Titik Krusial Perpajakan Era Digital
Eduaksi | 2025-08-31 16:04:04Delapan puluh tahun berlalu ketika para pendahulu bangsa berpacu dengan waktu menyiapkan pilar sentral kehidupan bernegara. Bahkan sebelum proklamasi, pada 14 Juli 1945 mereka sepakat menuangkan gagasan pemungutan pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. Dalam situasi genting, mustahil mereka membuang kesempatan jika tidak membahas sesuatu yang sangat prinsip bagi masa depan bangsa.
Diiringi spirit heroisme perjuangan meraih kemerdekaan, para founding father meyakini bahwa kelak mengisi kemerdekaan dibutuhkan partisipasi dan kontribusi nyata seluruh warga. Narasi sunyi di balik kelahiran pasal 23A UUD 1945 sebagai amanah konstitusi dan sejarah penetapan hari pajak merupakan momentum istimewa sebagai argumentasi tentang urgensi dan eksistensi pajak penopang utama penerimaan negara.
Diskursus tentang penerimaan negara, tidak dapat mengabaikan kehadiran pajak. Mengapa? Telah berpuluh-puluh tahun, pajak terbukti menjadi primadona sumber belanja negara. Meskipun penuh turbulensi, dalam bayang-bayang dinamika perekonomian global yang fluktuatif, pajak masih bertahan menjadi andalan sumber pundi-pundi negara hingga kini.
Delapan dekade berlalu, namun sejumlah tantangan penerimaan bersiap menunggu. Data statistik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat realisasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2024 masih jauh dari harapan. Hingga 1 April 2025 tercatat baru 12,34 juta wajib pajak yang telah melaporkan SPT dari target 16,21 juta SPT. Terpampang di depan mata akan masih adanya pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bersama.
Optimis dan realistis
Dinamika zaman dan takdir mengantarkan kita memasuki era digital. Sebuah era jaringan (network society) yang mempertontonkan selaksa peluang dan harapan. Segalanya serba terkoneksi tak jauh dari jangkauan jari-jemari. Lalu, bagaimana masa depan tantangan dan peluang perpajakan era digital? Dengan tersedianya berbagai media dan aplikasi akankah serta merta mendongkrak kesadaran dan kepedulian pajak?
Dengan dikomandani Bimo Wijayanto, DJP harus bersiap diri menghadapi sejumlah titik krusial yang tak bisa dipandang sebelah mata. Memang, pajak era digital tentu tidak hanya berkutat pada platform bisnis berbasis layanan digital. Namun, tidak kalah pentingnya untuk tetap menangani sektor manual-konvensional yang selama ini telah berkontribusi secara signifikan.
Daftar krusial pekerjaan rumah kiranya dapat disebutkan berupa pematangan regulasi dan sosialisasi ketentuan perpajakan era digital, aplikasi sistem pemungutan, hingga sejumlah langkah pengawasan. Namun demikian, alangkah bijaknya apabila asas keadilan, transparansi, dan memelihara keunggulan kompetitif dunia usaha tetap menjadi pertimbangan.
Dalam realita di lapangan, tidak semua wajib pajak -bahkan sudah terdaftar pun- pasti memahami berbagai peraturan perpajakan. Sekadar ilustrasi, pada berbagai kesempatan, sejumlah karyawan perusahaan agak kaget ketika diimbau melaporkan SPT-nya. Menurut pemahamannya, ketika penghasilan sudah dipotong oleh perusahaan tempatnya bekerja, dianggapnya kewajiban telah selesai. Ternyata, ketentuan masih mengharuskannya untuk melaporkan pajaknya lewat berbagai saluran media pelaporan yang tersedia.
Dasar-dasar perpajakan sederhana selevel adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi orang pribadi pun masih banyak yang belum mengetahuinya. Dianggapnya semua karyawan wajib menyetor pajaknya sehingga berkembang berbagai prasangka. Belum lagi adanya perbedaan antara pajak pusat dan pajak daerah, serta distribusi penggunaan dana pajak yang berada di luar kewenangan. Ilustrasi tersebut hanya secuil dari sejumlah kesalahpahaman yang masih bertebaran dan beredar luas di tengah masyarakat.
Distribusi belanja negara berupa alokasi untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perlindungan sosial, pertahanan, dan lain sebagainya, sebagian besar bersumber dari pengumpulan pajak. Maka masih tepatlah bunyi kalimat yang sering tertera di papan proyek zaman dahulu, proyek ini dibangun dari dana yang dihimpun dari pajak yang Saudara bayar. Karenanya, wajib pajak sesungguhnya adalah pahlawan bangsa hingga zaman digital.
