Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Upik Kamalia

Jalan-Jalan Sebagai Sarana Menumbuhkan Karakter Baik Bagi Peserta Didik

Eduaksi | 2022-03-09 09:27:53

Semestinya pendidikan yang didapat seseorang membuat dirinya lebih baik secara pribadi, berkeluarga dan bermasyarakat. Waktu yang dihabiskan untuk menempuh pendidikan selama kurang lebih 16 tahun seharusnya menghasilkan generasi yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang disandang sebagai manusia timur. Maraknya pembahasan mengenai konsep pendidikan berkarakter pada dua tahun belakangan ini agaknya memperlihatkan bahwa pendidikan yang kita jalani telah gagal menghasilkan manusia Indonesia yang berkarakter. Sistem pendidikan yang kita jalani terbukti hanya mencerdaskan otak tetapi mengkerdilkan moral. Akibatnya dapat kita lihat saat ini dimana generasi muda seolah hidup tanpa pegangan.

Gejala seperti ini sesungguhnya merupakan ancaman besar terhadap identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Mereka akan dengan mudah diatur oleh bangsa lain, akan mengikuti kemauan bangsa lain tanpa mampu berbuat apa-apa. Sementara kekayaan alam yang kita miliki begitu melimpah yang membuat iri Negara-negara tetangga. Hampir semua negara melirik Indonesia. Terlebih dengan diberlakukannya era perdagangan bebas semakin mempermudah akses negara lain untuk masuk dan menguasai Indonesia.

Kita tentunya tidak menginginkan hal itu terjadi. Namun jika melihat perkembangan generasi muda kita akhir-akhir ini maka kekuatiran itu menjadi sesuatu yang beralasan. Kecendrungan untuk lebih menyukai semua produk luar negeri, kecendrungan terhadap meningkatnya pemakaian narkoba di semua level yang disinyalir sebagai perang candu yang sengaja dimasukkan negara kuning seolah membenarkan semua itu.

Pendidikan sebagai wadah pembinaan genari muda penerus bangsa menjadi pilar yang penting untuk membagun kembali semangat kebangsaan, nilai nilai luhur. Sudah saatnya pendidikan kita benahi sehingga waktu yang bertahun-tahun dihabiskan untuk menempuh pendidikan di sekolah dan biaya yang tidak sedikit menjadi sesuatu yang tidak sia-sia. Beragam upaya telah dilakukan untuk membumikan kembali pendidikan yang berkarkter. Namun kalau kita lihat sejauh ini semua program tersebut belum menampakkan hasil bahkan kalau mau jujur semuanya lebih banyak menambah beban pelaku pendidikan. Walau biaya yang digelontorkan pemerintah untuk membenahi pendidikan kita tidak sdikit sekali lagi belum seimbang dengan hasil yang diharapkan. Menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pendidikan kita tidak mampu melahirkan generasi yang berkarkter. Apa sebetulnya yang terjadi dalam dunia pendidikan kta?

Dan bagaimana caranya agar pendidikan itu memenuhi fungsi membentuk karakter.

Untuk menjawab pertanyaan itu perlu diketahui dulu bahwa anak-anak kita yang hidup hari ini dan bersekolah hari ini memang benar kurang berkarkter yang dibuktikan dengan fenomena yang tampak. Fenomena pertama dan mendasar seperti yang diungkapkan Presiden Jokowi beberapa waktu yang silam bahwa anak-anak sekarang kurang menghargai dan menghormati gurunya. Kurangnya penghormatan terhadap guru terlihat dengan banyaknya kasus-kasus pemukulan, pembangkangan dan upaya orang tua mempidanakan guru. Kekerasan terhadap guru menghiasi pemberitaaan ditanah air kita akhir-akhir ini. Orang tua dan anakanak itu serig berlindung dibelakang HAM untuk membenarkan tidakan mereka. Akibatnya jika orangtua saja sudah tidak menghargai guru bagaimana mungkin anak akan menghargai gurunya. Tentu saja ini akan berdampak pada serapan anak terhadap apa yang disampaikan guru dikelas. Namun demikian kurangnya penghormatan terhadap guru sebetulnya tidak sepenuhnya kesalahan si anak dan orang tuanya. Komunikasi yang tidak lancer antara orangtua dan guru menjadi factor penting terjadinya hal tersebut.

