Talenta Emas untuk Indonesia 2045
Kolom | 2025-08-25 13:37:26
Setiap tanggal 17 Agustus, gegap gempita kemerdekaan memenuhi sudut negeri. Di balik kemeriahan itu pasti ada persiapan panjang. Seperti kata Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People (1989) bahwa “Begin with the end in mind.” Tujuan akhir digapai dengan ancangan terstruktur. Ancangan ini layak menjadi cermin dalam menapaki Indonesia Emas 2045.
Tahun ini, Indonesia genap berusia 8 dekade. Di usia yang tidak remaja lagi, Indonesia seharusnya telah memetakan lini masa yang jelas menuju seabad kemerdekaan. Bonus demografi sebagai motor penggerak Indonesia Emas 2045 selalu memiliki dua bilah mata pisau, kemajuan maupun beban.
Kelindan kemajuan dan beban itu berdampingan erat dengan talenta muda. Disebut talenta bila mereka berbekal pendidikan yang bermutu, keterampilan yang relevan, dan ruang inovasi yang lapang. Tanpa itu, momentum kependudukan menjelma menjadi problematika sosial bahkan krisis nasional.
Dengan kata lain, bonus demografi menjadi berkah jika diimbangi dengan keseriusan membangun generasi muda. Tanpa kesiapan ini, generasi yang melimpah justru bisa menjadi pasukan tanpa senjata. Banyak, tetapi tidak berdaya guna.
Dinamika Talenta Muda
Pemuda dianalogikan sebagai “agen perubahan” karena memiliki energi, ide segar, dan keberanian untuk menciptakan masa depan yang lebih baik jika diberi kesempatan untuk berkontribusi. Namun, globalisasi dan pemuda memiliki dinamika tersendiri.
Gawai “benda ajaib” di era ini menjadi teman setia anak muda. Mereka tidak lagi harap-harap cemas jika tidak mendapatkan novel terbaru. Sebaliknya, mereka akan mudah kecewa jika melewatkan gawai terbaru. Meskipun prosesnya preorder, banyak dari mereka rela.
Belum lagi masalah kenakalan remaja. Celoteh “mumpung masih muda, nakal tidak apa-apa” ini menjadi masalah serius. Usia muda menjadi tameng untuk berlaku mana suka. Bahkan, melawan guru di sekolah bisa jadi dianggap keren oleh sebagian remaja. Adagium guru digugu dan ditiru sebatas ungkapan yang hilang diterpa zaman.
Problematika lain perihal literasi. Satu jam waktu untuk membaca dirasa berat dibanding seharian bermain gim daring. Rendahnya minat baca ini cerminan dari lemahnya budaya literasi. Konten media sosial menjadi teman baik anak-anak muda dari pada membaca buku.
Akibatnya, kemampuan berpikir kritis, menulis, dan memahami persoalan kompleks pun tergerus. Padahal, di era persaingan global, literasi yang kuat adalah modal utama untuk menciptakan generasi yang adaptif, kreatif, dan inovatif, bukan sekadar pengguna teknologi. Ponsel pintar hanya alat, tentu penggunanya harus lebih pintar
Sejalan dengan itu, Richard Florida (2012) menegaskan bahwa daya saing suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya membangun masyarakat kreatif yang mampu menghasilkan ide dan inovasi baru. Tanpa kesadaran ini, bonus demografi hanya akan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak kemajuan berarti bagi bangsa.
Untuk itu, perlu langkah nyata untuk menjawab dinamika remaja masa kini. Pertama, pendidikan yang membentuk karakter dan pola berpikir kritis. Kedua, keterampilan sesuai zaman. Ketiga, ruang berinovasi sebagai lahan menguji gagasan.
Kultur Pendidikan
Pendidikan kita selama ini cenderung bertolok ukur pada angka sebagai capaian akademik. Saat warna merah menghiasi nilai di buku rapor, prestasi lain cenderung diabaikan. Padahal, Paul Tough dalam How Children Succeed (2012) menegaskan bahwa kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh ketekunan, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengatasi kesulitan. Artinya, sukses bukan hanya soal akademik.
Solusinya, pembenahan sistem pendidikan yang berpusat pada potensi setiap anak. Guru bukan lagi pemberi materi, tetapi lebih jauh lagi sebagai pembimbing anak untuk menemukan kekuatan dirinya. Gagasan “The role of a teacher is to facilitate learning, not just to deliver information” (Robinson, 2006) kiranya seirama dengan kebutuhan pendidikan saat ini yang harus memberi ruang mengeksplorasi potensi, bukan sekadar belajar.
Masalahnya, selama ini kita menganut sistem pendidikan konservatif, yaitu model penghafalan tanpa pemahaman mendalam. Padahal, pembelajaran bermakna dapat tercipta jika peserta didik terlibat langsung dalam pengalaman nyata yang relevan dengan kehidupannya. John Dewey (1916) menyebutkan pendidikan sebagai education is not preparation for life; education is life itself.
Kunci untuk mengurai masalah itu ada pada model pembelajaran mendalam (deep learning). Alih-alih hanya menghafal fakta dan mengejar nilai, pembelajaran mendalam mendorong siswa untuk memahami konsep terlebih dahulu secara holistik, mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata, dan memecahkan masalah dengan ilmu pengetahuan.
