Filologi Masuk Sekolah: Literasi Budaya Lokal Melalui Naskah Minangkabau
Eduaksi | 2025-08-29 20:59:51oleh Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Literasi budaya merupakan elemen penting dalam membangun kesadaran generasi muda terhadap identitas lokal dan warisan budaya yang dimiliki suatu bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi dan serbuan budaya populer, pendidikan literasi berbasis budaya lokal menjadi semakin krusial sebagai upaya menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur masyarakat (Utami, 2019). Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperkuat literasi budaya di sekolah adalah melalui kajian filologi, yakni ilmu yang mempelajari naskah-naskah kuno sebagai sumber informasi sejarah, moral, dan budaya. Kajian filologi tidak hanya memperkaya pengetahuan sejarah lokal, tetapi juga mampu menumbuhkan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian budaya melalui pemahaman terhadap naskah-naskah kuno (Saniro, 2025).
Di Indonesia, banyak naskah kuno yang menyimpan kekayaan literasi budaya lokal, termasuk di dalamnya naskah-naskah Minangkabau yang merekam jejak sejarah, adat istiadat, serta nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini. Melalui pendekatan filologis, nilai-nilai tersebut dapat diinterpretasikan dan diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran di sekolah sebagai upaya membangun literasi budaya yang lebih kuat (Nasution, 2025). Implementasi filologi di lingkungan pendidikan diharapkan mampu menjembatani generasi muda dengan akar budaya mereka, sehingga nilai-nilai tradisi tidak hilang ditelan perubahan zaman. Literasi budaya lokal semacam ini tidak hanya memperkuat keterampilan akademik, tetapi juga membentuk sikap apresiatif terhadap budaya sendiri dan membangun identitas kultural yang berakar.
Kajian terhadap naskah-naskah Minangkabau, seperti yang ditemukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa naskah kuno memiliki nilai edukatif yang tinggi. Misalnya, naskah yang disimpan di Museum Lampung memuat doa keselamatan, mantra penolak bala, serta ajaran moral berbasis religiositas masyarakat lokal (Saniro, 2025). Begitu pula dengan Serat Wasit, yang mengandung nilai-nilai pendidikan moral seperti kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan (Sukmawati, 2025). Naskah-naskah seperti Kaba Cindua Mato atau Tambo Alam Minangkabau tidak hanya mendokumentasikan cerita rakyat, tetapi juga menyiratkan nilai-nilai keadaban sosial, sistem kepemimpinan, dan etika hubungan antarmanusia yang dapat dimaknai ulang oleh generasi sekarang (Sofyan, 2019; Adri, 2017).
Penerapan filologi dalam pendidikan tidak hanya bertujuan untuk melestarikan warisan budaya, tetapi juga sebagai media literasi yang dapat meningkatkan keterampilan membaca dan menulis siswa dalam konteks sejarah dan budaya lokal (Nasution, 2025). Dengan mempelajari naskah kuno, siswa tidak hanya membaca teks, tetapi juga memahami konteks historis dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini sejalan dengan konsep literasi budaya yang tidak hanya berfokus pada kemampuan membaca secara teknis, tetapi juga memahami makna budaya di balik teks (Utami, 2019). Literasi semacam ini bersifat integral—menggabungkan pemahaman bahasa, simbol, sejarah, dan nilai sosial—yang justru sangat diperlukan dalam membangun karakter dan jati diri pelajar.
Filologi sebagai bagian dari literasi budaya memiliki peran strategis dalam menjembatani generasi muda dengan warisan intelektual nenek moyangnya. Sayangnya, hingga kini penerapan pendekatan filologis di sekolah masih sangat terbatas. Minimnya tenaga pendidik yang memahami metode filologi, kurangnya akses terhadap naskah asli maupun digital, serta anggapan bahwa filologi adalah bidang studi elit yang hanya dapat diakses di perguruan tinggi menjadi kendala utama (Nasution, 2025). Padahal, melalui strategi pengajaran kreatif—seperti praktik transliterasi sederhana, pembuatan kertas daluang, dan lomba transformasi isi naskah menjadi puisi atau drama—filologi dapat dihadirkan secara menarik dan aplikatif bagi siswa (Elmustian & Firdaus, 2024).
Program Filologi Masuk Sekolah menjadi salah satu solusi untuk mengatasi jurang antara pendidikan formal dan kebudayaan lokal. Program ini menempatkan filologi sebagai alat untuk membangun literasi budaya yang kontekstual, kreatif, dan berakar pada tradisi. Dalam praktiknya, siswa tidak hanya belajar membaca naskah lama, tetapi juga diajak untuk menyalin, menginterpretasi, dan mencipta ulang isi naskah dalam bentuk karya modern seperti cerpen, puisi, drama, maupun video edukatif. Beberapa sekolah di Sumatera Barat bahkan telah melakukan inisiasi ini melalui kolaborasi dengan komunitas filolog dan akademisi perguruan tinggi. Kegiatan seperti pembuatan daluang, penyalinan aksara Arab-Melayu, hingga lomba karya adaptasi naskah terbukti meningkatkan ketertarikan siswa terhadap budaya lokal (Darmayanti, 2024; Saniro, 2025).
Kegiatan “Filologi Masuk Sekolah: Literasi Budaya Lokal Melalui Naskah Minangkabau” kali ini dilaksanakan selama 2 bulan sejak bulan Juli—Agustus 2025 dengan mitra SD IT Mutiara, Padang. Kepala Sekolah SD IT Mutiara Padang, Bapak Darwin Eka Putra, M.Pd. dan jajarannya menyambut kegiatan ini dengan tangan terbuka. Sebagai ketua pelaksana kegiatan, Roma Kyo Kae Saniro, M.Hum. sangat berharap kegiatan ini mampu memberikan pengetahuan dan pengalaman berkesan dalam mempelajari budaya Nusantara, salah satunya budaya Minangkabau sejak dini.
Keberagaman naskah kuno di Minangkabau menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Minang untuk selalu melestarikan budaya. Kegiatan ini menjadi sebuah upaya untuk pelestarian budaya Minangkabau. Tidak hanya mengenal aksara dan bahasa yang digunakan oleh nenek moyang, para siswa dan guru pun dapat mengetahui ilustrasi dan iluminasi naskah kuno yang bermakna. Lebih jauh, naskah kuno pun mampu untuk ditransformasikan menjadi sebuah media pembelajaran atau inspirasi untuk membuat atau menulis karya lainnya sehingga menciptakan dunia perpanjangan tangan dari sebuah naskah kuno dengan medium yang lebih modern.
Dengan mengintegrasikan kajian filologi dalam pendidikan, kita tidak hanya menyelamatkan teks-teks kuno dari ancaman kepunahan, tetapi juga menyemai semangat apresiasi budaya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang berbasis pada naskah-naskah lokal seperti Minangkabau membuka ruang reflektif tentang siapa kita sebagai bangsa dan bagaimana sejarah, budaya, dan nilai-nilai leluhur membentuk identitas kita hari ini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
