Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Istiqomah

Batas-Batas Imajiner Solusi Dua Negara Harapan Semu di Tengah Derita

Agama | 2025-08-29 03:09:18
Keterangan Foto : Jalur Gaza.

 

Sejak media membongkar konflik Israel Gaza Oktober 2023, penderitaan rakyat Gaza terus memburuk. Mereka hidup di bawah bayang-bayang bom, kelaparan dan ketidak pastian. Rumah, keluarga, sahabat dan kerabat nyaris tak tersisa, bahkan nyawa tak lagi bernilai. Di bawah puing-puing reruntuhan bangunan rakyat Gaza terus mencari keadilan sendirian, mengutuk dan mengecam pemimpin dunia yang tak berdaya dan terus bertahan di kamp-kamp pengungsian, menjaga tanah suci, menanti kehadiran pahlawan sejati yang gagah berani membuka tirai kegelapan perang menuju cahaya kemerdekaan yang sesungguhnya.

Latar belakang Konflik Palestina-Israel

Pasca perang Dunia I, deklarasi Bolfour menjadi angin segar Yahudi untuk menempati “rumah nasional” yang ada dalam teks itu. Mereka bermigrasi, menumpang untuk bermukim lalu merebut paksa. Akhirnya memicu konflik, tragedi perang Nakba yang menyebabkan 700.000 warga Gaza mengungsi.

Serangan Israel

Padahal sejarah mencatat asal muasal bagaimana Yerussalem adalah wilayah yang damai, di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab. Sang legenda, memimpin dengan kebijaksanaan dan penuh kesederhanaan.

Dahulu Uskup Sophronus yang memegang kunci gerbang Yerussalam ingin secara langsung menyerahkan kepada Umar bin Khattab. Ia dengan sukarela memberikan kewenangan secara resmi kepadanya serta menulis surat perjanjian yang ditanda tangani keduanya.

Sebetulnya yang patut di garis bawahi dalam kesepakatan agung tersebut adalah Kaum Kristen Yerussalem melarang orang Yahudi menempati Kota Yerussalem.

Serta menaruh kepercayaan kepada Umar bin Khattab untuk memimpin mereka. Bukan tanpa alasan, menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi pernah membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan bermalam di Yerusalem.

Umar bin Khattab mempunyai kekuatan karakter kepemimpinannya, yang menyebabkan seorang Uskup menyambut hangat kedatangannya dengan penuh suka cita. Gaya kepemimpinan yang bersahaja dalam berpakaian namun tegas dalam kezhaliman.

Atas dasar itulah status kepemilikan tanah ini menjadi tanah kharajiyah artinya tanah yang dikuasai umat Islam melalui perjanjian damai. Lantas apakah status kepemilikannya masih sama hingga sekarang? Harusnya, tidak ada yang bisa mengubahnya kecuali sistem kehidupan yang masih berlangsung.

Perjanjian Bolfour mengoyak kewibawaan dan keagungan seorang pemimpin Islam, padahal di bawah tampuk kekuasaannya semua ras, agama dan etnis bersatu dengan damai tanpa rintangan.

Baru 2023 ini kasus konflik kemanusiaan menguap ke permukaan, solusi yang katanya ampuh untuk menuntaskan ini adalah terwujudnya solusi dua negara agar mampu mewujudkan misi perdamaian dunia sebagaimana mestinya.

Solusi dua negara sebagai resolusi utama, selama beberapa dekade saja belum terwujud. Justru pengamat menelaah kemustahilan dari solusi ini. Solusi ini akan melahirkan bata-batas imajiner. Batas-batas imajiner telah menutup nurani sesama mereka di satu daratan. Tembok Rafah menjadi saksi bisu menjadi pembatas sikap manusiawi yang harusnya ada.

Noam Chomsky sebagai seorang intelektual publik terkemuka menerbitkan jurnal dan artikel ilmiah terkait solusi dua negara.

Melihat konflik yang terus berlangsung menjadi simbol upaya yang serius tanpa menundanya demi kepentingan apapun.

