Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Cahaya di Atas Cahaya: Perspektif Sufi tentang Surah An-Nur Ayat 35

Agama | 2025-09-04 18:14:00

Oleh: Muliadi Saleh

Tiba-tiba, sebuah ayat bergetar di dada:

"Allah adalah Cahaya langit dan bumi..."

Bagi para sufi, ayat ini bukan hanya firman yang dibaca, melainkan kunci yang membuka pintu rahasia terdalam. Di sana, alam semesta hanyalah percikan, dan manusia hanyalah relung kecil yang menanti nyala cahaya Ilahi.

Al-Ghazali dalam Mishkat al-Anwar membisikkan, bahwa dada manusia adalah misykat—relung tempat lampu bersemayam. Lampu itu adalah iman, kaca beningnya adalah hati, dan minyaknya adalah fitrah yang diberkahi. Jika hati bening, ia akan memantulkan nur Allah sebagaimana bintang berkilauan di langit malam. Maka tugas manusia bukan menyalakan cahaya baru, melainkan membersihkan kaca hatinya agar pantulan itu tidak terhalang debu.

Ibn ‘Arabi menafsirkan lebih dalam. Bagi sang sufi Andalusia ini, tidak ada yang nyata selain Cahaya Allah. Langit dan bumi hanyalah cermin besar yang memantulkan-Nya. “Nurun ‘ala nur” bukan sekadar hidayah berlapis, tetapi tajalli—penyingkapan Ilahi yang tidak pernah berhenti, lapisan demi lapisan, hingga manusia sadar bahwa dirinya hanyalah bayangan dari Cahaya Yang Satu.

Sementara itu, Rumi, dengan bahasa cintanya, melihat ayat ini sebagai nyanyian kasih. Ia berkata: pelita, kaca, dan minyak hanyalah simbol. Api sejatinya adalah cinta. Cinta yang membuat hati menyala, cinta yang menyingkap rahasia. Nurun ‘ala nur adalah pertemuan dua kerinduan: cinta hamba yang terbit dari bumi, bertemu dengan cinta Allah yang turun dari langit.

Para sufi sepakat: ayat ini adalah peta suluk. Jalan spiritual yang membawa seorang salik dari kegelapan hawa nafsu menuju kejernihan hati. Seperti lampu yang tak akan hidup jika kacanya buram, begitu pula ruh tak akan bercahaya jika tertutup ego dan keserakahan. Maka, dzikir, tafakkur, dan mujahadah adalah cara mengilapkan kaca hati, agar cahayanya kembali memantul.

Cahaya itu bukan sekadar penerang jalan, melainkan kehidupan itu sendiri. Ia menyinari akal, menenteramkan jiwa, menyalakan cinta, bahkan menghidupkan rasa. Tanpa nur Ilahi, manusia hanyalah bayangan kosong yang berjalan dalam kelam.

Lalu, apa yang hendak diajarkan ayat ini kepada kita? Bahwa Allah tidak pernah pelit dengan cahaya-Nya. Cahaya itu sudah ada, mengalir, menyinari, menunggu hati yang jernih untuk memantulkannya. Kita tidak perlu mencari lampu lain. Yang kita perlukan hanyalah membersihkan kaca dalam diri agar pantulan itu kembali tampak.

Doa Puitis Penutup

Ya Allah,

Engkaulah Cahaya langit dan bumi.

Jadikanlah dada kami relung tempat lampu-Mu bersinar.

Jadikanlah hati kami kaca yang bening,

yang memantulkan cahaya-Mu tanpa cela.

Ya Allah,

Biarkan fitrah kami tetap murni,

seperti minyak zaitun yang bercahaya tanpa tersentuh api.

Jadikanlah iman kami pelita,

dan cinta kami nyala yang tak pernah padam.

Ya Allah,

Anugerahkanlah kepada kami nurun ‘ala nur—

cahaya di atas cahaya—

cahaya ilmu, cahaya iman, cahaya cinta,

hingga setiap langkah kami selalu menuju-Mu.

Amin.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image