Bukan Lagi Soal KTP, Ini Revolusi Sebenarnya untuk Subsidi Elpiji
Kebijakan | 2025-09-08 00:26:29JAKARTA – Subsidi gas elpiji 3 kg telah menjelma menjadi monster fiskal yang menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp87,5 triliun per tahun, namun ironisnya gagal mencapai sasaran utamanya: masyarakat miskin. Alih-alih menjadi jaring pengaman sosial, kebijakan ini justru menjadi "pesta pora" bagi kelompok mampu dan menciptakan pendarahan anggaran yang membiayai impor hingga 70% dari kebutuhan nasional.
Sistem yang ada saat ini, di mana subsidi melekat pada tabung gas, terbukti bobrok. Siapa saja bisa membeli "gas melon" dengan harga murah, menciptakan pasar gelap untuk penimbunan dan pengoplosan. Upaya tambal sulam seperti mendata pembeli dengan KTP di pangkalan memang bisa melacak transaksi, namun tak mampu menjawab pertanyaan krusial: apakah pembeli tersebut berhak?.
Menghadapi bom waktu ini, sebuah solusi ideal yang komprehensif dan bertahap menjadi satu-satunya jalan keluar. Bukan revolusi semalam, melainkan reformasi strategis dalam tiga langkah kunci.
Langkah 1: Benahi Fondasi, Bukan Sekadar Atur Pengecer (1-2 Tahun)
Akar masalah subsidi salah sasaran adalah data yang tidak akurat. Oleh karena itu, langkah pertama bukanlah sekadar mengubah status 375.000 pengecer menjadi "sub-pangkalan". Langkah itu perlu, namun tidak cukup.
Fondasi yang harus dibangun adalah:
- Validasi Data Kemiskinan Nasional: Pemerintah harus mengalokasikan anggaran khusus dari APBN untuk melakukan verifikasi dan validasi total terhadap Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Tanpa data yang bersih dan akurat tentang siapa yang benar-benar miskin, reformasi apapun akan sia-sia.
- Formalisasi Distribusi: Selesaikan transformasi seluruh pengecer menjadi sub-pangkalan yang terintegrasi dalam sistem digital Pertamina. Ini akan menciptakan jaringan distribusi yang sepenuhnya terpantau dan siap untuk kebijakan yang lebih presisi.
Langkah 2: Ubah Paradigma, Subsidi untuk Orang Bukan Barang (2-5 Tahun)
Setelah fondasi data dan distribusi kuat, inilah saatnya mengubah paradigma secara total. Pemerintah harus berani melakukan uji coba dua model di daerah-daerah dengan data yang sudah valid:
- Model Distribusi Tertutup: Harga elpiji 3 kg tetap murah, namun hanya NIK yang terdaftar di DTKS yang bisa membelinya. Mereka yang tidak terdaftar harus membeli dengan harga pasar.
- Model Bantuan Langsung Tunai (BLT): Hapus subsidi harga sepenuhnya. Biarkan harga elpiji 3 kg mengikuti mekanisme pasar untuk mematikan praktik ilegal. Sebagai kompensasi, seluruh rumah tangga miskin yang terdata di DTKS menerima bantuan tunai langsung yang nilainya cukup untuk menutupi kenaikan harga.
Evaluasi ketat dari kedua model ini akan menentukan mana yang paling efektif dan paling minim gejolak sosial untuk diterapkan secara nasional.
Langkah 3: Visi Jangka Panjang, Lepas dari Ketergantungan Elpiji
Solusi akhir bukanlah terus-menerus mengelola subsidi, tetapi menghilangkannya secara bertahap dengan menyediakan alternatif yang lebih baik dan berkelanjutan. Penghematan triliunan rupiah dari reformasi subsidi harus dialihkan untuk:
- Akselerasi Jaringan Gas (Jargas): Percepat pembangunan pipa gas rumah tangga di wilayah perkotaan padat penduduk. Ini adalah solusi jangka panjang yang lebih murah dan memanfaatkan gas domestik, bukan impor.
- Promosi Kompor Listrik Cerdas: Dorong penggunaan kompor listrik di wilayah dengan pasokan listrik yang surplus dan bersih (berbasis energi terbarukan), bukan dari PLTU batu bara.

Reformasi ini menuntut "nyali politik" yang besar dan komunikasi publik yang jujur. Ini bukan tentang mencabut bantuan, tetapi memastikan setiap rupiah uang rakyat sampai ke kantong yang benar-benar membutuhkan. Tanpa langkah-langkah fundamental ini, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran setan: menguras APBN untuk menyubsidi orang kaya dan membiayai impor, sementara rakyat miskin tetap menjadi korban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