Pembelajaran mendalam juga membuka peluang bagi siswa untuk mengeksplorasi minatnya, mengembangkan proyek nyata, dan menciptakan karya yang relevan dengan tantangan global. Misalnya, pelajaran sains tidak hanya berteori, tetapi juga mulai menerapkan eksperimen kecil yang berhubungan dengan lingkungan. Anak tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga pemanfaatan ilmu untuk mengurai masalah di sekitar.
Jika diterapkan secara konsisten, sekolah bukan saja tempat belajar-mengajar, tetapi lebih bermakna lagi menjadi tempat untuk mempertemukan ilmu dan solusi kehidupan. Konsistensi itu melahirkan generasi unggul dan siap pakai untuk merawat keemasan Indonesia.
Asah Keterampilan
Di luar angka akademik, minat dan potensi anak sangat beragam, mencakup bidang sains dan teknologi, seni, budaya, olahraga, hingga kewirausahaan. Namun, kultur pendidikan dan masyarakat kita belum sepenuhnya memberikan ruang tumbuh yang setara untuk semua potensi ini.
Sekolah-sekolah kita saat ini belum memiliki kurikulum untuk membedakan minat akademik dan potensi nonakademik. Siswa yang mahir olahraga maupun seni musik, misalnya, tidak memiliki guru khusus dan waktu yang cukup untuk menampung pengembangan potensi nonakademiknya.
Keterampilan nonakademik ini bukan sekadar pelengkap, tetapi justru bekal penting untuk menghadapi dunia yang makin kompetitif. Anak yang terbiasa bekerja sama dalam tim olahraga akan lebih terlatih dalam kepemimpinan dan komunikasi. Siswa yang aktif di musik atau teater akan terasah kreativitas, kepekaan rasa, dan keberanian tampil di depan publik.
Sayangnya, selama sekolah masih memuja angka di rapor sebagai ukuran utama, potensi besar itu hanya jadi “harta karun” yang terkubur. Diperlukan perubahan cara pandang bahwa prestasi bukan hanya tentang nilai ujian, tetapi juga tentang keterampilan hidup yang siap mengantar anak-anak kita melangkah ke dunia yang lebih luas.
Tony Wagner dalam Creating Innovators: The Making of Young People Who Will Change the World (2012) menyebutkan bahwa “The world doesn’t care what you know. What the world cares about is what you can do with what you know,”. Kutipan ini menjadi pengingat bahwa ilmu itu harus berdampak bagi kehidupan.
Ruang Gerak
Catur pusat pendidikan perlu menciptakan ruang terbuka bagi anak untuk berinovasi tanpa takut salah. Dengan dukungan guru sebagai mentor dan lingkungan yang memberi apresiasi, anak-anak akan tumbuh percaya diri, berani mencoba hal baru, dan terbiasa melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar.
Ruang gerak menjadi jembatan antara pendidikan dan dunia nyata. Proyek-proyek sederhana seperti membuat kampanye lingkungan, merancang produk lokal, atau mengembangkan aplikasi sosial akan memberi pengalaman langsung bagaimana ilmu yang dipelajari dapat bermanfaat bagi masyarakat. Anak tidak hanya pintar di atas kertas, tetapi juga terlatih menjadi pemecah masalah di kehidupan sehari-hari.
Jika ruang inovasi ini menjadi bagian dari kultur pendidikan, sekolah akan lebih hidup, lebih relevan, dan lebih menyenangkan. Siswa tidak lagi hanya duduk mendengarkan, tetapi aktif berkreasi dan berkolaborasi. Dari sinilah akan lahir generasi muda yang berpikir global dengan tindakan lokal.
Kerja Kolektif
Momentum 17 Agustus selalu menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak diraih dengan mudah. Ada kerja sama, pengorbanan, dan semangat kolektif yang menyatukan para pejuang untuk merebut kemerdekaan bangsa. Semangat yang sama seharusnya menjadi inspirasi bagi kita hari ini.
Membangun talenta muda bukanlah pekerjaan satu pihak, melainkan pekerjaan rumah bersama. Pemerintah memiliki peran besar dalam memastikan pendidikan yang merata dan bermutu. Kebijakan yang berpihak pada pengembangan keterampilan, literasi, dan inovasi perlu diiringi dengan program pembinaan yang berkelanjutan agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Kesadaran untuk memajukan pendidikan kini mulai tersibak. Hadirnya sekolah rakyat menjadi bukti nyata bahwa pendidikan adalah hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan merata. Di sisi lain, sekolah unggulan berperan penting dalam inovasi, gagasan baru, dan contoh praktik baik pendidikan. Kolaborasi keduanya dalam pertukaran ide, pengalaman, dan pendampingan mampu mempersempit kesenjangan kualitas pendidikan.
Peran catur pusat pendidikan, pemerintah, guru, keluarga, dan masyarakat penting guna mendukung ketercapaian Indonesia Emas. Mereka perlu bergotong royong dan saling menguatkan dalam porsi masing-masing. Pemerintah harus menjadi pembuat kebijakan yang relevan dan bermutu, guru harus menjadi pendamping anak menemukan potensi diri, keluarga sebagai benteng moral dan fondasi karakter, dan masyarakat menjadi ekosistem yang menghidupkan semangat belajar.
Peran bersama secara konsisten itu mampu melahirkan generasi emas untuk Indonesia. Seperti kata Bung Karno (1933), “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas,” dan tugas kita untuk membangun, merawat, dan menjaga jembatan itu agar benar-benar dimanfaatkan untuk mengantarkan setiap anak bangsa menjadi talenta emas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
