Gerbong Khusus Merokok dan Risiko Kesehatan
Hukum | 2025-08-25 09:19:37Isu kontroversial yang kerap muncul dari wacana kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat kembali mencuat, kali ini bukan terkait remunerasi atau fasilitas legislatif, melainkan usulan pembentukan gerbong khusus bagi perokok di moda transportasi kereta api. Gagasan ini disampaikan oleh Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Nasim Khan dan menimbulkan perdebatan publik yang cukup tajam. Gagasan ini, di satu sisi, disambut dengan antusias oleh para perokok yang merasa hak mereka untuk menikmati produk tembakau terakomodasi, terutama pada perjalanan yang memakan waktu lama. Namun, di sisi lain, usulan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama non-perokok, pegiat kesehatan, dan masyarakat umum yang melihatnya sebagai langkah mundur dalam upaya menciptakan ruang publik yang sehat dan bebas dari asap rokok.
Tidak dapat dimungkiri, usulan ini memicu beragam respons dan perdebatan di tengah masyarakat. Salah satu pertanyaan utama yang mengemuka adalah apakah gagasan tersebut memiliki landasan hukum yang kuat, dan sejauh mana kebijakan ini selaras dengan prinsip perlindungan kesehatan publik yang telah menjadi komitmen negara. Di tengah upaya menjaga kualitas hidup dan hak atas lingkungan sehat, wacana seperti ini patut dikaji secara mendalam agar tidak justru menimbulkan konflik antara aspirasi kebijakan dan norma hukum yang berlaku.
Landasan Hukum Utama dan Kepatuhan Regulasi
Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Landasan hukum utama yang relevan dan paling sering dijadikan acuan dalam isu ini adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan secara eksplisit menyatakan bahwa “Kawasan tanpa rokok antara lain meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lain yang ditetapkan.” Kereta api, sebagai salah satu bentuk angkutan umum, secara jelas dan tegas termasuk dalam definisi "Kawasan Tanpa Rokok" (KTR) yang dimaksud oleh undang-undang. Dengan demikian, usulan untuk menyediakan gerbong khusus merokok di dalam kereta api secara langsung bertentangan dengan semangat dan substansi dari pasal tersebut. Undang-undang ini dibuat dengan tujuan mulia, yaitu untuk melindungi kesehatan masyarakat secara menyeluruh dari bahaya asap rokok, baik perokok aktif maupun pasif.
Selain itu, regulasi yang lebih spesifik, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, juga memperkuat larangan tersebut. PP ini merinci lebih lanjut implementasi KTR dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan. Ketentuan ini jelas bertujuan untuk meminimalisir paparan zat berbahaya dari asap rokok, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia. Memberikan pengecualian dengan menyediakan gerbong khusus, sama artinya dengan melemahkan kekuatan hukum dari PP ini.
Di tingkat daerah, banyak provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia telah mengadopsi regulasi yang lebih ketat, berupa Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok. Perda-perda ini seringkali menetapkan sanksi yang lebih tegas dan memperluas cakupan KTR. Dengan demikian, usulan yang diajukan oleh Nasim Khan tidak hanya berbenturan dengan regulasi nasional, tetapi juga berpotensi mengabaikan komitmen hukum yang telah dibuat oleh pemerintah daerah dalam melindungi warganya dari paparan asap rokok.
Asas Hukum dan Hak Asasi Manusia
Dari perspektif asas hukum, wacana ini menyentuh beberapa prinsip fundamental. Salah satunya adalah Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia. Di satu sisi, perokok memiliki hak untuk berekspresi dan kebebasan individu. Namun, hak ini tidaklah mutlak. Batasan dari hak seseorang adalah ketika hak tersebut mulai melanggar atau merugikan hak orang lain. Dalam konteks ini, hak seorang perokok untuk merokok tidak boleh mengeliminasi atau mengancam hak non-perokok untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan bebas dari polusi.
Hal ini secara langsung terkait dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Memberikan ruang bagi aktivitas merokok di dalam angkutan publik adalah pembiaran terhadap potensi pelanggaran hak konstitusional ini. Asap rokok pasif, yang mengandung ribuan zat kimia berbahaya, jelas-jelas bukanlah bagian dari "lingkungan hidup yang baik dan sehat" yang dijamin oleh konstitusi.
Kemudian, ada Asas Kemanfaatan Publik (Public Utility Principle). PT KAI, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memiliki tanggung jawab utama untuk melayani kepentingan publik secara luas. Kemanfaatan terbesar harus diberikan kepada mayoritas penumpang, yang sebagian besar adalah non-perokok. Mengorbankan hak kesehatan mayoritas demi mengakomodasi minoritas adalah tindakan yang tidak sejalan dengan asas ini. KAI seharusnya mengutamakan kesehatan dan keselamatan seluruh penumpangnya.