Menurut Chomsky, konflik ini bukan terjadi antara dua negara yang setara. Tetapi antara penjajah dan dijajah. Pandangannya juga pernah menyatakan bisa saja menggunakan solusi dua negara, hanya saja dari sisi pendekatan politis mustahil bisa menuntaskannya. Melihat di lapangan adanya ekspansi, permukiman dan aeksasi de facto.

Kritiknya juga menjurus terhadap Amerika dan Israel serta serangan keadilan berbasis hak asasi manusia dan tekanan masyarakat sipil global. Menariknya solusi dua negara yang ia telaah secara de facto sudah mati.

Ia juga mengistilahkan solusi dua negara sebagai zombie policy masih terus digiring untuk diopinikan tetapi tidak berdaya secara praktis.

Sejarah Singkat Solusi Dua Negara

Konsep ini muncul pada tahun 1947, resolusi PBB menerbitkan agar ada dua negara untuk dua warga. Palestina berdampingan dengan Israel di sebelah Barat Sungai Yordan. Konflik baru bermunculan pada tahun 1967, Israel tidak menyepakati wilayah bekas mandat atas Palestina, berharap tidak menjadi bagian dari negaranya dan mengambil alih. Masih dalam resolusi PBB tertulis, kedua negara Palestina dan Israel hidup berdampingan dengan batas yang diakui dengan sebuah resolusi PBB 194.

Tahun 1993 dilakukan persetujuan Oslo pertemuan yang dilakukan rahasia oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Ketua PLO Yaser Arafat di gedung putih.

Pada buku yang ditulis Noam Chomsky berjudul Whos Rule the World? Menyebut bahwa dalam negosiasi Madrid dan Oslo yang diperkasai Amerika menyerukan pembentukan Negara Palestina di wilayah yang di duduki Israel sejak 1967 dan meminta dewan keamanan PBB untuk merumuskan yang terkait di wilayah tersebut termasuk negara Palestina di sisi Israel.

Kejadian itu membalik keadaan, Palestina justru mengemis tanahnya sendiri. Hal itu terjadi karena istilah “tambahan negara Palestina” Yordania sudah menjadi negara Palestina, menurut Israel apapun pandangan masyarakat Yordania dan masyarakat Palestina.

Kondisi terkini solusi dua negara menjadi konsesus Internasional walaupun praktiknya terhenti. Ditengah warga Palestina dilanda krisis pangan (malnutrisi, kelaparan dan dehidrasi), gencarnya genosida, kemiskinan dan trauma berkepanjangan belum juga ada titik terang dari ide solusi dua negara. Alur yang dilakukan dunia Internasional justru tidak menampakkan sikap optimis terwujudnya kemenangan rakyat Gaza. Fakta membuktikan Israel bisa dikalahkan oleh Hizbullah, padahal ia bukan negara. Amerika Serikat mengalami kebangkrutan besar dalam perang Afghanistan dan Irak karena tidak mampu mematahkan perlawanan para mujahiddin.

Dinamika Geopolitik Terbaru yang Menggerus Harapan

Situasi geopolitik yang bertumpu pada ideologi Kapitalisme akhirnya menampakkan citra buruk yang seutuhnya. Dengan membuka topeng Barat untuk mencengkram negara Arab menjadi kendalinya utuh. Normalisasi hubungan Diplomatik Arab dengan Israel menjadi fakta terbaru sejak tahun 2024. Hal ini benar-benar di luar nalar politik, negara yang seharusnya menjadi perisai keamanan entah mengapa warganya dicerai beraikan.

Tahun 2020 menjadi babak baru bentuk dari pengkhianatan, ditandai dengan dibukanya kerja sama antara Israel, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA). Amerika bertindak sebagai mediator dalam perjanjian ini, yang mencakup kerjasama dibidang diplomatik, ekonomi, pariwisata, teknologi dan sektor lainnya. Perjanjian ini diberi nama Abraham Accords merujuk kepada Nabi Ibrahim (Abraham) yang dianggap sebagai tokoh sentral tiga agama yaitu: Yudaisme, Keristen dan Islam. Menimbulkan kekeliuran yang besar, mereka mengklaim bahwa dengan kesepakatan tersebut akan membangun stabilitas regional dan menyatukan perbedaan budaya di kawasan.

