MBG Membongkar Paradoks Pendidikan: Kaya Anggaran, Miskin Kualitas
Kolom | 2025-08-24 21:59:23Program Makan Bergizi Gratis (MBG) datang bukan sekadar membagi nasi kotak, melainkan membongkar paradoks lama: kaya anggaran, miskin kualitas belajar. Di tengah riuh pro-kontra soal perlu atau tidaknya program ini, ada cermin yang lebih jujur: pendidikan Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan dana, tetapi gagal mengubah rupiah menjadi mutu belajar yang nyata.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah mengalokasikan Rp335 triliun untuk MBG, mencakup 82,9 juta penerima yang terdiri dari siswa, ibu hamil, dan balita. Angka ini fantastis, bahkan setara hampir separuh dari total belanja pendidikan pusat yang digunakan untuk gaji dan penguatan kompetensi guru. Fakta bahwa fungsi pendidikan sanggup menampung program sebesar ini tanpa lonjakan kas tambahan menegaskan bahwa ruang fiskal kita sesungguhnya sangat luas. Persoalan mendesak bukan lagi soal ketersediaan uang, melainkan bagaimana belanja tersebut diubah menjadi capaian belajar yang terukur.
Hasil survei PISA 2022 menegaskan betapa timpangnya antara ketersediaan dana dan mutu pendidikan. Indonesia hanya meraih skor 366 untuk matematika, 359 untuk membaca, dan 383 untuk sains, jauh di bawah rata-rata OECD yang berada di kisaran 480. Proporsi siswa yang mencapai kompetensi minimum masih terbatas. Akses pendidikan memang membaik, tetapi kualitas pembelajaran tidak bergerak sepadan dengan peningkatan belanja. Di titik inilah MBG menjadi cermin fiskal: uang tersedia, tetapi desain kebijakan masih rapuh.
Selama bertahun-tahun, lebih dari separuh anggaran pendidikan nasional dialirkan melalui transfer ke daerah. Dana BOS mencapai sekitar Rp59 triliun per tahun, Program Indonesia Pintar menjangkau lebih dari 21 juta siswa, KIP Kuliah menyasar 1,2 juta mahasiswa, dan tunjangan profesi guru di daerah menelan lebih dari Rp50 triliun setiap tahun. Angka-angka ini menggambarkan skala belanja yang sangat besar. Namun indikator kinerjanya berhenti pada jumlah penerima dan serapan anggaran, bukan pada capaian literasi dan numerasi.
Manfaat tentu ada. BOS membuat sekolah di daerah rentan tetap bertahan, bantuan siswa menekan angka putus sekolah, tunjangan profesi guru meningkatkan kesejahteraan. Tetapi dampak akademik tidak merata. Literasi dan numerasi hanya membaik di sebagian wilayah, ketepatan waktu kelulusan belum dipantau secara konsisten, sementara kenaikan tunjangan guru tidak otomatis memperbaiki praktik mengajar di kelas.
Pola ini menunjukkan satu hal: program banyak, dana melimpah, tetapi hasil belajar tambal sulam. Rapor Pendidikan memang mulai merekam perbaikan kompetensi minimum dalam dua tahun terakhir, namun kesenjangan antarwilayah tetap lebar. MBG, yang ditempatkan dalam fungsi pendidikan, menegaskan kembali bahwa masalah kita bukan pada kekurangan uang, melainkan pada lemahnya desain kebijakan yang berorientasi hasil.
Kebijakan pendidikan selama ini terlalu sering dimulai dari program, lalu baru dicari pembenaran akademiknya. Akibatnya, nomenklatur belanja menjadi rumit, tujuan kebijakan kabur, dan kinerja sulit diukur lintas jenjang. Untuk isu gizi-belajar seperti MBG, sejak awal mestinya diarahkan lintas kementerian pendidikan, kesehatan, dan pertanian, dengan indikator utama berupa kehadiran siswa, status anemia remaja, serta capaian literasi dan numerasi. Dengan begitu, manfaat pendidikan dapat benar-benar diukur, bukan sekadar dihitung dari jumlah paket yang tersalurkan.
Koreksi kebijakan perlu segera dilakukan. Setiap program baru seharusnya dilengkapi dengan uji kelayakan sebelum anggaran diketok, termasuk kerangka perubahan, data dasar, dan analisis biaya-manfaat yang dipublikasikan. Belanja pendidikan harus berbasis hasil, bukan kegiatan, dengan unit cost yang dikaitkan langsung dengan indikator capaian seperti kehadiran atau angka putus sekolah. Untuk dana transfer ke daerah, mekanisme insentif kinerja dapat diterapkan sehingga daerah yang terbukti meningkatkan mutu belajar memperoleh tambahan dana, sementara yang stagnan diwajibkan merancang ulang kebijakan berbasis bukti. Program besar pun harus dievaluasi secara berkala melalui spending review dan mekanisme sunset clause, sehingga program yang gagal segera dihentikan atau dirombak. Transparansi publik juga perlu diperkuat melalui dashboard yang menampilkan seluruh belanja pendidikan pusat dan daerah, lengkap dengan biaya per unit, penerima anonim, dan pergerakan indikator hasil.
Penempatan MBG juga harus tepat. Jika tetap berada di fungsi pendidikan, maka indikator pendidikan harus memimpin desainnya. Bila evaluasi dalam dua hingga tiga tahun tidak menunjukkan perbaikan kehadiran, status gizi, dan capaian belajar, pendekatan program ini harus dirombak, bukan hanya ditambah anggaran.
MBG membuka tabir penting: pendidikan Indonesia memiliki anggaran yang cukup besar. Jika mutu belum melonjak, maka persoalannya ada pada proses, yakni bagaimana rupiah diubah menjadi praktik mengajar yang efektif, kepemimpinan sekolah yang kuat, dan asesmen yang benar-benar memandu perbaikan. Pendidikan yang bergizi seharusnya tidak hanya membuat murid kenyang, melainkan juga memastikan guru bekerja dengan tenang dan mutu pendidikan akhirnya menjadi pemenang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
