Suara Kebangsaan dari Kampus: Pendidikan sebagai Perjuangan yang Bermartabat
Politik | 2025-09-02 14:14:51Pendahuluan
Bangsa Indonesia kembali berada dalam fase ujian sejarah. Gelombang demonstrasi, tuntutan publik terhadap keadilan sosial, hingga tindakan anarkis berupa pembakaran fasilitas umum oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, menjadi potret sosial yang menandai betapa rentannya fondasi persatuan kita hari ini. Pada satu sisi, demonstrasi adalah bagian sah dari kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi. Namun pada sisi lain, demonstrasi yang kehilangan arah dan jatuh ke dalam tindak anarkis tidak lagi merepresentasikan suara rakyat, melainkan kebisingan yang membahayakan stabilitas sosial dan mengaburkan makna perjuangan itu sendiri.
Dalam situasi seperti ini, suara pendidikan tidak boleh absen. Perguruan tinggi, sekolah, dan lembaga pendidikan pada umumnya, tidak bisa hanya menjadi “menara gading” yang terpisah dari realitas. Mereka justru harus tampil sebagai benteng moral bangsa, penopang akal sehat, dan ruang bagi lahirnya gagasan-gagasan bermartabat yang mampu menawarkan jalan keluar. Pendidikan, dalam hal ini, bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, melainkan sebuah perjuangan panjang untuk membentuk karakter, menumbuhkan kesadaran kritis, dan melahirkan generasi yang mampu memimpin perubahan dengan cara yang beradab.
Krisis Kebangsaan dan Akar Permasalahannya
Demonstrasi yang terjadi di berbagai kota besar dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan adanya ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah dan ketimpangan sosial-ekonomi yang makin tajam. Krisis kepercayaan terhadap institusi negara memperparah kondisi ini, sehingga jalanan menjadi arena ekspresi kemarahan kolektif. Menurut Antonio Gramsci, krisis hegemonik terjadi ketika kelas penguasa kehilangan legitimasi moral di mata masyarakat luas. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tampak dalam bentuk distrust publik yang berujung pada ledakan aksi massa.
Namun, yang perlu dicermati adalah bagaimana ekspresi politik rakyat seringkali berhenti pada tataran pragmatis, tanpa visi jangka panjang. Aksi-aksi yang berujung anarkis, selain menimbulkan kerugian materiil, juga merusak citra perjuangan itu sendiri. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai “kesadaran magis”: sebuah bentuk kesadaran semu yang hanya bereaksi terhadap gejala, bukan menyentuh akar permasalahan. Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menekankan pentingnya membangun “kesadaran kritis” (conscientização), di mana rakyat tidak hanya marah, tetapi juga memahami struktur penindasan dan mampu merumuskan strategi pembebasan yang konstruktif.
Dengan kata lain, krisis kebangsaan hari ini bukan hanya soal ekonomi atau politik, melainkan krisis kesadaran. Tanpa pendidikan yang membebaskan, rakyat mudah digerakkan oleh provokasi, tetapi sulit diarahkan menuju perubahan yang berkelanjutan.
Pendidikan sebagai Jalan Perlawanan Bermartabat
Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pendidikan memiliki misi luhur: membentuk manusia merdeka yang bertanggung jawab secara moral dan sosial.
Dalam kerangka ini, pendidikan bukanlah aktivitas netral. Ia adalah bentuk perjuangan yang bermartabat. Di saat jalanan penuh dengan kemarahan, kampus dan sekolah justru harus menjadi ruang perlawanan yang lebih radikal: perlawanan dengan akal sehat, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Radikal bukan dalam arti destruktif, melainkan menyentuh akar permasalahan bangsa.
Guru, sebagai agen utama pendidikan, memegang peran strategis. Mereka bukan hanya penyampai materi pelajaran, melainkan penggerak transformasi sosial. Ketika seorang guru menanamkan nilai kejujuran, mengajarkan berpikir kritis, atau menumbuhkan rasa cinta tanah air pada muridnya, sejatinya ia sedang melakukan sebuah perlawanan terhadap budaya korupsi, kebodohan, dan apatisme yang melekat dalam masyarakat.
Perguruan tinggi, dalam konteks ini, adalah laboratorium kebangsaan. Di sinilah intelektual muda ditempa untuk menjadi pemimpin masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral. Kampus yang diam di tengah krisis bangsa berarti sedang mengkhianati tugas historisnya.