Guru idealnya harus mengetahui secara detail siswanya. Pengetahuan yang cukup antara keduanya akan membuat hubungan menjadi lebih baik. Berbagai persoalan akan terselesaikan jika guru mengenal dengan baik siswanya. Kunjungan rumah sepertinya perlu diprogramkan untuk mengatasi kekurangan komunikasi tersebut. Keterbukaan menjadi hal lain yang tidak kalah penting antara guru dan orang tua. Orang tua semestinya menyampaikan semua hal tetagn anaknya kepada guru tanpa ada yang ditutup-tutupi. Begitupun guru seharusnya menyampaikan secara rinci hal-hal yang terjadi pada anak selama disekolah atau sdiluar itu yang diketahui guru. Aneh rasanya kreika teknologi komunikasi semakin canggih hubungan semakin jauh.

Persoalan lain yang terlihat dari kondisi anak-anak kita saat ini adalah kurangnya nasionalisme generasi muda terlihat dari begitu mudahnya mereka dipengaruhi budaya luar, tidak antusias untuk memperingati hari-hari besar nasional, dan cendrung bersikap masa bodoh terhadap sejarah bangsa. . Kecendrungan untuk lebih bangga memakai dan menggunakan produk luar negeri semakin menggejala. Hal tersebut diperparah lagi oleh kenyataan bahwa banyak diantara mereka yang tidak lagi mengenal budaya sendiri. Mungkin salah satu penyebabnya karena kurangnya sarana untuk memperkenalkan budaya itu juga. Kondisi ini tentu berbahaya jika melihat besarnya arus perubahan dan besarnya pengaruh dari luar saat ini. Kita tidak mungkin menutup pengaruh itu rapat-rapat terlebih dengan kemajuan teknologi dan informasi yang membuat semuanya begitu mudah diaskses. Untuk itu perlu upaya serius untuk kembali memperkenalkan budaya kita sendiri pada diri generasi muda. Melalui pengetahuan budaya yang dimiliki diharapkan para pelajar kita memiliki perbandingan untuk menilai dan menmbandingan budaya mereka dengan budaya luar. Jika tidak maka yang terjadi adalah seperti gelas kosong yang menampung saja semua budaya yang masuk.

Pengetahuan akan budaya dan nilai bangsa sendiri tentu akan berdampak pada semangat nasionalisme yang tumbuh seiring dengan hal itu. Pelajar kita hari ini lebih banyak yang seperti buih di lautan. Ikut saja kemana mereka diombang ambingkan. Nilai-nilai kejujuran, tanggungjawab, kepedulian kepada sesama, semangat pluralitas, mulai jarang ditemukan pada generasi muda kita. Sikap yang terlihat justru individualis, hedonis, dan konsumtif. Tidak bisa dipungkiri bahwa para pelajar kita saat ini telah menjadi sosok yang asing dan mengasingkan diri dari lingkungannya. Mereka sibuk memikirkan dirinya sendiri, mulai dari penampilan, kesukaan sampai pergaulan.

