Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Harvin Haydar

Nepal dan Luka Demokrasi: Pelajaran untuk Indonesia

Pendidikan dan Literasi | 2025-09-14 23:00:23
Gedung parlemen Nepal dibakar. Foto: Istimewa


Selasa, 9 September 2025

Dalam rangka mendukung pemahaman mahasiswa terhadap materi Pendidikan Pancasila, setiap kelompok diberikan penugasan yang terbagi ke dalam beberapa bagian. Berikut ketentuan yang perlu diperhatikan:

1. Pembagian Sub-Bab

Setiap bab akan diuraikan ke dalam beberapa sub-bab yang kemudian dibagikan kepada masing-masing anggota kelompok. Hasil dari setiap sub-bab harus dirangkum, digabungkan, dan dapat disempurnakan dengan bantuan kecerdasan buatan (AI).

Apabila artikel telah selesai, mahasiswa diminta untuk menggunakan AI dalam membuat ilustrasi atau gambar yang sesuai dengan naskah kelompok. Sumber referensi wajib dicantumkan, misalnya: Meta AI, ChatGPT, dokumen kelompok. Setelah itu, karya akhir diunggah melalui salah satu akun Kompasiana milik anggota kelompok.

2. Makalah dan Presentasi (PPT)

Selain artikel, setiap bab juga diwajibkan dibuat dalam bentuk makalah dan presentasi (PPT).

 

  1. Makalah harus dicetak untuk memudahkan proses penilaian oleh dosen.
  2. PPT dikumpulkan melalui Google Drive yang telah disediakan oleh penanggung jawab (PJ).
3. Batas Waktu Pengumpulan

Pengumpulan makalah dan PPT memiliki jadwal berbeda untuk setiap kelompok:

 

  1. Kelompok 1: Senin, pukul 12 malam.
  2. Kelompok 2–7: Jumat, pukul 12 malam.

Batas waktu pengumpulan ditetapkan pada tanggal 15–19 September 2025.

4. Komentar Artikel

Kali ini saya akan menanggapi artikel dari Dosen Pengampu Mata Kuliah Pendidikan Pancasila yang terhormat Bapak Bapak Drs. Study Rizal LK, M.A dengan artikel yang berjudul “Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah” menyoroti bagaimana larangan penggunaan media sosial di Nepal memicu protes besar-besaran. Kebijakan ini dipandang bukan sekadar membatasi akses digital, tetapi juga simbol pembungkaman aspirasi rakyat. Sayangnya, pemerintah merespons dengan represif hingga menimbulkan korban jiwa.

Kasus Nepal mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak cukup hanya menghadirkan pemilu, tetapi harus membuka ruang komunikasi yang sehat. Media sosial saat ini berfungsi sebagai ruang publik baru, tempat rakyat menyuarakan kritik dan gagasan. Ketika ruang ini ditutup, kekecewaan terhadap korupsi, ketidakadilan, dan buruknya akuntabilitas pemerintah semakin memuncak.

Meski begitu, analisis tentang Nepal sebaiknya juga dilengkapi data lebih rinci, termasuk latar belakang kebijakan dan pandangan pemerintah. Dengan demikian, kita dapat melihat masalah secara lebih utuh, tidak hanya dari sisi penderitaan rakyat. Perbandingan dengan negara lain, termasuk Indonesia, juga perlu hati-hati agar tidak menimbulkan generalisasi berlebihan.

Bagi Indonesia, pengalaman Nepal adalah cermin penting. Demokrasi bisa rapuh bila pemerintah hanya menjawab kritik dengan pembatasan atau represi. Ruang digital yang terbuka harus dijaga, sebab di situlah rakyat menemukan wadah partisipasi politik yang nyata.

Tragedi Nepal memberi pesan moral bahwa demokrasi sejati bukan sekadar prosedur pemilu, melainkan keberanian negara untuk mendengar rakyatnya, menjaga transparansi, dan melindungi kebebasan sipil. Itulah pondasi yang membuat demokrasi benar-benar hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image