Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Kehidupan Keagamaan Islam di Jepang: Dari Fatwa hingga Hari Raya

Agama | 2025-09-02 18:53:31
Masyarakat Muslim Jepang (Photo Republika)

Populasi Muslim di Jepang terus bertambah. Meskipun jumlahnya masih relatif kecil dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhannya signifikan dan menciptakan dinamika baru dalam kehidupan beragama di Negeri Sakura. Pada tahun 2020, diperkirakan terdapat lebih dari 230.000 Muslim di Jepang, dua kali lipat dari tahun 2010.

Peningkatan ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk kedatangan ekspatriat dari negara-negara Muslim, mahasiswa internasional, dan juga warga Jepang yang memeluk Islam. Komunitas Muslim yang beragam ini membawa serta tradisi dan praktik keagamaan yang kaya.

Pertumbuhan komunitas Muslim ini tidak hanya menambah jumlah individu, tetapi juga memperkaya kehidupan sosial dan budaya di Jepang. Masjid-masjid, yang dulunya jarang ditemukan, kini mulai tersebar di berbagai kota besar.

Selain menjadi tempat ibadah, masjid-masjid ini juga berfungsi sebagai pusat komunitas, tempat di mana Muslim bisa berkumpul, belajar, dan berinteraksi satu sama lain. Keberadaan restoran halal, toko kelontong, dan bahkan layanan pemakaman Islam juga menunjukkan bagaimana komunitas ini semakin terintegrasi dan memiliki kebutuhan yang diakomodasi.

Dengan bertambahnya populasi, kebutuhan akan panduan keagamaan pun meningkat. Para Muslim di Jepang menghadapi tantangan unik. Mereka harus menavigasi kehidupan modern di tengah masyarakat yang mayoritas non-Muslim.

Pertanyaan-pertanyaan seputar praktik keagamaan, seperti makanan halal, keuangan syariah, dan pendidikan Islam, menjadi isu penting yang perlu dijawab. Kehadiran para ulama dan cendekiawan Islam menjadi sangat krusial untuk memberikan fatwa atau panduan keagamaan yang relevan dengan konteks Jepang.

Fatwa, atau pendapat hukum Islam, memainkan peran vital dalam memberikan kejelasan. Misalnya, bagaimana menentukan kiblat di suatu tempat, atau apakah produk tertentu memenuhi kriteria halal.

Fatwa-fatwa ini sering kali dikeluarkan oleh lembaga-lembaga keagamaan Islam di Jepang, atau oleh para ulama yang dihormati. Prosesnya tidak selalu mudah, mengingat perbedaan mazhab dan pemahaman keagamaan yang ada di antara komunitas Muslim yang beragam.

Meskipun demikian, ada upaya kolaboratif untuk mencapai konsensus, terutama dalam isu-isu penting yang mempengaruhi seluruh komunitas. Diskusi dan dialog antar-ulama dari berbagai latar belakang etnis dan mazhab menjadi hal yang umum.

Hal ini mencerminkan semangat inklusivitas dan saling menghormati yang menjadi ciri khas komunitas Muslim di Jepang. Fatwa-fatwa ini membantu Muslim untuk tetap teguh dalam keimanannya, sambil tetap menjadi bagian yang produktif dari masyarakat Jepang.

Kehidupan keagamaan Islam di Jepang sering kali menghadirkan tantangan yang unik. Salah satunya adalah dalam penentuan hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Di negara-negara mayoritas Muslim, penentuan ini relatif lebih mudah. Keputusan seringkali dikeluarkan oleh pemerintah atau otoritas keagamaan pusat.

Namun, di Jepang, tidak ada otoritas keagamaan Islam tunggal yang diakui secara resmi oleh negara. Sehingga masyarakat muslim akan memilih sesuai dengan pandangan komunitas masing-masing.

Hal ini menyebabkan pendekatan yang berbeda dalam penentuan hari raya. Beberapa komunitas Muslim menggunakan metode rukyatul hilal (melihat bulan) secara lokal. Mereka berusaha untuk melihat bulan sabit penanda awal bulan Hijriah. Namun, karena kondisi geografis dan cuaca di Jepang, rukyatul hilal seringkali sulit dilakukan. Hal ini bisa menyebabkan perbedaan dalam penentuan tanggal.

Oleh karena itu, banyak komunitas yang memilih untuk mengikuti hisab atau perhitungan astronomi. Metode ini dianggap lebih praktis dan bisa memberikan kepastian tanggal. Namun, bahkan dalam penggunaan hisab, bisa ada perbedaan. Beberapa kelompok mengikuti hisab global, sementara yang lain mungkin menggunakan kriteria hisab yang berbeda. Hal ini bisa menimbulkan kebingungan di antara umat.

Untuk mengatasi hal ini, ada upaya koordinasi yang dilakukan oleh berbagai organisasi Islam di Jepang. Mereka berusaha mencapai kesepakatan bersama. Misalnya, Panitia Pusat Pengamatan Hilal untuk Jepang (CCHSJ) dibentuk untuk mengoordinasikan penentuan awal bulan.

Tujuannya adalah untuk menyatukan umat Muslim Jepang dalam perayaan yang sama.

Namun, tidak semua kelompok sepakat. Beberapa komunitas yang lebih kecil atau yang memiliki hubungan erat dengan negara asal mereka mungkin memilih untuk mengikuti tanggal yang ditetapkan di negara tersebut.

Misalnya, Muslim dari Indonesia mungkin mengikuti keputusan pemerintah Indonesia. Hal ini kadang menciptakan situasi di mana satu keluarga merayakan Idul Fitri pada tanggal yang berbeda dengan keluarga lain di kota yang sama.

Selain itu, fatwa juga diperlukan untuk urusan praktis lainnya.

Contohnya, masalah makanan halal. Meskipun sudah banyak restoran halal, masih ada keraguan tentang status halal dari produk-produk yang dijual di supermarket biasa. Fatwa dari para ulama dibutuhkan untuk memberikan panduan yang jelas. Mereka akan meneliti bahan-bahan, proses produksi, dan sertifikasi.

Contoh lain adalah keuangan syariah. Muslim di Jepang yang ingin berinvestasi atau mengajukan pinjaman seringkali menghadapi kesulitan. Fatwa diperlukan untuk menjelaskan produk-produk keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah. Lembaga-lembaga keuangan Islam di Jepang juga mulai berkembang, tetapi masih terbatas. Fatwa membantu memberikan panduan bagi individu dan lembaga untuk memastikan praktik mereka sesuai dengan ajaran Islam.

Secara keseluruhan, kehidupan keagamaan Islam di Jepang adalah perjalanan yang menarik. Komunitas yang terus tumbuh ini menghadapi tantangan, tetapi juga menemukan solusi kreatif. Melalui fatwa dan upaya koordinasi, mereka berusaha mempertahankan identitas keagamaan mereka. Mereka juga tetap berupaya menjadi bagian yang produktif dari masyarakat Jepang. Ini adalah contoh yang kuat tentang bagaimana Islam beradaptasi dan berkembang di konteks budaya yang berbeda.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image