Padahal perjanjian ini justru memberikan legitimasi kepada Israel, membuka pasar baru di kawasan Timur Tengah serta memperlemah posisi Palestina di antara negara-negara sekitarnya. Sementara itu Palestina, mempertahankan haknya dengan teguh meskipun hanya bersenjatakan batu untuk melawan dan mencoba memukul mundur tank-tank baja.

Fakta juga membuktikan sejak akhir 2024 terdapat 196-204 pemukiman tidak resmi di Tepi Barat yang dihuni oleh warga Israel, jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya. Secara retroaktif selama konflik 60 diantaranya sudah dilegalkan dari 224 pemukiman yang tidak resmi, di pertengahan 2025.

Perihal kondisi pemerintahan internal sendiri juga dalam ambang ketidak pastian. Dualisme kekuasaan Fatah dan Hamas memperuncing konflik yang ada. Gaza dikendalikan oleh Hamas sedangkan Fatah menguasai Tepi Barat menjalankan sistem kekuasaan terpisah melalui Palestinian Authority (PA). Kemudian dilakukan upaya rekonsiliasi Deklarasi Algiers Oktober 2022 sampai Juli 2024 disepakati Beijing Declaration membentuk pemerintahan pasca perang. Namun, pada akhirnya federasi pemerintahan tetap berlangsung terpisah dan tak dapat utuh kembali.

Bukan tanpa alasan, masing-masing faksi tetap ingin mempertahankan pengaruh politiknya tanpa kompromi serius terhadap prinsip pendirian dan strategi mereka. Pengamat menilai kondisi ini menampakkan rekonsiliasi niat yang terbuka tetapi keinganan politik (politik will) masih lemah.

Peristiwa kesenjangan pemerintahan makin memperparah kekuatan militer. Tampak Pemerintahan PA yang korup dan tanpa dukungan dianggap lemah, sementara Hamas terus mempertahankan Gaza menghadapi tantangan kemanusiaan yang parah.

Situasi ini dihadapkan dengan munculnya kelompok militan independen Tulkarm Brigade. Beroperasi secara otonom dan konflik dengan PA demi mengambil pengaruh lokal di Tepi Barat.

Perpecahan masyarakat lokal terus menyala tatkala Israel mendukung milisi klan Yasser Abu Shabab. Menimbulkan perpisahan kekuasaan paralel yang berkonflik Hamas dan PA.

Lebih dari itu respon dunia internasional tidak memberi pengaruh apapun demi rakyat Gaza. Banyak negara mengecam tindakan perang yang dilakukan Israel. Namun sayangnya, mereka memberikan sikap netral yang tak memberikan aksi nyata.

Langkah ketidak tegasan ini memperlemah kondisi Gaza. Seharusnya langkah itu berupa sanksi, embargo senjata dan investigasi independen atas dugaan perang.

Padahal, konflik Ukrania-Rusia mendapat perlakuan berbeda. Saat itu, invasi Rusia ke Ukrania langsung mendapatkan sanksi besar-besaran, pengucilan internasional, dukungan militer dan dukungan ekonomi masif.

Mengapa itu tidak terjadi pada Gaza? Korban jiwa berjatuhan menyerang warga sipil, respon yang sama tidak terjadi disana bahkan Israel mendapatkan dukungan secara militer. Israel mendapat hak pembelaan diri yang tidak sepadan dengan Palestina, sebaliknya justru mendapatkan labelisasi teroris tanpa mempertimbangkan konteksnya melawan penjajahan. Israel penjajah sesungguhnya tetapi berlagak korban yang tersiksa. Sementara Palestina, sudah puluhan tahun di duduki secara militer tanpa pembelaan sama sekali. Sikap ini menunjukkan ketidak konsistenan dalam penerapan hukum internasional. Adanya keberpihakan dan ketidak adilan internasional menunjukkan mana yang lebih pro Demokrasi atau pro Barat.