Para pelajar ini juga menjadi korban dunia yang semakin kapitalis. Mereka adalah pasar bagi produk-produk. Budaya konsumtif tak terkendali menjadi bagian dari diri para remaja. Lihatlah di mal-mal siapa yang lebih banyak disana. Remaja kita. Membeli barang tanpa perhitungan dibutuhkan atau tidak. Gejala ini tidak hanya dirasakan dikota besar tapi sudah merambah pedesaan. Gaya hidup berubah mengikuti tren yang berlaku saat ini. Tidak heran pula jika banyak diantara mereka akhirnya terjerumus memakai narkoba sebagai pelampiasan terhadap budaya hidup yang glamor yang tidak bisa mereka turuti. Disekolah gejala seperti ini setidaknya terlihat saat perayaan perpisahan. Anehnya sekolah seolah memfasilitasi perayaan perpisahan yang mewah tersebut. Banyak acara perpisahan dilaksanakan secara glamor di hotel berbintang. Sungguh miris kita melihat semuanya sudah jauh dari nilai-nilai ketimuran. Budaya konsumtif dan individualis seolah diajarkan sendiri olah sekolah.

Hal iain yang membuat runyam persoalan karakter dikalangan remaja kita adalah ketiadaan teladan. Baik dirumah, disekolah maupun dimasyarakat. Media social, media cetak dihiasi oleh tingkah laku aparat Negara yang korupsi, yang bertengkar hampir setiap hari. Penyimpangan yang dilakukan oknum guru pun mendapat sorotan dari media. Remaja kita kehilangan figure yang akan mereka contoh. Dalam kondisi yang demikian bisakah diharapkan pendidikan berkarakter akan tumbuh? Ketika guru melarang siswa merokok sementara ia sendiri merokok. Bisakah membuat siswa mengikuti apa yang suruhnya itu?

Gambaran tentang persoalan melunturnya karakter baik pada diri remaja kita diats sebetulnya brus ebagian kecil saja dari kenyataan dilapangan. Namun sebaiknya jauh lebih baik focus paa bagaimana dan upaya apa yang harus dilakukan agar pendidikan disekolah kembali menjadi pilar penting pembentukan karakter anak didik

.

Kedudukan Sekolah Yang Semakin Penting

Kemajuan yang menakjubkan dalam teknologi komunikasi, transportasi dan informasi dalam dekade belakangan ini telah memberi harapan dan sekaligus kekuatiran pada orang tua terkait pengasuhan anak mereka. Kekuatiran itu dipicu oleh semakin banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh para remaja, ketiadaan waktu yang dimiliki oleh orang tua bersama anakanaknya serta pengaruh negative media infomasi. Semuanya itu membuat ketergantungan orangtua kepada sekolah untuk ikut mendidik anak-anaknya semakin besar.

Sekolah sebagai agen sosialisasi sebetulnya berada pada nomor urut dua setelah keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Kedudukan pertama ada di dalam keluarga. Keluarga menjadi pilar penting karena disinilah seorang anak dibesarkan dan dipersiapkan untuk hidup diluar. Tangungjawab pengasuhan anak sepenuhnya diemban keluarga. Pada masa silam maka tanggungjawab itu menjadi tanggungjawab bersama dalam keluarga besar atau luas. Artinya semua anggota keluarga ayah, ibu, kakak, paman, kakek, nenek dan seterusnya berperan penting dalam menjaga dan membesarkan semua anak yang lahir dalam keluarga tersebut. Anak mendapat perhatian yang besar sampai ia diantar ke sekolah. Bahkan saat itu pengasuhan anak dan pengawasan keluarga baru terhenti ketika mereka benar-benar sudah keluar atau memiliki keluarga sendiri. Seiring perkembangan zaman maka pengasuhan anak dalam keluarga kemudian sepenuhnya berada pada keluarga inti. Pengasuhan dalam keluarga sebetulnya tidak bisa digantikan oleh lembaga apapun. Kecerdasan seorang anak akan berkembang dengan baik ketika perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya sepenuhnya tercurah pada si anak.

