Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad khairur Rasyid

Terlindas, Tertindas: Suara Rakyat yang Tak Kunjung Didengar

Kolom | 2025-09-05 12:27:18

Rakyat Indonesia kini berada di titik jenuh. Bertahun-tahun mereka menanggung beban kebijakan yang kerap tidak berpihak, hidup dalam tekanan ekonomi, dan menyaksikan korupsi yang tak kunjung berhenti. Akumulasi ketidakpuasan itu akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi besar-besaran. Jalanan menjadi panggung bagi rakyat dari berbagai elemen, menyuarakan aspirasi yang selama ini terabaikan.

Demonstrasi bukan pilihan pertama, melainkan jalan terakhir setelah ruang dialog tertutup rapat dan setiap aspirasi dianggap sekadar riak kecil. Ketika suara rakyat diperlakukan sebagai gangguan, bukan masukan, maka turun ke jalan menjadi keniscayaan. Ironisnya, momen yang seharusnya membuat pemerintah membuka telinga justru berubah menjadi ajang represi.Di sepanjang jalan, suara rakyat dibalas dengan barikade aparat. Spanduk yang seharusnya dibaca sebagai pesan, malah dianggap ancaman. Terlihat jelas jurang pemisah antara rakyat yang bersuara dan negara yang mengerahkan alat kekuasaan untuk membungkam. Bukannya dialog yang tercipta, justru benturan semakin menjadi-jadi.Teriakan lantang menggema, menyeruak di udara, menembus gedung-gedung tinggi yang dingin dan seakan tak peduli. Rakyat menuntut perubahan, menuntut keadilan yang sudah lama hilang. Namun keadilan terasa makin jauh. Yang hadir hanya gas air mata, pentungan, dan raungan mobil taktis yang meraung di tengah kerumunan.

Dari ribuan suara yang turun ke jalan, sebuah tragedi membuat bangsa ini terperanjat. Affan, seorang demonstran muda, menjadi korban. Tubuhnya dilindas mobil taktis aparat, peristiwa yang tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menorehkan luka dalam di hati rakyat. Seolah tragedi ini menegaskan, rakyat bukan saja tertindas oleh kebijakan, melainkan secara harfiah benar-benar terlindas oleh kekuasaan.

Bagi sebagian orang, mungkin Affan hanyalah satu nama. Namun, dalam konteks perlawanan rakyat, Affan adalah simbol. Ia mewakili semua suara yang berulang kali dibungkam, semua harapan yang dipadamkan, dan semua jeritan yang tak pernah didengar. Peristiwa tragis ini menjelma menjadi metafora nyata betapa relasi penguasa dan rakyat semakin timpang. Namun, ketika perlawanan diwujudkan lewat aksi damai, hasilnya justru kekerasan. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, malah berubah menjadi alat untuk membungkam mereka. Darah yang tumpah di jalan bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga pengkhianatan terhadap cita-cita demokrasi.

Akar kemarahan rakyat jelas terlihat. Mereka tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari rasa kecewa, marah, dan pengkhianatan yang mereka rasakan. Harga kebutuhan pokok terus melambung, korupsi merajalela tanpa penegakan hukum yang berarti, sementara kebijakan-kebijakan baru justru menekan kelompok rentan. Rakyat merasa tak lagi punya pilihan selain melawan.

Ironisnya, Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi perpanjangan suara rakyat justru tampil memalukan. Alih-alih bersuara untuk mereka yang menjerit, parlemen menjadi panggung olok-olok terhadap rakyat. Kita melihat anggota dewan berjoget ria di ruang sidang, melontarkan kata-kata kasar kepada rakyat yang mengkritik, bahkan menunjukkan nir empati di tengah badai PHK massal dan efisiensi ekonomi. Lebih menyakitkan lagi, di tengah penderitaan rakyat, mereka justru sibuk menaikkan gaji sendiri.Di sisi lain, polisi bertindak semakin represif. Demonstran yang menyuarakan keluhannya diperlakukan seolah-olah kelompok teroris yang harus diberangus. Mereka dipukul, ditangkap, diseret, bahkan ditembak gas air mata seolah-olah suara rakyat adalah musuh negara. Padahal, rakyat hanyalah berteriak agar hidupnya lebih layak.Sikap semacam itu kian mengikis legitimasi DPR. Lembaga yang seharusnya terhormat malah menjelma simbol keterputusan elite dengan realitas rakyat. Bagaimana mungkin rakyat masih percaya pada lembaga yang mengkhianati mandatnya dengan terang-terangan?

Gambaran ini menegaskan bahwa negara tak lagi membedakan antara penegakan hukum dengan pembungkaman. Polisi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat kini lebih mirip benteng kokoh yang menjaga kenyamanan penguasa. Bagi rakyat, kehadiran aparat bukan lagi simbol rasa aman, melainkan simbol ancaman.Di saat rakyat berdarah-darah di jalan, pejabat tetap sibuk dengan pencitraan. Televisi menayangkan program keberhasilan pembangunan, proyek mercusuar, serta pidato penuh janji. Di balik layar kaca, kenyataan yang terjadi di jalan sama sekali berbeda. Rakyat menangis, keluarga berduka, dan demokrasi terluka. Kontradiksi inilah yang membuat kepercayaan publik kian rapuh.