Peta yang Terkoyak: Realitas di Lapangan

Situasi geografis dan politik Gaza saat ini dilanda kegentingan yang memaksa. Israel membangun koridor keamanaan Morag Corridor di Gaza Selatan yang memisahkan Rafa dari Khan Yunis dan bagian tengah Gaza, mencakup 20% wilayahnya. Upaya ini merupakan bagian agar Hamas menyerah dan membebaskan para sandera.

Tepi Barat telah terbentuk operasi militer Israel dalam skala besar kode Operasi Dinding Jilid II. Terdapat juga kamp pengungsian Jenin, Tulkarem dan Nur Shams yang dianggap sebagai benteng kelompok militan Palestina.

Celakanya, 40.000 warga Gaza mengungsi dengan paksa dan tiga kamp tersebut dikosongkan dengan perintah agar tidak kembali lagi selama satu tahun bahkan lebih.

Sejak awal tahun 2025, Israel membangun 900 pos pemeriksaan di Tepi Barat dengan tujuan untuk membatasi ruang gerak warga Palestina dan menciptakan hidup seperti sangkar.

Situasi keamanan dan politik semakin rumit. Hal itu ditandai dengan sikap Netanyahu yang merencanakan pendudukan secara penuh Gaza yang akan memperluas operasi militer ke kota-kota. Akibatnya, musibah besar melanda habis-habisan bagi warga Gaza. Kelaparan massal, ekonomi yang kian menyusut dan pengangguran merajalela, tak ada lagi tempat bernaung, segalanya lenyap hanya menyisakan luka bertubi-tubi menindas mereka.

Pergolakan ini menjadi ancaman demografi pertumbuhan penduduk. Populasi turun sejak pertengahan 2024-2025 hanya sekitar 6-10%. Usia muda terdampak pada ketinggian angka kematian di kalangan anak dan remaja. Akhirnya, terjadi ketidakseimbangan demografis jangka panjang.

Sebelum konflik hanya ada sekitar 2,1 juta jiwa dengan angka fertilitas alami tinggi 3 anak per wanita, namun kini struktur pertumbuhan terganggu dengan penurunan kelas produktif. Dampak sosial terasa luas, lebih dari 39.000 anak menjadi yatim piatu 14.000 perempuan menjadi janda memperparah krisis sosial dan ekonomi Palestina.

Kesimpulan

Melihat serangkaian ketimpangan yang tak kunjung reda, dan konflik internal pemerintah diantara mereka, jelas mustahil solusi dua negara sebagai alternatifnya. Mengapa? Setidaknya ada tiga alasan serius untuk segera meninggalkan argumentasi diplomatik ini.

1. Kondisi solusi dua negara sering disebut mampu menuntaskan kejahatan perang, namun sampai detik ini keadaannya belum terbukti bahkan menjauh dari realitas. Karena adanya pos-pos pemeriksaan, infrastuktur tembok pemisah serta adanya bangunan ilegal dari warga Israel. Jika begini Palestina tidak lagi menjadi negara yang berdaulat.

2. Adanya pihak yang ingin mendominasi menjadi lebih kuat seperti polemik Fatah dan Hamas tidak akan membuahkan hasil. Pasalnya negosiasi antara keduanya tidak seimbang. Bagaimana mungkin bisa menghasilkan kata sepakat.

3. Pengamat menilai solusi dua negara hanya sebagai penyangga politik dari pada rencana sungguhan. Banyak negara hanya menawarkan bantuan kemanusiaan padahal banyak rintangan untuk bisa meloloskannya. Satu sisi, ada kewenangan yang lebih besar untuk bisa menyelamatkan warga sipil dari peperangan paling dahsyat sepanjang sejarah ini.

Sekarang, kita membutuhkan adanya solusi secara sistemik totalitas yang mampu menundukkan kejahatan keji yang dilakukan oleh Netanyahu di daratan Gaza. Kekuatan yang setara agar mampu menggulingkan kebiadaban mereka.

Lawan mereka bukanlah anak-anak dan perempuan, tapi senjata yang mematikan. Butuh sosok pemimpin yang berani secara kedaulatan bukan hanya sekedar mengeluarkan retorika belaka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image