Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Admin Eviyanti

Penanganan Duck Syndrome ala Remaja Gaza

Politik | 2025-09-03 19:16:35

Oleh Herra

Aktivis Muslimah

Terlihat tenang, padahal tertekan. Itulah gambaran lihat beberapa mahasiswa di sekitar. Nampak tenang padahal dirinya sedang merasakan tekanan yang berat. Inilah yang disebut dengan duck syndrome. Munculnya fenomena duck syndrome karena kondisi tersebut sama dengan kondisi bebek yang sedang berenang tampak tenang di permukaan, tapi di dalamnya sangat sibuk mengayuh agar tetap bisa berenang. Psikolog dari Unit Pengembangan Karier dan Kemahasiswaan (UKK) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Anisa Yuliandri menjelaskan, istilah duck syndrome pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Universitas Stanford yang tampak tenang tetapi sebenarnya sedang berada di bawah tekanan besar.

Kini pola yang sama kerap terlihat di kampus-kampus di seluruh dunia, termasuk di Indonesia di mana rata-rata mahasiswa berupaya memenuhi ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Sembari mempertahankan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, aktif berorganisasi, mengikuti magang, berkompetisi dalam berbagai acara, dan mempertahankan kehadiran di media sosial.

Menurut Yuliandri ada beberapa penyebab yang membuat mahasiswa mengalami duck syndrome. Antara lain keseimbangan psikologis seseorang dapat terganggu ketika pilihan hidup tidak lagi didorong oleh keinginan pribadi melainkan oleh tekanan eksternal. Penyebab lain yang berkontribusi adalah ekspektasi budaya untuk selalu terlihat baik-baik saja menyebabkan mahasiswa menekan atau menyembunyikan emosi mereka yang sebenarnya. (Kompas.com)

Berbicara tentang tekanan yang sedang dirasakan oleh para remaja, tentu kita bisa berkaca dari remaja di Gaza. Bagaimana tekanan secara fisik dan psikis yang terus diserang oleh zionis. Upaya penjajah mengosongkan Gaza dengan berbagai cara, pengeboman pusat-pusat pendidikan kesehatan dan fasilitas publik; pembunuhan; Pelaparan, merupakan kondisi yang sangat buruk, dan bertambah buruk

Anak-anak Gaza tetap teguh bahkan tetap belajar dan berprestasi dengan tekun dan bercita-cita tetap di Gaza. Namun, yang terjadi di Gaza tidak membuat mereka lemah.

Pembentukan generasi penjaga masjid Al Aqsa tetap dilakukan. Remaja dan orangtua bahkan nenek-nenek yang memiliki kemampuan melakukan diskusi dan memberikan pelajaran serta pendidikan pada anak-anak Gaza. Pendidikan Qur'ani yang akan membentuk generasi yang berkepribadian Islam penjaga Al Aqsa.

Anak-anak tetap melakukan kewajiban dalam kondisi perang. Perang bukan alasan berhenti belajar, bahkan berhasil menyelesaikan pendidikan tanpa didampingi orangtua mereka yang telah syahid.

Berbeda halnya dengan kondisi mahasiswa yang berada dalam tekanan sistem kapitalis, berjuang untuk tetap bertahan. Tuntutan hidup perfeksionis ala kapitalisme dan gaya hidup kapitalisme telah menjerat generasi muda, harus memenuhi tuntutan ala sekuler kapitalis tapi sebenarnya tidak mampu. Sehingga menjadi stres dalam hidup, ditambah dengan kondisi lemah iman, tidak memahami hakikat hidup, prioritas amal, rendahnya kesadaran politik bahwa sistem sekuler kapitalis menjadikan krisis multidimensi sehingga tidak bisa dihadapi secara individual.

Kaum muslim dimanapun berada harus mulai menyadari bahwa situasi sekarang butuh penyatuan kekuatan kaum muslimin untuk mengakhiri perang di Gaza, yang akan mampu mengomando tentara kaum muslimin untuk berjihad demi mengakhiri Zionis AS.

Anak-anak bisa merasakan kembali kehidupan yang indah dalam naungan syariat Islam, oleh karena itu perlu ada perjuangan untuk menegakkan khilafah. Perjuangan ini membutuhkan dukungan umat termasuk para pemuda/mahasiswa muslim.

Ketangguhan anak-anak Gaza harus menjadi inspirasi bagi mereka yang terkena duck syndrome. Ketangguhan mereka adalah bukti nyata ketinggian Islam dalam membina generasi.

Memahamkan kembali hakikat identitas hakiki sebagai muslimah, dan menyadarkan jebakan standar kapitalisme justru membuat stres, merusak dan menjerumuskan. Semua itu membutuhkan penyadaran politik dan adanya kebutuhan perubahan sistem Islam sebagai solusi krisis multidimensi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image