Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayako Cahaya

Mengulik Josjis: Tren Bahasa Gaul Gen Z dan Cermin Budaya Populer

Culture | 2025-08-21 17:53:19

Media sosial, khususnya TikTok, terus menjadi ruang subur bagi lahirnya kosakata baru yang segera diadopsi anak muda. Belakangan, linimasa diramaikan oleh istilah “Josjis”, kata yang dengan cepat menjadi bagian percakapan santai mahasiswa baru dan generasi Z di berbagai daerah. Fenomena ini menunjukkan betapa cepatnya tren bahasa lahir, menyebar, dan membentuk identitas kelompok di era digital yang serba instan.

Secara sederhana, “Josjis” berasal dari kata “jos” yang dalam bahasa gaul Indonesia berarti “mantap”, “keren”, atau “hebat”. Penambahan akhiran “-jis” memberi sentuhan humoris sekaligus hiperbolis, menjadikannya terdengar unik dan memancing rasa ingin tahu. Kreativitas seperti ini dalam bahasa populer kerap disebut permainan kata, yang sering menjadi simbol kebersamaan di antara penggunanya. Generasi muda seolah menemukan ruang untuk menciptakan istilah yang bukan hanya sekadar kata, tetapi juga menjadi simbol keakraban sosial.

Popularitas istilah ini bermula dari video TikTok yang diunggah akun @mhmdrzz._, menampilkan seorang mahasiswa baru Universitas Airlangga yang kemudian dijuluki “Pemuda Josjis”. Dalam video singkat tersebut, ia bercerita tentang pengalaman mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Dengan gaya santai dan percaya diri, ia mengaku mendapat “rezeki” berupa kursi nyaman tanpa perlu berusaha keras. Cerita itu ditutup dengan komentar “pemuda Josjis” yang memicu gelombang tawa dan rasa “terhubung” dari penonton. Narasi sederhana namun jujur itu kemudian menjadi pintu lahirnya istilah baru yang viral.

Tidak berhenti di situ, video lain yang menyemarakkan kata Josjis juga muncul dari pihak panitia PKKMB maupun mahasiswa lainnya. Sejak saat itu, istilah “Josjis” tidak lagi terbatas di Universitas Airlangga. Video viral tersebut memicu adopsi istilah ini di kalangan mahasiswa dari berbagai kampus. Penyebaran juga meluas lintas platform digital: Instagram, Twitter, WhatsApp, bahkan digunakan dalam status dan story. Fenomena ini menegaskan bagaimana tren bahasa dapat menyebar lintas komunitas dan wilayah hanya dalam hitungan jam, berkat algoritma media sosial yang mempercepat distribusi konten viral.

Menariknya, pengembangan kata ini pun cukup kreatif. Beberapa orang bahkan menafsirkan “Josjis” sebagai singkatan dari Jujur, Optimis, Sabar, Jujur neh, Inspiratif, Solutif. Meski awalnya guyonan, hal ini memperlihatkan kecenderungan generasi muda untuk selalu memodifikasi kata agar lebih berwarna. Bukan hanya sekadar candaan, “Josjis” menjelma menjadi simbol identitas kelompok yang dipahami bersama oleh sesama generasi Z.

Fenomena ini patut dicermati dari perspektif sosiolinguistik. Bahasa gaul seperti “Josjis” tidak hanya tren sesaat, tetapi juga memuat fungsi sosial penting: membangun identitas kelompok, menjadi simbol kebersamaan, dan memperkuat rasa memiliki terhadap komunitas tertentu. Generasi Z, yang tumbuh dalam ekosistem digital, memanfaatkan bahasa sebagai media ekspresi diri sekaligus pembeda dengan generasi sebelumnya. “Josjis” bukan hanya kosakata baru, melainkan penanda zaman bagi mereka yang hidup di era digital.

Jika dibandingkan dengan istilah gaul lain seperti “woles”, “mantul”, atau “goks”, “Josjis” memiliki siklus penyebaran lebih cepat dan penyerapan makna yang lebih kompleks. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda selalu beradaptasi dengan ekosistem digital yang terus berubah, sekaligus memenuhi kebutuhan mereka untuk menciptakan istilah yang relevan secara sosial.

Selain itu, fenomena “Josjis” memiliki beberapa lapisan makna menarik:

 

  1. Kreativitas Berbahasa – Generasi muda bukan hanya konsumen, tetapi produsen makna yang aktif memodifikasi kata agar sesuai dengan selera humor dan gaya komunikasi mereka.
  2. Inside Joke – “Josjis” menjadi guyonan internal yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh orang yang mengikuti tren tersebut. Ini menciptakan batas simbolis antara “orang dalam” dan “orang luar”.
  3. Fungsi Hiburan – Kata ini memecah kebekuan, memicu tawa, dan mempererat interaksi sosial. Bahkan fleksibilitasnya terlihat ketika bisa dipakai dalam konteks formal seperti PKKMB maupun obrolan santai sehari-hari.

Meski demikian, seperti tren bahasa lain, “Josjis” mungkin saja mengalami siklus hidup singkat. Ia bisa memudar seiring munculnya istilah baru yang lebih segar. Namun, jejak digitalnya tetap tersimpan di berbagai platform, menjadi arsip budaya yang dapat memicu nostalgia di masa depan. Sama seperti generasi sebelumnya masih mengenang istilah “gaul abis” atau “alay”, generasi mendatang akan mengingat “Josjis” sebagai bagian dari fase unik dalam perjalanan bahasa anak muda Indonesia.

Dokumentasi bahasa gaul seperti ini penting. Ia berfungsi sebagai rekaman sejarah budaya populer, sekaligus data berharga bagi peneliti bahasa dan budaya dalam memahami dinamika sosial generasi muda. Dari “Josjis”, kita belajar bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga media refleksi sosial, arena kreativitas, dan wadah pembentukan identitas kolektif.

Akhirnya, “Josjis” bukan sekadar kata viral. Ia adalah simbol perpaduan kreativitas, teknologi, dan identitas generasi. Dalam derasnya arus informasi, generasi muda membuktikan bahwa bahasa tetap menjadi senjata utama mereka untuk mengekspresikan diri, membangun komunitas, dan mengabadikan momen istimewa—bahkan jika momen itu sesederhana mendapat kursi empuk di hari pertama kuliah.

Lebih dari itu, “Josjis” mengingatkan kita bahwa bahasa gaul adalah wajah lain dari dinamika kebudayaan. Ia mungkin singkat umurnya, tetapi selalu punya jejak panjang dalam membentuk karakter sebuah generasi. Di sinilah pentingnya kesadaran literasi digital: agar kreativitas anak muda tidak berhenti pada euforia viral, melainkan menjadi sarana memperkuat identitas, kebersamaan, bahkan persatuan di tengah keragaman masyarakat Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image