Mencegah Konflik, Menguatkan Fiskal: Peran Komunikasi Publik
Kolom | 2025-09-02 10:24:36
Indonesia adalah Negara dengan keberagaman etnis dan kelas sosial yang sangat kompleks. Keberagaman ini bisa menjadi kekuatan, tetapi juga menyimpan potensi konflik ketika keadilan sosial tidak terwujud. Ketimpangan akses terhadap lapangan kerja, pendidikan, layanan kesehatan, maupun infrastruktur kerap menjadi sumber ketidakpuasan.
Di tengah dinamika pembangunan Indonesia terdapat dua tantangan besar yang semakin menonjol: potensi konflik sosial dan keterbatasan fiskal Negara. Keduanya saling terkait, saling memperkuat, dan jika tidak dikelola dengan baik dapat meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Negara. Dalam situasi seperti ini, komunikasi publik yang transparan serta distribusi fiskal yang adil menjadi dua pilar penting untuk menjaga stabilitas sekaligus memperkuat fondasi ekonomi Nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat Indonesia yang tercermin dalam gini ratio, memang cenderung menurun dari 0,381 pada September 2024 menjadi 0,375 pada Maret 2025. Meski demikian, angka tersebut masih menunjukkan adanya jurang kesejahteraan yang signifikan. Ketika sebagian besar keuntungan pembangunan lebih banyak di nikmati kelompok menengah atas, masyarakat di lapisan bawah merasa tertinggal. Kondisi ini rawan memicu gesekan sosial, terutama ketika harga kebutuhan pokok naik atau akses terhadap pekerjaan semakin terbatas. Konflik sosial tidak hanya muncul dalam bentuk demonstrasi besar, tetapi juga berupa resistensi lokal terhadap proyek pembangunan, sengketa lahan hingga ketegangan antarwarga. Jika tidak dikelola dengan baik, hal tersebut dapat merusak kohesi sosial dan mengganggu iklim investasi yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi.
Tantangan Fiskal di tengah Kebutuhan Besar
Pemerintah juga menghadapi tantangan fiskal yang tidak ringan. Anggaran Negara harus menanggung belanja subsidi energi, pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan, hingga program perlindungan sosial. Pada saat yang sama, penerimaan Negara masih sangat tergantung pada sektor tertentu, terutama pajak dan komoditas.
Kementerian keuangan mencatat belanja Negara dalam APBN 2025 disepakati sebesar Rp 3.621,3 triliun, dengan fokus pada pembangunan manusia dan transformasi ekonomi. Namun, beban utang juga terus meningkat, sehingga disiplin fiskal menjadi semakin penting. Ruang fiskal yang terbatas inilah yang membuat distribusi anggaran harus benar-benar tepat sasaran. Apabila pengelolaan fiskal tidak transparan dan tidak dirasakan adil, potensi ketidakpercayaan publik akan semakin besar
Komunikasi Publik Sebagai Fondasi Kepercayaan
Dalam situasi yang penuh tekanan, komunikasi publik menjadi salah satu instrumen strategis. Pemerintah tidak cukup hanya menjalankan kebijakan publik, tetapi juga harus menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat mengenai alasan, tujuan serta dampak kebijakan tersebut.
Komunikasi publik yang baik bukan sekadar konferensi pers atau laporan tahunan, melainkan dialog yang konsisten dan terbuka. Di era media sosial, arus informasi bergerak sangat cepat. Jika Pemerintah terlambat memberikan klarifikasi atau terkesan menutup- nutupi, ruang kosong itu akan segera diisi oleh misinformasi dan spekulasi yang memperkeruh suasana. Transparansi data fiskal, keterbukaan dalam prioritas anggaran serta konsistensi narasi adalah kunci menjaga legitimasi kebijakan. Lebih jauh lagi, komunikasi publik harus membangun rasa keterlibatan. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa mereka adalah bagian dari proses, bukan sekadar objek.
Distribusi Fiskal yang adil dan Inklusif
Selain Komunikasi, distribusi fiskal adalah instrumen nyata untuk menjaga kohesi sosial. Transfer fiskal ke daerah, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Desa, perlu dirancang lebih adil agar pembangunan tidak terpusat di perkotaan. Pemerataan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan adalah bagian dari upaya mengurangi ketimpangan spasial yang kerap menjadi akar kecemburuan sosial.
Program perlindungan sosial juga harus semakin tepat sasaran. Digitalisasi data melalui big data dan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan bantuan sosial adalah langkah penting, meski masih menghadapi tantangan akurasi dan keadilan. Ketika distribusi bantuan tidak merata atau justru salah sasaran, ketidakpuasan masyarakat akan semakin besar.
Keadilan fiskal juga mencakup keberpihakan terhadap kelompok rentan. Misalnya, petani kecil yang menghadapi lonjakan harga pupuk, nelayan yang bergantung pada harga solar, atau pekerja informal yang rentan kehilangan pendapatan. Kebijakan fiskal yang berpihak pada kelompok ini bukan hanya soal moralitas, tetapi juga investasi jangka panjang dalam stabilitas sosial.
Menjaga Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, kepercayaan publik adalah modal sosial yang tidak ternilai. Negara yang dipercaya rakyatnya akan lebih mudah menjalankan kebijakan, bahkan ketika kebijakan itu sulit. Sebaliknya, ketika kepercayaan luntur, kebijakan sebaik apapun akan selalu dipertanyakan.
Oleh sebab itu, kombinasi komunikasi publik yang transparan dan distribusi fiskal yang adil adalah kunci untuk meredam potensi konflik, menjaga stabilitas sosial, sekaligus memperkuat daya tahan fiskal negara. Dalam jangka panjang, pembangunan ekonomi tidak bisa hanya diukur dari angka pertumbuhan, tetapi juga dari sejauh mana keadilan dan rasa percaya masyarakat terhadap negara dapat terjaga.
Mengelola konflik sosial dan fiskal bukan sekadar persoalan teknis kebijakan, tetapi menyangkut fondasi legitimasi negara. Pemerintah dituntut untuk hadir tidak hanya sebagai pengelola anggaran, tetapi juga sebagai komunikator yang mampu membangun kepercayaan. Dengan komunikasi publik yang baik dan distribusi fiskal yang adil, Indonesia dapat menghadapi tantangan ke depan dengan lebih kokoh membangun ekonomi yang tumbuh sekaligus memastikan rasa keadilan sosial bagi seluruh warganya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
