Gen-Z Bicara Perubahan, Saatnya Bergerak Menuju Kebangkitan
Agama | 2025-09-11 20:58:19
Oleh: Vivi Nurwida
Fenomena aksi demonstrasi dan maraknya aspirasi di media sosial yang didominasi Generasi Z (Gen-Z) dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak. Psikolog Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., menilai bahwa Gen-Z memiliki mekanisme pertahanan yang unik. Mereka memilih berbicara dengan cara khas: melalui media sosial, meme, poster kreatif, hingga estetika visual, alih-alih melakukan tindakan destruktif. Sementara itu, Psikolog Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menyoroti meningkatnya keterlibatan anak di bawah umur dalam aksi demonstrasi. Ia menilai bahwa meski demonstrasi bisa menjadi ajang belajar menyampaikan pendapat, remaja rentan terprovokasi karena kontrol diri mereka belum matang.
Sekilas, analisis psikologis ini tampak netral dan akademis. Namun jika ditelisik lebih dalam, pengklasifikasian generasi berdasarkan aspek psikologi justru diarahkan untuk sesuai dengan pola pikir kapitalisme. Alih-alih menumbuhkan kesadaran politik dan visi perubahan hakiki, karakter Gen-Z justru "dibingkai" agar tetap berada dalam koridor yang aman bagi sistem. Kritik sosial mereka diarahkan menjadi sekadar luapan ekspresi emosional dalam bentuk meme, konten viral, atau aksi simbolik tanpa pernah benar-benar menyentuh akar persoalan yang menyebabkan krisis multidimensi, yakni kapitalisme.
Naluri Menolak Kezaliman adalah Fitrah
Sejak awal penciptaannya, manusia memiliki naluri baqa (naluri mempertahankan diri) yang menuntutnya menolak kezaliman dan ketidakadilan. Inilah khasiatul-insan (karakteristik manusia) yang tak bisa dihapuskan oleh teori psikologi manapun. Sejarah membuktikan, naluri inilah yang mendorong umat manusia melakukan perubahan besar ketika mereka merasa ditindas.
Namun kapitalisme berusaha "menjinakkan" fitrah ini. Melalui disiplin ilmu psikologi, sosiologi, hingga politik, generasi muda diarahkan untuk mengekspresikan keresahan mereka dengan cara-cara yang tidak mengganggu keberlangsungan sistem. Mereka diajak menyalurkan emosi melalui ruang maya, konten kreatif, atau aksi-aksi simbolis yang justru menjauhkan mereka dari perubahan fundamental. Dengan demikian, kapitalisme tetap bercokol, sementara aspirasi perubahan dipendam dalam ruang hampa.
Islam Menjawab Naluri dengan Tuntunan Syariat
Islam hadir untuk mengarahkan naluri manusia agar terpenuhi sesuai tuntunan syariat, bukan sekadar mengikuti teori psikologi Barat. Dalam konteks perjuangan politik, Islam mengajarkan pentingnya muhasabah lil hukkam, yakni mengoreksi penguasa dengan cara yang jelas, berani, dan terikat hukum syarak. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah hadis:
"Pemimpin para syuhadā’ adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan (juga) seorang laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia memerintahkannya (kepada kebaikan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya."
Artinya, keberanian menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim adalah jalan perjuangan yang digariskan Islam. Dalam QS An-Nahl:125 Allah menegaskan agar dakwah dilakukan dengan hikmah dan pelajaran yang baik, termasuk dalam menyuarakan kebenaran kepada penguasa.
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara perspektif Islam dan perspektif kapitalis. Islam tidak sekadar menyalurkan aspirasi agar “emosi sosial” tersalurkan, melainkan mengarahkan energi perlawanan itu untuk menegakkan sistem yang meniadakan kezaliman, yakni sistem Islam.
Pemuda Garda Terdepan Perubahan
Sejarah Islam mencatat, pemuda selalu menjadi garda terdepan dalam perubahan besar. Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Mus’ab bin Umair, hingga Usamah bin Zaid adalah contoh nyata generasi muda yang mengorbankan segalanya demi tegaknya Islam. Mereka tidak berhenti pada aksi simbolik, tetapi menjadi penggerak perubahan nyata di bawah bimbingan wahyu.
Gen-Z hari ini memiliki potensi yang sangat besar, bahkan bisa melampaui generasi sebelumnya. Mereka memiliki akses teknologi, jaringan global, serta keberanian untuk berbicara. Namun tanpa arahan ideologis yang jelas, potensi itu hanya akan terbuang sia-sia dan sekadar menjadi tren sesaat di media sosial atau aksi jalanan yang mudah dipatahkan aparat.
Dari Aksi Simbolik ke Perubahan Hakiki
Kini pertanyaannya, apakah Gen-Z hanya akan puas dengan sekadar “bicara” melalui meme, poster kreatif, dan viralitas di media sosial? Ataukah mereka akan melangkah lebih jauh, menuntut perubahan sistemik yang benar-benar membebaskan umat dari cengkeraman kapitalisme?
Islam memberikan jawaban: perubahan hakiki (taghyir) hanya akan terjadi ketika umat, khususnya pemuda, bergerak menegakkan kembali sistem Islam dalam bingkai khilafah. Bukan sekadar menuntut perbaikan parsial atau kosmetik, tetapi perubahan menyeluruh yang menjawab akar persoalan.
Ketika krisis ekonomi, politik, pendidikan, hingga moral semakin parah, menambal sulam dengan solusi parsial hanya memperpanjang penderitaan. Kapitalisme terbukti gagal memberikan kesejahteraan. Demokrasi pun hanya menjadi alat legalisasi oligarki. Maka, perubahan yang ditunggu-tunggu umat adalah perubahan yang berbasis wahyu Allah, bukan hasil rekayasa teori manusia.
Saatnya Bergerak untuk Kebangkitan Hakiki
Fenomena aksi Gen-Z memang menunjukkan adanya energi besar untuk melawan kezaliman. Namun energi itu masih terjebak dalam bingkai kapitalisme yang menjerumuskan mereka ke arah simbolisme belaka. Islam mengajarkan bahwa naluri menolak kezaliman harus diarahkan pada perjuangan ideologis yang terikat syariat.
Generasi muda Islam hari ini ditantang untuk melanjutkan jejak generasi sahabat Nabi: berani berdiri di hadapan penguasa zalim, berani menentang sistem yang menindas, dan berani memperjuangkan tegaknya Islam sebagai solusi.
Sudah saatnya Gen-Z tidak hanya “bicara” dalam ruang maya atau jalanan, tetapi bergerak nyata menjadi garda kebangkitan umat. Sebab hanya dengan Islam, perubahan hakiki bisa terwujud, dan hanya dengan Islam pula kezaliman bisa diakhiri.
Wallahu a'lam bisshowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