Demokrasi di atas kertas tampak indah, penuh pasal yang menjamin kebebasan berbicara dan berkumpul. Namun praktik di lapangan jauh dari itu. Setiap suara kritis dicurigai, setiap kerumunan dianggap ancaman, dan penjara selalu siap menunggu mereka yang terlalu vokal. Rakyat pun bertanya: apakah benar mereka pemilik kedaulatan, atau hanya pion yang diminta patuh?

Tragedi Affan seakan memberi jawaban pahit. Nyawa manusia ternyata bisa dipatahkan demi menjaga stabilitas semu. Padahal, stabilitas semacam itu lahir bukan dari keadilan, melainkan dari rasa takut yang ditanamkan. Stabilitas yang dibangun di atas ketakutan hanyalah ilusi, dan sejarah menunjukkan betapa rapuhnya ilusi tersebut.

Pemerintah mungkin merasa berhasil meredam dengan kekerasan, tetapi suara rakyat tidak pernah benar-benar bisa dibungkam. Ia mungkin dipaksa sunyi sesaat, namun selalu menemukan jalannya. Dari jalanan ke ruang-ruang diskusi, dari spanduk ke media sosial, suara itu akan tetap hidup.Sejarah dunia pun mengajarkan hal yang sama: kekuasaan yang menindas rakyatnya sendiri pada akhirnya runtuh oleh tangan rakyat. Dari Asia, Eropa, hingga Amerika Latin, kisahnya serupa. Rakyat yang diam lama-lama akan bangkit, dan ketika kebangkitan itu datang, tidak ada kekuatan yang mampu menahannya.

Kursi pejabat yang hari ini begitu dipertahankan hanyalah titipan. Rakyatlah yang menitipkan kekuasaan itu melalui suara mereka. Dan setiap titipan bisa dicabut kapan saja, terutama ketika pengkhianatan terlalu besar untuk ditoleransi.Affan menjadi simbol luka kolektif bangsa ini. Luka bagi keluarganya, luka bagi kawan seperjuangannya, dan luka bagi masyarakat yang menyaksikan. Namun ia juga menjadi simbol peringatan bagi penguasa, bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.

Jika para penguasa masih memiliki nurani, tragedi ini seharusnya menjadi titik balik. Bukan untuk menambah represi, tetapi untuk berani membuka ruang dialog. Sejarah dunia telah menunjukkan, dari Revolusi Prancis hingga kebangkitan rakyat di Italia, bahwa kesombongan kekuasaan selalu berakhir tragis. Raja Louis XVI yang dulu merasa tak tergoyahkan akhirnya digiring ke guillotine oleh rakyat yang muak akan penindasan. Di Italia pun, rakyat pernah menumbangkan rezim yang korup dan menjerumuskan bangsa ke jurang penderitaan. Semua itu terjadi karena penguasa menutup telinga, hingga rakyat mengambil alih kendali sejarah dengan tangannya sendiri. Maka, para pemimpin hari ini seharusnya belajar: jangan sampai rakyat yang sabar berubah menjadi gelombang people power yang tak terbendung, sebab ketika itu terjadi, harga yang harus dibayar adalah kehancuran kekuasaan itu sendiri.Dialog yang jujur dan setara adalah satu-satunya jalan. Pemerintah harus belajar merendahkan hati, mendengarkan keluhan rakyat, dan menghentikan tradisi menutup telinga. Tanpa itu, ketegangan akan terus membara, dan sejarah bangsa ini hanya akan diwarnai siklus luka.

Tragedi Affan tidak boleh dilihat sekadar sebagai “insiden yang disesalkan”. Ia adalah penanda betapa relasi negara dan rakyat sedang berada di titik kritis. Jika dianggap biasa, maka penguasa sedang menggali lubang untuk dirinya sendiri.

Dari sudut pandang hukum tata negara, munculnya people power juga dapat dibaca sebagai tanda lemahnya rule of law. Hukum idealnya menjadi saluran penyelesaian sengketa dan distribusi keadilan, tetapi ketika ia berubah menjadi alat represi, maka legitimasi formal tidak lagi cukup. Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law mungkin menekankan hierarki norma, tetapi realitas politik membuktikan bahwa norma tertinggi bukan sekadar konstitusi tertulis, melainkan legitimasi rakyat yang memberi makna pada setiap teks hukum. Tanpa legitimasi rakyat, hukum hanyalah kertas kosong, dan penguasa tinggal menunggu saat runtuhnya kekuasaan.Tidak ada demokrasi yang sehat tanpa partisipasi rakyat. Tidak ada stabilitas yang abadi tanpa keadilan. Dan tidak ada kekuasaan yang langgeng bila berdiri di atas penderitaan.

Maka, pemerintah dan DPR harus segera berhenti menggunakan cara-cara represif dan egois. Menghormati suara rakyat jauh lebih mulia daripada mempertahankan citra. Mengakui kesalahan jauh lebih berharga daripada terus menutupinya dengan kebohongan.

Pada akhirnya, bila suara rakyat terus dilindas, cepat atau lambat roda sejarah akan berbalik. Dan kali ini, yang akan terlindas bukan lagi rakyat, melainkan kekuasaan itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image