Keharusan adanya pengasuhan dan pengawasan penuh dari keluarga inti mengalami pengerusan dengan perkembangan teknologi. Orang tua sibuk bekerja dan mengejar karir. Pengasuhan anak diserahkan kepada pembantu atau kepada televisi. Waktu berinteraksi anak dengan orang tua menjadi sangat terbatas. Semua itu membuat peran keluarga menjadi berkurang dalam proses sosialisasi guna membentuk kerpibadian anak. Untuk mengatasi hal tersebut orang tua semakin dini menyerahkan anaknya kes sekolah. Bertumbuhanlah Tempat Penitipan Anak (TPA) yang diperuntukkan bagi para ibu yang sibuk bekerja. Ketika si anak sudah bisa berjalan dan berusia 3 tahun anak juga sudah diserahkan ke PAUD dan selanjutnya jika keuangan memadai ada pula keharusan mengantarkan anak ke Taman kanak-Kanak. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa lembaga keluarga sebagai sarana sosialisasi utama telah mengalami degradasi. Sebaliknya sekolah menjadi semakin penting. Orang tua beranggapan bahwa semakin lama anak disekolah semakin baik karena dengan demikian mereka tidak perlu repot-repot untuk mengawasi anaknya atau kuatir anaknya sedang berada dimana sementara mereka masih di tempat kerja. Agaknya inilah salah satu faktor yang mengilhami Mentri Pendidikan Muhajir Effendi mencanangkan program full day school. Program full day school ini setidaknya membuat anak-anak berada dalam pengawasan guru hampir sepanjang siang. Ini sekali lagi membuat sekolah ditempatkan sebagai lembaga yang penting. Dengan demikian harapan besarpun digantungkan pada sekolah untuk berperan lebih besar dalam proses pembentukan karakter siswa. Harapan tersebut semestinya disikapi dengan mempersiapkan seluruh elemen yang ada di sekolah mulai dari guru, kepala sekolah hinga penjaga sekolah. Program sekolahpun harus lebih bervariasi untuk menyikapi keberadaan siswa yang akan full di sekolah. Walaupun sesungguhnya peran keluarga tidak bisa digantikan sekolah namun ketika sekolah dituntut berbuat lebih dalam menyiapkan siswa yang berkarakter maka disinilah sekolah harus siap. Sekolah mesti menyiapkan beragam kegiatan yang akan membuat siswa betah disekolah dan ujung-ujungnya berdampak positif pada pembentukan karakter siswa. Program yang bagaimana yang sesungguhnya berimplikasi positif pada pembentukan karakter siswa? Inilah yang akan dicoba menjawabnya dari tulisan berikut.

Jalan-Jalan sebagai solusi

Ada satu kegiatan yang akhir-akhir ini sedang trend di sekolah. Semenjak pemerintah berusaha menggalakkan pengembangan pariwisata, kegiatan berwisata yang dipadu dengan pembelajaran menjadi satu program yang ada disekolah setiap tahun. Bukan hanya itu bahkan setiap mata pelajaran seolah merasa wajib membawa siswa keluar dari lingkungan sekolah untuk belajar. Terlebih lagi ketika pemerintah memberlakukan kurikulum 2013 yang menekankan pada proses pembelajaran yang lebih berviasi salah satunya membawa anak-anak keluar. Beberapa sekolah yang kaya dan mapan bahwa sampai memprogramkan rihlah educatifnya istilah yang mulai lazim digunanakan, hingga keluar negeri. Untuk saat ini Malaysia, Singgapura dan Thailand paling banyak menjadi sasaran rihlah yang seperti itu. Untuk beberapa sekolah ada juga yang membawa siswanya ke Australia, Jepang, Hongkong dan China serta Turki. Trend serupa tidak hanya melibatkan anak-anak, guru dan kepala sekolah malah lebih banyak dan lebih jauh lagi jangkauannya. Pendeknya jalan-jalan, rihlah, traveling atau apalah namanya telah menjadi semacam keharusan didunia pendidikan kita saat ini.

Keinginan untuk melancong keluar sesungguhnya juga dipicu oleh masifnya pemberitaan di media social yang memuat foto tempat-tempat indah yang mereka temui. Walaupun hal itu tidak sepenuhnya mewakili keadaan yang sesungguhnya tetap saja banyak orang tertarik pergi ke suatu tempat karena melihat keindahan dan bagusnya tempat tersebut dari media social.

