Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Ketika Pemimpin Membungkuk: Budaya Mundur dalam Tata Kelola Institusi di Jepang

Wisata | 2025-09-02 19:05:45
Membungkuk (Photo Japanese Education Centre)

Dalam lanskap bisnis dan pemerintahan modern, tanggung jawab adalah inti dari etika kepemimpinan. Ketika sebuah kesalahan besar terjadi, ekspektasi publik seringkali menuntut adanya akuntabilitas.

Di banyak negara, hal ini dapat diwujudkan melalui pengunduran diri, restrukturisasi, atau bahkan tuntutan hukum. Namun, di Jepang, konsep mundur dari jabatan memiliki makna yang jauh lebih dalam, terjalin erat dengan filosofi budaya yang menghargai harmoni kolektif, kehormatan, dan tanggung jawab moral di atas segalanya.

Budaya "mundur" atau "jishuku" (自粛) adalah fenomena yang sering diamati di Jepang, baik dalam dunia politik, korporasi, maupun olahraga. Ini bukanlah sekadar pengunduran diri formal, melainkan sebuah gestur simbolis yang menunjukkan penyesalan mendalam dan kesediaan untuk memikul tanggung jawab atas kegagalan, baik yang disebabkan oleh kesalahan pribadi maupun kegagalan sistem di bawah kepemimpinan mereka.

Fenomena ini tidak hanya terbatas pada skandal besar, tetapi juga bisa terjadi akibat kegagalan target, kesalahan data, atau bahkan insiden yang tidak terduga. Ini menjadi “budaya”, bahwa dalam pengelolaan institusi perlu tanggung jawab.

Akar dari budaya ini dapat dilacak ke nilai-nilai feodalisme di Jepang. Para samurai dan pemimpin feodal diharapkan untuk menunjukkan "bushido" (武士道) atau jalan ksatria, di mana kehormatan dianggap lebih berharga daripada nyawa. Konsep "seppuku" (切腹) atau ritual bunuh diri adalah bentuk ekstrem dari memikul tanggung jawab atas kegagalan.

Meskipun praktik ini telah lama ditinggalkan, prinsip yang mendasarinya, yaitu tanggung jawab absolut seorang pemimpin, tetap tertanam dalam psikologi kolektif. Sehingga terbiasa ditemukan dalam kondisi.

Dalam konteks modern, hal ini berevolusi menjadi pengunduran diri sebagai cara untuk memulihkan kehormatan dan menghindari kerugian lebih lanjut bagi institusi. Pengunduran diri dini sering dipandang sebagai langkah proaktif untuk meredam kemarahan publik dan menjaga reputasi perusahaan atau pemerintah. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa pemimpin tersebut tidak lepas tangan dan bersedia menanggung konsekuensi.

Proses pengunduran diri ini seringkali diawali dengan permintaan maaf publik yang tulus, dikenal sebagai "owabi" (お詫び). Dalam konferensi pers, pemimpin yang bersangkutan akan membungkuk dalam-dalam, kadang hingga 90 derajat, sebagai tanda penyesalan dan penghormatan. Gestur ini, meskipun sederhana, mengandung makna yang kuat dalam komunikasi non-verbal di Jepang.

Setelah permintaan maaf, seringkali diikuti dengan pengumuman pengunduran diri. Alasan yang diberikan tidak selalu spesifik. Terkadang, mereka hanya menyatakan "tanggung jawab moral" atas insiden yang terjadi. Hal ini memungkinkan transisi kepemimpinan yang lebih mulus tanpa harus terlibat dalam perdebatan hukum yang panjang. Bagi publik Jepang, gestur ini seringkali cukup untuk menunjukkan bahwa sistem telah "memperbaiki" dirinya sendiri.

