bukan hanya soal pangan, melainkan tentang mengenali kembali jejak kasih sayang Allah di tanah yang subur.
Di berbagai kota Indonesia, konsep ini telah menemukan bentuknya. Jakarta mulai memanfaatkan atap gedung perkantoran sebagai kebun hidroponik yang menyejukkan sekaligus produktif. Bandung melahirkan kampung-kampung urban farming di mana solidaritas tumbuh seiring tumbuhnya sayur-mayur. Surabaya menjadikan sekolah sebagai pusat kebun edukasi, tempat anak-anak belajar bukan hanya membaca buku, tetapi juga membaca tanda-tanda kehidupan dari tanah. Di Makassar sendiri, gerakan ini sudah mulai terasa sejak halaman masjid hingga kompleks perumahan. Kini, dengan peluncuran Gerakan Urban Farming Bukit Baruga, semangat itu mendapat pijakan lebih kokoh, terhubung dengan visi kota hijau yang berkelanjutan.
Namun Al-Qur’an juga memberi peringatan agar manusia tidak berbuat kerusakan di bumi. Allah berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Urban farming adalah salah satu cara untuk kembali ke jalan yang benar itu: memperbaiki relasi manusia dengan bumi, mengurangi sampah organik yang terbuang, mengembalikan kesuburan tanah, dan menyejukkan udara kota.
Urban farming tidak sekadar soal teknik bercocok tanam. Ia menuntut ekosistem. Ada ekosistem pengetahuan, di mana warga dibekali ilmu tentang menyemai, merawat, hingga memanen. Ada ekosistem sosial, di mana kebun menjadi pusat pertemuan, tempat ibu-ibu, anak muda, dan para tetangga bertukar pengalaman sekaligus mempererat kebersamaan. Ada ekosistem ekonomi, ketika hasil panen bukan hanya untuk dapur sendiri, tetapi bisa dipasarkan, menciptakan nilai tambah. Ada pula ekosistem kebijakan, yang memberi ruang legal, dukungan teknis, hingga insentif bagi warga kota yang mau menghijaukan lingkungannya. Dan pada akhirnya, ada ekosistem spiritual, sebab menanam adalah ibadah ekologis. Rasulullah pernah berpesan, siapa pun yang menanam tanaman lalu buahnya dimakan burung, manusia, atau hewan, maka itu menjadi sedekah baginya.
Di tengah dunia yang serba instan, urban farming mengajarkan kesabaran. Ia mengajak manusia kota untuk kembali ke ritme lambat: menunggu benih tumbuh, merawat daun satu per satu, menanti hari panen dengan hati penuh harap. Ritme ini adalah terapi jiwa, pengingat bahwa kehidupan bukan hanya tentang konsumsi cepat, melainkan juga tentang merawat dan menjaga. Setiap daun yang tumbuh di halaman adalah pesan sunyi bahwa bumi masih punya harapan, selama manusia masih peduli.
Gerakan urban farming di Makassar yang baru saja diluncurkan adalah simbol dari komitmen kolektif. Walikota Munafri Arifuddin dalam sambutannya menegaskan bahwa gerakan ini bukan program sesaat, melainkan investasi jangka panjang untuk ketahanan pangan dan kualitas hidup masyarakat kota. Ia mengajak warga Makassar menjadikan urban farming sebagai gaya hidup baru, bukan sekadar aktivitas sambilan. Sementara itu, Ibu Imelda Aksa menambahkan bahwa urban farming adalah cara sederhana namun kuat untuk mendidik generasi muda agar mencintai lingkungan sejak dini. Menurutnya, anak-anak yang terbiasa menanam akan tumbuh dengan karakter yang lebih peduli, tangguh, dan penuh rasa syukur.
Urban farming pada akhirnya adalah gerakan moral sekaligus gerakan ekologis. Ia menanamkan keyakinan bahwa masa depan pangan tidak ditentukan oleh pasar semata, tetapi oleh tangan-tangan yang berani menanam di halaman sendiri. Dari halaman ke tangan, dari kebun kecil ke meja makan, dari komunitas kecil ke gerakan besar, urban farming adalah jalan menuju kota yang lebih hijau, sehat, mandiri, dan beradab.
Dan pada pagi itu, di halaman Masjid Bin Baz Bukit Baruga, suara doa qunut yang dilantunkan dalam shalat subuh seakan berpadu dengan suara langkah kecil menuju masa depan: sebuah masa depan di mana kota bukan lagi lawan alam, melainkan sahabatnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