Sebagai lembaga yang mempunyai kewajiban untuk tidak sekedar mentransfer ilmu tapi juga membentuk keribadian dan karakter peserta didik, maka sekolah semestinya dapat memanfaatkan program tersebut menjadi sesuatu yang lebih bernilai dari pada sekedar jalanjalan. Berkaca pada masa lalu dimana orang bepergian dengan cara lebih sederhana terlihat bahwa perjalanan yang dilakukan dapat menjadi sesuatu yang bernilai bahkan perjalanan mereka meninggalkan cerita sejarah yang menarik serta membawa kemanfaatan bagi banyak orang. Kita tentu ingat dengan perjalanan Marco Polo, Ma Huan, Ibnu Batutah, Tome Pires dan banyak lagi pelancong lainnya yang mencatatkan namanya dalam sejarah. Mereka melakukan perjalanan dan menuliskan pengalaman mereka sehingga menjadi acuan bagi genarasi berikutnya. Sudahkah perjalanan kita bersama anak-anak bernilai semacam itu atau sudahkah anak-anak kita memperhatikan sekeliling mereka selama mereka melakukan perjalanan? Rasanya belum dan sekolah pun belum menuntut siswa untuk melakukan hal yang demikian. Yang terlihat dilapangan justru anak-anak kita serta guru mereka asyik selfi ditempat-tempat yang dikunjungi. Sedikit sekali malah yang dengan serius memperhatikan objel yang mereka lihat atau membaca informasi yang disuguhkan. Begitu pula ketika ada informan yang dapat ditanyai sedikit juga diantara mereka yang bertanya lebih lanjut.

Pengalaman penulis memperlihatkan bahwa berpergian tidak harus mahal. Semakin mahal malah hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Perjalanan sederhana untuk mengenal lingkungan sekitar sekolah justru jauh lebih bermakna. Proses pembentukan karakter justru lebih bisa dilihat dari perjalanan-perjalanan seperti itu. Mukhtar Lubis dalam bukunya Berkelana Dalam Rimba setidaknya membuka wawasan kita bagaimana karakter bisa tumbuh. Buku yang sebetulnya adalah pengalaman pribadi dari pengarangnya sendiri kelak memperlihatkan kepada kita bagaimana dan siapa Muchtar Lubis. Seorang wartawan yang memiliki prinsip, yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran serta memiliki kepedulian yang besar terhadap bangsa dan negaranya.

Perjalanan yang yang dimaksud seperti keliling kampung bersama seharian, mendaki bukit, masuk hutan, keliling danau, menyusuri sungai dan sebagainya. Dalam aktifitas seperti itu seorang guru akan menemukan hal-hal yang selama ini tidak diketahuinya mengenai anak didiknya. Perjalanan itu akan membuka tabir yang selama ini menutupi hubungan antara guru dengan anak didiknya atau diantara anak didik itu sendiri. Agar perjalanan yang kita maksud dapat menjadi sarana menumbuhkan karakter baik pada siswa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

1) Hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan selama dalam perjalanan. Ketua tersbut hendaklah diambilkan dari mereka sendiri. Perlu juga disampaikan kepada perserta perjalanan bahwa ketika seseorang sudah ditunjuk menjadi ketua maka seluruh keputusan diberikan pada ketua. Segala hal akan ditanyakan pada ketua. Pemilihan ketua rombongan sesungguhnya sesuiak dengan apa yang dikatakan Rasulullah bahwa jika kamu malakukan perjalanan lebih dari 3 orang maka tunjuklah satu orang dinataramu menjadi ketua.

2) Sebelum berangkat datalah anggota yang rumahanya kemungkinan akan dilalui dan tanyakan apakah keluarganya bersedia menetima dan menjamu rombongan. Jika bersedia maka tanyakan apakah perlu dibawakan bekal atau bahan untuk memasak oleh rombongan.