Tanggung jawab kolektif juga memainkan peran penting. Seorang pemimpin mungkin mundur bukan karena kesalahan pribadinya, tetapi karena kegagalan tim atau departemen di bawahnya. Dalam budaya Jepang, pemimpin adalah representasi dari seluruh kelompok. Oleh karena itu, kegagalan satu anggota dapat mencerminkan kegagalan pemimpin itu sendiri.

Sepanjang sejarah, banyak contoh dari budaya mundur ini. Salah satu yang paling terkenal adalah pengunduran diri para eksekutif dari Tokyo Electric Power Company (TEPCO) pasca bencana nuklir Fukushima pada tahun 2011.

Meskipun investigasi menunjukkan adanya kegagalan sistem dan kelalaian, pengunduran diri para petinggi perusahaan dipandang sebagai langkah yang diperlukan untuk mengambil "tanggung jawab" atas tragedi tersebut.

Dalam dunia politik, seorang menteri bisa mundur hanya karena kesalahan dalam menyajikan data atau karena skandal kecil yang dianggap memalukan bagi partai. Ini menunjukkan bahwa standar moral yang diharapkan dari para pemimpin sangat tinggi.

Pada sektor korporasi, kasus skandal manipulasi data di perusahaan seperti Toshiba dan Takata juga berakhir dengan pengunduran diri para CEO. Ini bukan hanya untuk memenuhi tuntutan hukum, tetapi juga untuk mengirimkan pesan kepada pasar dan masyarakat bahwa perusahaan mengakui kesalahannya dan bersedia melakukan perubahan.

Meskipun budaya mundur ini memiliki sisi positif, yaitu mendorong akuntabilitas dan menjaga kepercayaan, ia juga menghadapi kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa pengunduran diri yang terlalu cepat bisa menjadi jalan pintas untuk menghindari penyelidikan yang lebih dalam dan reformasi struktural yang diperlukan. Setelah seorang pemimpin mundur, fokus publik seringkali beralih dari masalah sistemik ke masalah individu, yang bisa menghambat perbaikan jangka panjang.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa budaya ini bisa menjadi "ritual" kosong yang tidak benar-benar menyelesaikan akar masalah. Seorang pemimpin baru mungkin ditunjuk, tetapi masalah mendasar yang menyebabkan kegagalan tetap ada. Hal ini bisa menciptakan siklus di mana insiden serupa terus berulang.

Perbedaan mencolok antara budaya mundur di Jepang dan di Barat terletak pada motivasinya. Di Barat, pengunduran diri seringkali terjadi akibat tekanan publik yang intens dan ancaman tuntutan hukum. Ini lebih berorientasi pada akuntabilitas legal dan finansial. Sebaliknya, di Jepang, motivasi utama adalah akuntabilitas moral dan sosial; ini adalah tentang memulihkan kehormatan dan menjaga harmoni dalam masyarakat.

Di negara-negara Barat, pemimpin seringkali akan "melawan" tuduhan, membela diri, dan mencari solusi melalui jalur hukum. Mereka mungkin hanya akan mundur ketika posisi mereka tidak lagi dapat dipertahankan. Di Jepang, sikap defensif semacam itu seringkali dipandang negatif, karena dianggap sebagai kegagalan untuk mengakui kesalahan.

Budaya mundur dalam tata kelola institusi di Jepang adalah cerminan dari nilai-nilai budaya yang dalam, di mana tanggung jawab dan kehormatan kolektif menempati posisi sentral. Meskipun dapat dilihat sebagai bentuk akuntabilitas yang unik dan efektif, ia juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah ia benar-benar mendorong reformasi yang substansial. Ini adalah praktik yang menunjukkan bagaimana tradisi dapat berinteraksi dengan tantangan modern, menciptakan sebuah sistem yang unik dalam menghadapi kegagalan.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa akuntabilitas memiliki banyak wajah, dan di Jepang, wajah itu seringkali adalah busur kepala yang dalam, sebuah pengakuan diam bahwa seorang pemimpin telah gagal, dan langkah pertama untuk membersihkan nama baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image