Kejahatan Berulang: Penghinaan Nabi di Sistem Demokrasi
Kolom | 2025-09-04 11:54:34
Oleh : Yauma Bunga Yusyananda
(Member Ksatria Aksara Kota Bandung)
Kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ kembali mencuat di Turki setelah majalah satire LeMan menerbitkan sebuah karikatur yang dinilai merendahkan kesucian Rasulullah. Publik Turki langsung bereaksi keras. Kantor majalah itu digeruduk massa, dan aparat pun bergerak melakukan penangkapan terhadap beberapa pihak yang terlibat. Presiden Recep Tayyip Erdoğan bahkan secara terbuka mengecam keras tindakan tersebut, menyebutnya sebagai bentuk provokasi yang tidak dapat diterima. Meski pihak majalah mencoba menyangkal dengan mengatakan bahwa tokoh dalam gambar hanyalah “seorang Muslim bernama Muhammad” yang menjadi korban perang bukan Nabi Muhammad ﷺ, namun kemarahan umat Islam sudah telanjur membuncah. Sekitar 250-300 massa melakukan protes di kantor majalah tersebut. (cnnindonesia.com 01/07/2025)
Fakta ini memperlihatkan betapa masalah penghinaan Nabi bukan sekadar isu kecil, melainkan persoalan besar yang menyentuh hati setiap Muslim. Namun sayangnya, peristiwa ini bukanlah yang pertama. Penghinaan terhadap Nabi sudah berulang kali terjadi, baik di Eropa maupun dunia Islam sendiri. Polanya sama: selalu berlindung pada jargon kebebasan berekspresi. Demokrasi, dengan doktrin kebebasannya yang nyaris tanpa batas menjadi panggung subur bagi munculnya penghinaan ini. Atas nama kebebasan, Islam dan Nabinya dibolehkan dihina. Namun, jika hinaan serupa diarahkan pada simbol-simbol lain, segera akan dianggap sebagai ujaran kebencian yang harus dihukum. Inilah standar ganda yang selalu dipertontonkan.
Umat Islam tentu tidak bisa menerima penghinaan semacam ini. Sebab Nabi Muhammad ﷺ adalah manusia paling mulia, teladan utama, dan sosok yang wajib dimuliakan. Menghina beliau sama saja menghina agama Islam itu sendiri. Wajar bila umat Islam bangkit marah dan menolak semua alasan yang membungkus penghinaan tersebut.
Di sinilah tampak perbedaan mendasar antara peradaban Islam dengan peradaban Barat. Islam dibangun di atas asas akidah yang lurus, bukan pada nafsu kebebasan tanpa batas. Dalam sistem Islam, kemuliaan agama dan kehormatan Rasulullah dijaga dengan mekanisme hukum yang jelas. Negara dalam Islam, yaitu Khilafah, memiliki kewajiban menegakkan aturan syariat yang melindungi kehormatan Nabi dan umatnya. Para penghina Nabi dijatuhi sanksi tegas dan menjerakan, tanpa pandang bulu, baik mereka Muslim maupun non-Muslim.
Sejarah pun mencatat bagaimana pada masa lalu, umat Islam yang hidup dalam naungan Khilafah bisa merasa aman dari penghinaan semacam ini. Bahkan banyak sejarawan Barat yang mengakui bahwa peradaban Islam mampu menjaga kehormatan umatnya sekaligus memberi perlindungan kepada non-Muslim. Semua itu terjadi karena Islam menempatkan akidah sebagai asas kehidupan, bukan kebebasan semu yang hanya melahirkan konflik. Maka, baik muslim ataupun non-muslim jika ada yang menghina Nabi itu adalah bentuk kejahatan yang harus dihukum pelakunya oleh Islam.
“Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65 – 66).
Kasus terbaru di Turki seharusnya menjadi cermin bagi umat Islam di seluruh dunia. Selama kita masih menerima demokrasi sebagai sistem kehidupan, selama itu pula kita akan terus menyaksikan penghinaan terhadap Nabi. Kebebasan yang diagungkan dalam demokrasi sejatinya hanya melahirkan luka baru bagi umat. Saatnya kita kembali kepada Islam, menegakkan aturan Allah secara total, dan membangun peradaban yang benar-benar menjaga kemuliaan Rasulullah ﷺ.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