3) Tekankan pada siswa bahwa selama perjalanan tanggungjawab keselamatan berada pada diri mereka masing-masing.oleh sebab itu segala sesuatu harus dijaga agar tidak menyulitkan yang lain. Dapat pula dilaktakan untuk jangan pernah menjadi beban bagi orang lain.

4) Jika dalam rombongan terdiri dari laki- laki dan perempuan perlu juga ditegaskan bahwa apabila yang perempuan kelelahan maka tugas membawa peralatan dibebankan pada yang laki-laki.

5) Ingatkan pula untuk membawa peralatan sendiri tanpa menumpang pada yang lain. Termasuk bekal makanan dan minuman.

6) Selama perjalanan ingatkan untuk tidak menyentuh apapun milik orang lain. Jika menginginkannya silahkan langsung diminta pada pemiliknya.

7) Ingatkan juga untuk menjaga kewajiban seperti shalat. Jika ada yang belum melakukannya tunggu dan jangan melanjutkan perjalanan sebelum ia melaksanakannya. Katakan kepada mereka bahwa keselamatan selama perjalnan salah satunya ditentukan oleh shalatnya.

Ada banyak hal yang akan didapatka seorang guru dari perjalnan dengan meperhatikan ketentuan tersebut bahkan mulai poin pertama. akan kita coba menguraikannya satu persatu. Jika seorang anak ditunjuk sebagai ketua maka ia akan belajar mengenai sebuah tanggungjawab. Jiwa kepemimpinannya akan muncul. Kepercayaan dirinya tumbuh seiring kepercayaan yang diberikan padanya. Sementara bagi yang dipimpin mereka akan belajar untuk mengakui dan menerima keputusan seorang pemimpin. Ketika keputusannya salah maka tidak akan menyalahkan ketua semata karena sebelum berangkat sudah ditekankah bahwa anggota harua mengikut keputusan ketua meski pada akhirnya keputusan itu kutang tepat.

Beberapa tahun belakang ini kita lihat anak-anak kita semakin individualis. Mereka kurang memperhatikan lingkungan sekitarnya. Perjalanan merupakan sarana untuk kembali menanamkan kepedulian tersebut. Melayani dan menjamu tamu yang datang berkunjung setidaknya mengajarkan bahwa berbagi itu perlu dan membahagiakan, terlebih terhadap mereka yang sedang dalam perjalanan. Orang-orang tua kita beranggapan bahwa tamu itu membawa berkah, jadi harus dilayani dengan baik. Perjalanan akan memberi kesempatan kepada anak-anak kita untuk kembali belajar menghormati dan menjamu tamu. Kelak jika giliran menjamu tamu sampai pada mereka, mereka tentu akan pula melakukannya dengan senang hati. Kepedulian ini juga terlihat ketika yang laki-laki bersedia membantu yang perempuan. Menghormati kaum perempuan adalah bagian dari upaya melangengkan kehidupan yang harmonis. Jika kita teliti kembali banyak anak laki-laki yang kurang memperhatikan kebutuhan perempuan konon lagi akan melindunginya. Tidak heran bila semakin lama semakin tinggi pula angka perceraian dalam rumahtangga. Hal itu disebabkan kedua pihak kurang memahami tanggugjawab masing-masing. Sebuah perjalanan akan menyadarkan kedua pihak bahwa mereka punya keterbatasan satu sama lain oleh sebab itu akan saling melengkapi.

Kepedulian pada lingkungan menjadi poin penting yang perlu sekali dimiliki anak-anak kita. Bencana alam seperti banjir dan longsor yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini berawal dari ketidakpedulian masyarakatnya. Got dibiarkan tersumbat, hutan dibiarkan gundul sampah dibuang sembarangan, sungai tercemar limbah. Semua fenomena itu tidak akan tampak ketika kita berwisata ke Malaysia dan Singgapura. Justru ketika anak-anak dibawa keliling kampung, keliling danau, menyusuri sungai, mendaki bukitlah semuanya bisa diperkenalkan. Guru dalam hal ini dengan mudah dapat menyampaikan pesan-pesan penyelamatan lingkungan kepada siswanya.

