Tragedi Demo dan Tanggung Jawab Pendidikan Bangsa
Pendidikan | 2025-09-01 09:42:12Indonesia kembali berduka. Aksi demonstrasi yang semula dimaksudkan sebagai ruang penyampaian aspirasi rakyat, justru diwarnai peristiwa tragis: jatuhnya korban jiwa, pembakaran fasilitas umum bahkan cagar budaya, serta penjarahan rumah warga. Situasi ini mengundang pertanyaan besar: mengapa sebagian masyarakat masih memilih jalan yang merugikan sesama saat menyalurkan pendapatnya?
Sebenarnya, demonstrasi adalah hak demokratis yang dilindungi konstitusi. Namun, ketika kebebasan itu bergeser menjadi tindakan destruktif, maka ada yang keliru dalam pemahaman tentang makna demokrasi itu sendiri. Di sinilah peran pendidikan menjadi sorotan utama.
Pendidikan di Indonesia tidak hanya bertugas mengajarkan membaca, menulis, atau berhitung. Lebih dari itu, pendidikan adalah sarana membentuk kepribadian, melatih nalar kritis, sekaligus menumbuhkan sikap bijak dalam menghadapi perbedaan. Sayangnya, dimensi pendidikan karakter sering kali kurang mendapat perhatian serius. Akibatnya, sebagian masyarakat masih mudah terbawa emosi, terprovokasi, bahkan kesulitan mengendalikan diri ketika berada dalam situasi penuh tekanan.
Peristiwa kerusuhan yang merusak fasilitas publik dan warisan budaya sesungguhnya adalah kerugian ganda. Pertama, kerugian material karena fasilitas umum yang seharusnya dinikmati bersama hancur begitu saja. Kedua, kerugian nilai, sebab cagar budaya merupakan saksi sejarah dan identitas bangsa yang seharusnya dijaga, bukan dimusnahkan. Di sinilah terlihat betapa pentingnya pendidikan untuk menanamkan rasa memiliki terhadap bangsa dan tanah air.
Sekolah, keluarga, dan perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral yang sama besar. Pendidikan kewarganegaraan, pendidikan Pancasila, serta berbagai kegiatan yang menanamkan nilai kebangsaan tidak boleh sekadar formalitas di atas kertas. Harus ada kesungguhan untuk menumbuhkan sikap kritis sekaligus tanggung jawab sosial. Anak muda perlu diajarkan bahwa menyampaikan pendapat itu mulia, tetapi melakukannya dengan cara yang merugikan orang lain justru mengkhianati semangat demokrasi.
Selain itu, keteladanan dari guru, orang tua, tokoh masyarakat, bahkan pemimpin politik sangat menentukan. Pendidikan tidak selalu datang dari buku teks, melainkan dari contoh nyata yang ditampilkan setiap hari. Jika yang ditunjukkan adalah sikap saling menghargai dan menghormati hukum, maka generasi muda akan meneladani hal itu. Sebaliknya, jika yang terlihat justru contoh ujaran kebencian dan tindak kekerasan, maka ruang pendidikan bisa kehilangan fungsinya.
Tragedi demonstrasi yang berujung anarki seharusnya menjadi cermin bahwa bangsa ini perlu menata ulang strategi pendidikan. Bukan hanya soal kurikulum, tetapi juga penguatan karakter, pembiasaan nilai demokrasi yang sehat, dan pembangunan kesadaran bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi bagi sesama.
Pada akhirnya, pendidikan adalah benteng terakhir bangsa. Jika benteng itu kokoh, maka ruang untuk kekerasan dan perusakan akan semakin sempit. Namun bila dibiarkan rapuh, maka api kecil dari perbedaan pendapat dapat dengan mudah menjalar menjadi kobaran besar yang membakar sendi kehidupan bersama.
Bangsa ini membutuhkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga arif, kritis namun tetap beradab, berani bersuara namun tetap menjunjung hukum. Semua itu hanya bisa lahir melalui pendidikan yang menyeluruh, pendidikan yang bukan sekadar transfer ilmu, melainkan pembentukan karakter untuk menjaga peradaban.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
