Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fauza Millata Hanifa

Utang Negara dalam Sorotan Etika: Sampai di Mana Kita Boleh Berutang?

Ekonomi Syariah | 2025-09-07 15:52:38

Total Utang Indonesia mencapai angka Rp8.909,13 triliun per Februari menurut laporan APBN Kita. Hinga akhir Mei 2025, pemerintah telah melakukan penarikan utang baru Rp349,4 triliun yang membuat Sri Mulyani memutar otak, meminta izin kepada DPR untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sejumlah 85,6 triliun pada periode semester II-2025. Apakah nominal utang sebesar ini bisa dikatakan wajar?

Jika dilirik sekilas terkait angka ini, tampaknya pembelaan dari pemangku kepentingan akan mengatakan, “Masih aman, di bawah batas maksimum rasio utang terhadap PDB. Setengahnya lebih sedikit, tidak sampai 60%.”

Utang Negara: Aman Secara Angka, Tapi Nyata di Lapangan?

Apabila diibaratkan negara adalah suatu rumah yang memiliki prinsip batas berutang, akankah kondisi itu betul-betul aman? Bayangkan ada sebuah keluarga dengan prinsip finansial aman ketika cicilan tidak lebih dari 60%. Batas ini merupakan rambu, bukan sepenuhnya memberikan kenyamanan. Sebab faktanya, suatu keluarga bisa tetap kesulitan jika penghasilan konstan tetapi pengeluarannya konsisten meningkat. Tabungannya sedikit, cicilan banyak, lebih parah lagi jika menerapkan gali lubang-tutup lubang seperti apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Akibatnya, tidak ada cukup dana darurat untuk mengatasi risiko tidak terduga.

Masih dengan perumpamaan sebuah keluarga. Dampak yang ditimbulkan bisa berupa kecemasan terhadap anak-anak karena berpikir perlu bekerja keras di masa depan untuk menanggung seluruh cicilan utang orang tua yang belum lunas. Hal yang sama berlaku di sebuah negara. Generasi berikutnya juga pastinya akan timbul kecemasan terkait pajak yang nantinya dapat ditetapkan lebih tinggi oleh pemerintah untuk menutup utang-utang hasil dari kebijakan ekspansif di masa lalu. Untuk itu, ada faktor lain yang perlu dikulik terkait utang negara. Bukan hanya mempertimbangkan kapasitas bayar, tetapi juga etika dalam berutang.

Utang negara pada hakikatnya menjadi instrumen pemerintah untuk menerapkan kebijakan fiskal yang berperan sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Terutama dalam hal belanja produktif yang dimaksudkan sebagai bentuk investasi pemerintah dalam menyediakan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Namun realitanya, beberapa tahun terakhir, pembiayaan banyak digunakan untuk melunasi bunga utang. Selama semester I 2025, pemerintah telah menghabiskan Rp257,08 triliun untuk pembayaran bunga utang. Setiap rupiah yang dibayarkan utuk belanja produktif semakin berkurang seiring meningkatnya bunga yang perlu dibayarkan.

Produktif atau Sekadar Menutup Bunga?

Kebijakan ini tidak cukup dipandang dari segi fiskal, tetapi dimensi etika juga perlu menjadi pertimbangan. Kekhawatiran generasi mendatang terhadap beban pajak yang terlalu tinggi perlu dibandingkan apakah hal tersebut sepadan dengan manfaat yang diterima. Akan selalu ada trade-off antara efisiensi dan keadilan, tetapi pemerintah perlu memilih opsi mana yang dirasa memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat. Bukan hanya bagi satu atau dua golongan, melainkan mengupayakan seluruh lapisan dapat merasakan dampak dari belanja produktif yang memerlukan pembiayaan dengan utang ini.

Selain itu, good governance yang sering kali dicanangkan bukanlah embel-embel seruan semata, melainkan perlu adanya implementasi yang benar-benar terlaksana. Sebab, seluruh prosedur akan melibatkan pejabat yang berwenang dan perlu adanya tanggung jawab besar untuk mengelola keuangan publik secara jujur dan transparan. Dengan demikian, persoalan utang tidak hanya berkaitan tentang “kemampuan membayar”, tetapi juga “adil dan bijak dalam menggunakan”.

Dalam Islam, ini sejalan dengan salah satu pokok maqashid syariah, yaitu hifz al-mal (memelihara harta). Menjaga keuangan negara merupakan amanah yang sangat besar. Seperti yang terkandung dalam Q.S. Al-Baqarah: 282 bahwa terdapat tanggung jawab besar terkait pembayaran utang baik secara moral maupun sosial (agar tidak terjadi perselisihan). Utang yang diperuntukkan untuk kemaslahatan masyarakat dapat dibenarkan, tetapi perlu dikutip bahwa manfaat ini benar-benar bisa dirasakan.

Pada praktiknya, sering kali kita mendengar pemerintah mengambil utang untuk melakukan pembiayaan dalam menuntaskan program atau komitmen politik yang sebelumnya dijanjikan. Sedangkan di sisi lain, program tersebut dirasa oleh mayoritas masyarakat bukanlah suatu program penting yang mendesak untuk dilaksanakan. Namun, pendanaan yang diperlukan memakan anggaran yang sangat besar hingga memotong anggaran di sektor-sektor lain yang seharusnya menjadi prioritas nasional, seperti pendidikan dan kesehatan.

Berbicara tentang pendidikan yang sekarang sedang ramai diperbincangkan, penghasilan tenaga pengajar dibuat tak lebih berarti dibandingkan dengan pejabat yang kerjanya lebih banyak duduk di kursi sidang. Memberikan aspirasi belum tentu dilaksanakan. Pun, jika dilakukan belum tentu yang disampaikan menjadi suatu pernyataan solutif bagi kemaslahatan bersama warga Indonesia. Sedangkan di sisi lain, pemberian insentif yang lebih besar kepada tenaga kerja pendidikan adalah salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah dalam mencapai tujuan ketiga pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Mencerdaskan kehidupan bangsa,” dengan cara meningkatkan regulasi standar mutu.

Pemerintah selain menetapkan batas maksimum utang terhadap PDB juga perlu menetapkan batas etis penggunaan utang. Sebab, tanpa pijakan etika, utang bisa berubah menjadi jebakan yang memberatkan, bukan sekadar mengembangkan perekonomian. Layaknya dua sisi pedang yang berlawanan. Indikator manfaat sosial ekonomi perlu diperjelas sampai sejauh mana program tersebut berdampak bagi kehidupan masyarakat. Tidak hanya mengutamakan terlaksananya janji-janji politik dengan harapan mendapat apresiasi masa jabatan paling gemilang. Lebih lanjut, etika fiskal sebaiknya dapat menjadi bagian integral dalam mengambil suatu kebijakan sehingga pengambil keputusan dapat memiliki kesadaran moral bahwa utang bukan hanya sekadar angka.

Berutang: Antara Berkah dan Musibah

Berutang itu tidak dilarang, tetapi bagaimana cara mengelola dan memanfaatkannya menjadi penentu apakah ia menjadi berkah atau musibah. Indonesia tidak membutuhkan pejabat yang hanya ahli keuangan, tetapi lebih dari itu. Karakter nomor satu. Pemimpin yang mengedepankan etika dan manfaat yang lebih besar, bukan kepentingan pribadi atau golongan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image