Hal lain yang akan didapatkan dari sebuah perjalanan seperti itu adalah belajar kemandirian. Hal ini dikarenakan selama dalam perjalanan semua anggota harus menjaga keselamatan diri sendiri, harus membawa perlengkapan sendiri. Perjalanan yang berat akan menyadarkan siswa bahwa pada akhirnya mereka harus mampu memelihara dirinyasendiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Kelancaran perjalanan tergantung pada mereka. Jika terjadi kecelakaan atau masalah maka perjalanan akan terganggu dan semua anggota lain akan kecewa. Disinilah masing-masing pihak akan berupaya menjaga dirinya sendiri dan saling meningatkan satu sama lain.

Rasulullah dalam salah satu hadisnya menyampaikan bahwa jika kamu ingin mengetahui baik buruknya seseorang sehingga layak dijadikan teman, maka lakukanlah 3 hal bersamanya. Pertama bermalamlah dirumahnya, kedua berjalanlah bersamanya dan ketiga berurusan uanglah dengannya. Berjalan bersama seseorang dalam jangka waktu tertentu akan membuat kita lebih mengenal karakter seseorang. Guru akan mengenal siswanya karena selama perjalanan akan nampak sikapnya menghadapi masalah, akan terlihat bagaimana mereka menaggapi sesuatu, bagaimana mereka menerima kekurangan temannya dan bagaimana mereka mempergunakan uangnya. Selama ini proses interaksi guru dan siswa hanya dalam kelas dalam suasana yang formal sehingga masing-masing pihak berupaya menjaga diri. Namun dalam suatu perjalanan semuanya menjadi cair dan terbuka. Siswa yang dikenal guru selama perjalanan akan menghargainya didalam kelas. Siswa tersebut akan lebih mudah dinasehati.

Belajar sesungguhnya adalah memberi pengalaman, pengalaman belajar. Pegalaman dalam perjalanan jauh lebih berkesan dalam diri siswa dibandingkan pengalaman didalam kelas. Terlebih jika dalam perjalanan tersebut diisi oleh pengalaman seru dan menantang. Kenangan kepada sekolah adalah kenangan perjalanan. Pelajaran akan lebih mudah diterima dalam suasana fun kata Bobby Te Porter dalam bukunya Quantum Teaching. Suasana perjalanan adalah suasana yang menyenangkan dimana hati senang dan gembira. Disinilah pelajaran bisa diterima.

Banyak sekali hal-hal positif yang bisa didapatkan dalam sebuah perjalanan disadari atau tidak oleh pelakunya. Oleh sebab itu sudah seharusnya sekolah mulai merancang program-program sederhana seperti ini dalam pembelajaran. Tidak perlu jauh-jauh dan mahal sampai keluar negeri. Sekolah bukan tempat mengajarkan kemewahan namun kesederhanan yang bersahaja. Siswa yang terbiasa senang dan disenangkan akan sulit mengerti kesulitan orang lain. Mereka harus diajarkan untuk bersulit-sulit agar mengerti arti kesulitan. Mereka harus diajarkan untuk peduli agar kelangsungan bangsa ini terjaga.

Sebuah sekolah sebaiknya memberi kepercayaan kepada guru muda untuk berkreasi karena biasanya hanya yang muda yang mau berpergian, berkumuh-kumuh bersama anak. Guru senior tentu saja memiliki waktu dan kesempatan terbatas. Peremajaan guru juga tampaknya menjadi perlu saat ini mengingat banyak guru yang kalau kita mau jujur, sudah kehilangan semangat untuk belajar. Bisakah guru seperti ini akan melakukan hal-hal menantang bersama siswa?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image