Dalam buku Moralitas, Budaya, dan Kepatuhan Pajak, Widi Widodo (2010) menyimpulkan bahwa pengaruh moralitas dan budaya pajak terhadap kepatuhan pajak secara simultan adalah 40,1 persen. Berarti, tinggi rendahnya kepatuhan pajak secara nyata dan positif sangat dipengaruhi hal-hal tersebut. Keduanya menunjukkan adanya kait kelindan karena karakteristik kepatuhan pajak bersifat quasi-voluntary yaitu faktor behavioral menjadi faktor yang perlu ditekankan dan komprehensif ketika berbicara tentang kepatuhan pajak.
Didukung kolaborasi dan sinergi berkelanjutan menuju perbaikan, baik aspek pelayanan, pengawasan, maupun penegakan aturan, penulis merasa optimis bahwa penerimaan negara era digital mempunyai prospektus yang cukup realistis. Pondasi kokoh yang terbangun hingga kini berkat dukungan berbagai pihak terutama wajib pajak, menjadi bukti penguat munculnya harapan.
Diakui atau tidak, penerapan madzab self assessment perpajakan Indonesia memiliki sejumlah catatan. Artinya, aspek kejujuran, kerelaan, dan transparansi untuk menghitung dan menyetor pajak masih mengandung loophole. Namun, karena sudah menjadi pilihan dan keputusan, maka langkah yang diperlukan adalah meningkatkan keandalannya (reliability).
Dari hasil penelitian Siti Wahyu Utami (2023) disimpulkan bahwa implementasi pajak digital di Indonesia merupakan langkah penting dalam menghadapi perkembangan ekonomi digital. Meskipun terdapat tantangan, dari sektor ini pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan negara. Penyederhanaan regulasi, kerja sama internasional, edukasi wajib pajak, dan pemanfaatan teknologi pengawasan menjadi kunci sukses dalam pelaksanaan pajak digital yang efektif dan efisien.
Beberapa agenda
Demikian eratnya korelasi antara kontribusi pajak dan keberlangsungan program APBN, memosisikan agenda menjaga kokohnya postur penerimaan sebagai sebuah keniscayaan. Kita berharap kemudahan teknologi dan informasi di ujung jari mampu berimbas positif bagi peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak. Untuk merealisasikan harapan itu, maka DJP dapat melakukan beberapa agenda.
Pertama, memitigasi maraknya ‘kesalahpahaman’ dengan mengoptimalkan literasi perpajakan melalui cara yang makin kreatif dan inovatif. Pada era digital, sesuatu gampang viral kadang tanpa mempertimbangkan sisi akurasi. Perlu langkah meluruskan dan menyampaikan informasi pajak yang akurat dan tepercaya karena publik berhak mendapatkannya.
Kedua, langkah persuasi pemenuhan hak dan kewajiban pajak perlu diimbangi dengan pemberian kesempatan agar publik menyampaikan pendapat, kendala, maupun kritik konstruktif demi masa depan perpajakan. Bentuknya bisa diwadahi dengan program ‘DJP Mendengar’ bagi para pakar, pelaku usaha, atau lembaga lain yang berkompeten dan peduli pajak.
Ketiga, bersinergi lintas institusi menuju data keuangan yang valid dan berkualitas. Perlu dukungan payung hukum dan political will agar institusi tidak terkesan mengemis atau mengiba data yang notabene output-nya untuk pengamanan penerimaan.
Keempat, saatnya memperhatikan kaum muda bonus demografi -yang umumnya melek digital- dengan edukasi perpajakan yang lebih membumi dan related dengan dunia keseharian mereka karena di pundak mereka masa depan penerimaan negara kelak dipertaruhkan.
Didasari spirit berkolaborasi, dibarengi tekad dan ikhtiar kuat berbagai pihak, bukan mustahil episode titik krusial era digital dapat diatasi dengan paripurna. Dus, sinergi berkelanjutan menjadi katalis utama mewujudkan impian kemandirian sumber penerimaan negara. Cita-cita itu pantas menjadi aksentuasi utama yang selalu tecermin dalam berbagai postur kebijakan.
Dirgahayu Republik Indonesia. Selamat Hari Pajak 2025. (Joko Susanto)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
