Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Subhan Riyadi

Potret Perjuangan Guru Honorer di Pedalaman Sikka, Demi Anak-Anak Tugas Kami Tetap Jalan

Eduaksi | 2025-08-24 10:05:38
Foto: BBC News Indonesia

Ditengah melejitnya tunjangan anggota dewan, ternyata terdapat sebuah potret perjuangan guru honorer di pedalaman Sikka, Nusa Tenggara Timur. Meski begitu, demi mencerdaskan anak-anak bangsa Indonesia, guru honorer ini tetap menjalankan tugas negara, tanpa mengeluh sedikitpun.

Kisah Vinsensia Ervina Talluma adalah potret nyata dedikasi tanpa pamrih seorang guru yang mengabdikan diri demi mencerdaskan anak-anak bangsa, meskipun harus menghadapi tantangan luar biasa.

Di balik gemerlap kemajuan teknologi dan pembangunan kota, masih banyak sudut Indonesia yang menyimpan kisah perjuangan luar biasa.

Salah satunya datang dari Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Vinsensia Ervina Talluma, seorang guru honorer berusia 32 tahun, mengabdikan dirinya di sekolah jarak jauh Wairkubang, ranting dari SDK 064 Watubala, Desa Wairterang, Kecamatan Waigete.

Vinsensia mengajar bukan di ruang kelas mewah ber-AC, tetapi di bangunan kayu yang dulunya adalah taman baca.

Sejak 5 Februari 2024, Ervina mengajar di sekolah yang terletak di kampung terpencil, dengan medan yang menantang, jalan kaki sejauh tiga kilometer, melewati hutan, sungai, bebatuan, dan medan yang semakin berat saat musim hujan.

Tidak jarang, akses ke sekolah terputus karena banjir. Dalam situasi seperti itu, para siswa belajar dari rumah dengan tugas mandiri.

Dengan gaji hanya Rp300.000 per bulan, berasal dari Komite Sekolah sebesar Rp150.000

dan sisanya dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Ervina tetap teguh menjalankan tugasnya.

Vinsensia mengaku jumlah gaji tersebut tidak mampu menghidupi keluarganya. Namun ia tetap mengajar demi murid-muridnya.

Untuk menutupi kebutuhan hidup, ia pun membuka usaha kecil-kecilan menjual sembako dari rumah.

"Kalau kondisi seperti ini untuk kami yang sudah berkeluarga memang sangat tidak cukup, tapi mau bagaimana demi anak-anak, tugas kami tetap jalankan seperti biasanya," kata Ervina, Rabu, 26 Februari 2025.

Kisah Ervina bukanlah satu-satunya di Indonesia. Ia adalah simbol dari ribuan guru honorer yang berjuang di daerah pelosok, sering kali tanpa perhatian yang layak dari pemerintah. Dedikasi seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius tentang keadilan pengupahan, pemerataan pendidikan, dan penghargaan terhadap profesi guru.

Pertanyaannya apakah pantas seorang pendidik menerima Rp300.000 per bulan?.

Di mana keadilan bagi mereka yang berada di garis terdepan mencerdaskan bangsa?

Apa yang bisa dilakukan pemerintah daerah, dan pusat untuk memperbaiki situasi ini?

Kita tidak bisa tinggal diam.

Perjuangan Ervina harus menjadi panggilan bagi kita semua untuk mendorong perubahan. Pendidikan yang layak hanya bisa tercapai jika para pengajar diberi dukungan yang layak pula.

Pendapatan Ervina, seorang guru honorer menggambarkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang cukup mencolok antara pejabat negara dan tenaga pendidik honorer, khususnya dalam hal tunjangan dan gaji.

Tunjangan beras Anggota Dewan begitu fundamental sangat mencengangkan dunia persilatan. Jika benar tunjangan beras sebesar Rp12 juta per bulan, maka ini tentu sangat besar dan tidak proporsional bila dibandingkan dengan harga beras atau kebutuhan konsumsi wajar per individu.

Tunjangan semacam ini sering kali tidak hanya mencakup beras, tapi bisa menjadi bagian dari tunjangan konsumsi secara umum yang dilekatkan pada jabatan.

Sedangkan gaji guru Honorer di Indonesia hanya Rp300 ribu/bulan, ini angka yang sangat rendah, bahkan tidak mencukupi kebutuhan hidup layak, apalagi bagi seorang pendidik yang memegang peran penting dalam membentuk generasi bangsa.

Ketimpangan ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap sektor pendidikan, terutama guru honorer yang belum mendapat status PNS/ASN.

Tentu menimbulkan ketimpangan sosial di negeri yang sakit ini dapat menurunkan moral para pekerja sektor vital, di sektor pendidikan, kesehatan. Menjadi pertanyaan mengapa pengabdian di bidang pendidikan tidak dihargai secara layak?.

Jika ini dibiarkan berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara yang dianggap lebih mementingkan kenyamanan pejabat daripada kesejahteraan rakyat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image