Aceh dan Dua Lidah Partai: Saat Ketua DPRA Berbeda dengan Ketuanya
Politik | 2025-09-03 00:58:34POLITIK Aceh hari ini memperlihatkan drama yang jarang tersaji secara terang-benderang bahwa seorang ketua partai berbicara dengan penuh kehati-hatian demi menjaga bingkai persatuan, sementara ketua lembaga legislatif dari partai yang sama justru melontarkan kalimat yang bertentangan secara frontal. Muzakir Manaf (Mualem) dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPA Partai Aceh di berbagai kesempatan menegaskan bahwa Pancasila adalah perekat, NKRI adalah bingkai, dan Aceh tetap berada di dalamnya. Namun hal berbeda, Ketua DPR Aceh yang juga berasal dari Partai Aceh, seakan-akan menampar pernyataan itu di muka umum saat aksi di halaman gedung DPRA Sabtu 1 September 2025 dengan menyebut "tulis saja poin pemisahan Aceh dari pusat, biar saya teken".
Dua suara ini bukan sekadar beda gaya, melainkan penegasan bahwa dalam tubuh Partai Aceh sendiri, ada jurang tafsir yang makin melebar. Mualem tampil sebagai figur moderat yang berusaha menjaga warisan damai Helsinki agar tak runtuh. Ia sadar, terlalu mahal harga yang harus dibayar bila Aceh kembali melawan bingkai negara. Namun Ketua DPR Aceh terkesan memilih jalur sebaliknya dengan melempar retorika berbau separatisme, sekalipun dengan nada bercanda, yang jelas-jelas melemahkan pesan politik sang ketua partai. Dalam kacamata teori Sun Tzu, kondisi ini bukan sekadar perbedaan strategi, tetapi tanda disharmoni dalam barisan, sebuah kondisi yang berbahaya karena musuh bisa masuk lewat celah yang terbuka.
Madilog ala Tan Malaka mengajarkan bahwa kontradiksi adalah motor sejarah. Tetapi kontradiksi yang tak dikelola bisa berubah menjadi perpecahan. Mualem berdiri di atas logika material dimana Aceh membutuhkan stabilitas, investasi, dan kepercayaan politik pusat untuk menuntaskan butir-butir MoU Helsinki. Ia tahu bahwa legitimasi hanya bisa dijaga jika Aceh menunjukkan kesetiaan konstitusional. Sebaliknya, Ketua DPR Aceh memilih tetap memainkan imajinasi kemerdekaan, menyalakan bara identitas yang selalu hangat di dada rakyat. Dari perspektif materialisme dialektika historis, ucapan itu lahir dari keresahan konkret, ketidakpuasan atas janji-janji yang tak kunjung ditunaikan, distribusi ekonomi yang timpang, atau luka sejarah yang belum tuntas.
Tetapi ucapan itu juga jelas-jelas memperlemah posisi Mualem. Ketika sang ketua berupaya mengirim sinyal loyalitas kepada pusat, bawahannya justru menembak dengan peluru simbolis yang berlawanan arah. Seakan Ketua DPR Aceh ingin menunjukkan bahwa ia tidak tunduk sepenuhnya pada garis partai, bahwa ia bisa memainkan panggung politik Aceh dengan caranya sendiri. Dalam tradisi politik lokal, ini bisa dibaca sebagai upaya membangun basis massa yang lebih militan, sekaligus menantang otoritas ketua partai.
Risikonya tidak kecil. Retorika separatisme yang dilempar begitu saja berpotensi dipakai pemerintah pusat untuk menekan Aceh, atau bahkan memperlihatkan Partai Aceh sebagai rumah yang retak. Lebih jauh, rakyat Aceh sendiri bisa semakin bingung, siapa sebenarnya yang mereka ikuti, Mualem yang menenangkan atau Ketua DPR yang memprovokasi? Dalam situasi ini, Partai Aceh justru memperlihatkan diri dengan dua lidah, dimana satu berbicara kesetiaan, satu lagi mengumbar perlawanan.
Aceh pernah belajar bahwa konflik tak lahir dari peluru semata, tapi dari kata-kata yang memicu imajinasi. Ketika Ketua DPR Aceh terang-terangan melawan arus pernyataan Mualem, yang dipertaruhkan bukan hanya soliditas partai, tetapi juga masa depan politik damai yang selama ini susah payah dirawat. Pertentangan ini membuat publik bertanya, apakah Partai Aceh masih punya satu suara, ataukah kini setiap tokoh sudah mulai memainkan panggungnya sendiri?
Sejarah Aceh tahu satu hal bahwa ketika lidah-lidah elite tak lagi seirama, rakyat akan menanggung konsekuensinya. Dan kali ini, ketidakpatuhan Ketua DPR terhadap pernyataan Mualem yang berbeda justru membuat Aceh kembali berada di persimpangan, antara stabilitas yang dijanjikan, atau bara yang bisa saja kembali menyala.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