Perlawanan Akademik vs Perlawanan Anarkis
Sejarah membuktikan bahwa perubahan besar dalam masyarakat seringkali lahir dari universitas dan ruang-ruang pendidikan. Revolusi 1968 di Prancis, gerakan mahasiswa di Amerika Latin, hingga Reformasi 1998 di Indonesia, adalah contoh nyata bahwa intelektual muda mampu menjadi motor perubahan sosial. Namun, perlawanan yang lahir dari kampus berbeda dengan perlawanan jalanan yang tak terkendali. Ia lahir dari perenungan, diskusi kritis, kajian ilmiah, dan orientasi moral yang jelas.
Perlawanan akademik berakar pada pengetahuan, sehingga lebih sulit dipatahkan. Kekuasaan dapat menutup jalanan, tetapi tidak bisa menutup pikiran yang tercerahkan. Inilah kekuatan pendidikan: ia bekerja secara senyap, lambat, tetapi pasti. Jika aksi anarkis membakar dalam sekejap, pendidikan menyalakan api kecil yang mampu bertahan lintas generasi.
Perlawanan anarkis seringkali hanya menghasilkan siklus baru penindasan. Sebaliknya, perlawanan akademik melahirkan kesadaran kritis yang memperbaiki struktur sosial dari dalam. Seperti kata Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.”
Membongkar Ilusi Perubahan Instan
Salah satu kelemahan bangsa ini adalah kecenderungan mencari solusi instan. Demonstrasi dianggap jalan cepat untuk mengubah keadaan, padahal sejarah menunjukkan bahwa perubahan sejati selalu membutuhkan proses panjang. Revolusi Perancis (1789) yang menginspirasi dunia, misalnya, membutuhkan puluhan tahun hingga ide-ide kebebasan benar-benar melembaga dalam sistem sosial-politik.
Ilusi perubahan instan melahirkan frustrasi kolektif. Ketika hasil tidak segera tampak, massa cenderung memilih jalan pintas berupa kekerasan. Di sinilah pendidikan harus hadir sebagai penawar. Pendidikan mengajarkan kesabaran strategis, kesadaran historis, dan kemampuan berpikir jangka panjang.
Data dari UNESCO (2022) menunjukkan bahwa investasi pada pendidikan dasar dan menengah memiliki dampak langsung terhadap peningkatan indeks demokrasi dan stabilitas sosial suatu negara. Negara dengan tingkat pendidikan tinggi lebih tahan terhadap konflik sosial, karena masyarakatnya memiliki kapasitas lebih besar untuk menyelesaikan perbedaan melalui dialog dan institusi formal, bukan melalui kekerasan.
Panggilan Moral untuk Bangsa
Dalam kondisi bangsa yang sedang diuji, lembaga pendidikan memiliki panggilan moral untuk bersuara. Mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton. Dosen tidak boleh hanya sibuk dengan publikasi akademik. Guru tidak boleh hanya terjebak dalam rutinitas kurikulum. Semua elemen pendidikan harus sadar bahwa mereka memikul tanggung jawab historis untuk menjaga martabat bangsa.
Perjuangan bermartabat berarti menolak tunduk pada pragmatisme politik, menolak diam di hadapan ketidakadilan, tetapi sekaligus menolak terjebak dalam kekerasan yang membabi buta. Perjuangan bermartabat berarti berani kritis, tetapi tetap menjaga peradaban.
STKIP Al Hikmah Surabaya, dengan segala keterbatasannya, telah memilih sikap ini: meneguhkan pendidikan sebagai jalan perjuangan. Sikap ini seharusnya menjadi teladan bagi kampus-kampus lain, bahwa suara kebangsaan bisa dinyalakan bukan hanya di jalanan, tetapi juga di ruang kuliah, seminar, diskusi ilmiah, dan tindakan pedagogis sehari-hari.
Penutup
Bangsa ini memang sedang diuji. Tetapi ujian sejati bukan terletak pada maraknya demonstrasi atau kerasnya suara jalanan, melainkan pada kemampuan kita untuk memilih jalan perubahan yang bermartabat. Pendidikan menawarkan jalan itu. Ia tidak cepat, tidak mudah, tetapi pasti.
Hanya dengan pendidikan yang berbudi, bangsa ini dapat menemukan kembali martabatnya. Hanya dengan pendidikan yang kritis, bangsa ini dapat melawan ketidakadilan tanpa jatuh pada kekerasan. Dan hanya dengan pendidikan yang berkarakter, bangsa ini dapat bangkit dari krisis menuju masa depan yang lebih beradab.
Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Dengan ilmu kita menuju kemuliaan, dengan budi pekerti kita menuju kebahagiaan.” Pendidikan adalah perjuangan sejati bangsa ini, perjuangan yang bermartabat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