Dialek Pro dan Kontra dari Masyarakat
Para pendukung usulan ini, yang utamanya adalah perokok, berargumen bahwa gerbong khusus adalah solusi tengah yang adil. Mereka mengklaim bahwa dengan sistem ventilasi yang memadai, asap rokok dapat diisolasi dan tidak akan menyebar ke gerbong lain. Bagi mereka, larangan total adalah bentuk diskriminasi yang tidak memanusiakan perokok, seolah-olah mereka tidak memiliki hak untuk menikmati perjalanan yang nyaman. Mereka merasa bahwa selama hak orang lain tidak dilanggar, mereka harus memiliki kebebasan untuk merokok.
Namun, argumen ini mendapat sanggahan keras dari para ahli kesehatan dan non-perokok. Secara saintifik, tidak ada sistem ventilasi yang 100% efektif dalam mencegah sebaran partikel asap rokok yang sangat halus. Partikel-partikel ini dapat menempel pada pakaian, kulit, rambut, dan barang bawaan, serta menyebar melalui celah pintu dan sistem sirkulasi udara, mencemari gerbong lain. Fenomena ini dikenal sebagai thirdhand smoke, dan dampaknya tidak kalah berbahaya. Oleh karena itu, klaim bahwa asap rokok dapat sepenuhnya diisolasi adalah argumen yang tidak valid secara ilmiah.
Dari segi hukum, menyediakan gerbong khusus merokok juga membuka celah potensi tuntutan hukum di kemudian hari. Jika ada penumpang non-perokok yang jatuh sakit akibat paparan asap rokok dari gerbong yang "terisolasi" tersebut, mereka bisa saja mengajukan gugatan terhadap PT KAI atas kelalaian dalam menjamin lingkungan yang sehat dan aman. Hal ini menunjukkan bahwa secara praktis, usulan ini justru menciptakan kerentanan hukum bagi perusahaan.
Jika kita berkaca pada negara-negara maju, tren yang ada justru sangat berlawanan dengan usulan ini. Sejak beberapa dekade lalu, negara-negara ini telah bergerak maju dalam menerapkan larangan merokok yang ketat di ruang publik, terutama di angkutan umum. Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan mayoritas negara-negara Eropa telah melarang merokok di seluruh area kereta api, termasuk peron dan stasiun, tanpa ada gerbong khusus. Bahkan di Asia, banyak negara yang secara historis memiliki budaya merokok yang kuat kini telah mengambil langkah tegas. Jepang, misalnya, yang terkenal dengan kebiasaan merokoknya, telah menghapus seluruh gerbong khusus merokok pada kereta super cepat Shinkansen sejak tahun 2020. Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan bahaya asap rokok pasif telah menjadi pertimbangan utama dalam perumusan kebijakan publik, mengalahkan pertimbangan lain. Contoh-contoh global ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ketat dan tanpa kompromi adalah pilihan yang paling efektif dan bijaksana. Negara-negara maju telah menyadari bahwa melindungi kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas utama, dan memberikan pengecualian hanya akan melemahkan komitmen tersebut.
Maka dengan membangun sebuah regulasi untuk melegalkan merokoko pada gerbong khusus di KAI, hal ini justru berpotensi melanggar hak konstitusional masyarakat atas lingkungan yang sehat, dan tidak sejalan dengan asas kemanfaatan publik. Menyediakan gerbong khusus tidak menghilangkan bahaya asap rokok pasif dan justru menciptakan kerentanan hukum bagi PT KAI. Lebih jauh lagi, kebijakan ini akan mengirimkan sinyal yang salah kepada publik dan melemahkan upaya-upaya edukasi yang telah dilakukan selama ini. Mengingat tren global yang secara konsisten bergerak menuju kebijakan KTR yang lebih ketat, Indonesia seharusnya mengikuti langkah maju ini.
Untungnya PT. KAI menolak usulan tersebut dan tetap konsisten dalam menegakkan peraturan yang telah ada, yang diperkuat pula oleh argumen Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka. Alih-alih membuat pengecualian, perusahaan dan pemerintah sebaiknya fokus pada penguatan sosialisasi dan penegakan hukum terhadap larangan merokok di transportasi umum. Dengan begitu, hak seluruh penumpang untuk menikmati perjalanan yang aman, nyaman, dan sehat akan benar-benar terjamin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
