Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bhenu Artha

Job Hugging: Suatu Pilihan atau ...?

Sinau | 2025-08-20 18:41:39
Fajar Santoso, Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Di tengah dunia kerja yang terus berubah, ada satu fenomena yang diam-diam tumbuh subur di berbagai sektor: job hugging. Istilah ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk tetap bertahan di satu pekerjaan atau posisi, meskipun peluang lain terbuka lebar atau meskipun pekerjaan tersebut tidak lagi memberikan kepuasan, pertumbuhan atau keseimbangan hidup. Job hugging merupakan bentuk keterikatan emosional dan psikologis terhadap pekerjaan yang bisa jadi menghambat perkembangan pribadi dan profesional.

Secara sederhana, job hugging adalah kondisi di mana seseorang “memeluk” pekerjaannya terlalu erat. Mereka enggan berpindah, seringkali bukan karena tidak ada pilihan, tetapi karena merasa terlalu nyaman, terlalu takut, atau terlalu terikat. Fenomena ini berbeda dari loyalitas atau komitmen kerja. Loyalitas adalah pilihan sadar untuk bertahan karena nilai dan visi yang sejalan, sementara job hugging lebih menyerupai keterikatan yang bersifat defensif, seperti enggan keluar dari zona nyaman.

Orang yang mengalami job hugging bisa jadi sangat kompeten dan berdedikasi, namun mereka menolak perubahan, promosi, atau tantangan baru. Mereka mungkin merasa aman di posisi saat ini, takut gagal di tempat lain atau khawatir kehilangan identitas yang sudah melekat pada pekerjaan tersebut.

Meskipun terlihat aman, job hugging bisa berdampak negatif dalam jangka panjang, antara lain stagnasi karier. Ketika seseorang terlalu lama berada di zona nyaman, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar hal baru, memperluas jaringan, dan meningkatkan nilai profesional. Hal lainnya adalah penurunan motivasi dan produktivitas. Pekerjaan yang tidak lagi menantang bisa membuat seseorang kehilangan semangat, yang berdampak pada kinerja dan kepuasan kerja. Kesehatan mental juga menjadi salah satu efek negatif job hugging. Ketidakpuasan yang dipendam bisa menimbulkan stres, kecemasan dan bahkan depresi. Terjebak dalam pekerjaan yang tidak lagi bermakna bisa membuat seseorang merasa hampa. Di level organisasi, job hugging bisa menghambat regenerasi, inovasi dan dinamika tim. Ketika posisi kunci tidak berganti, ide-ide baru sulit masuk.

Sebagai kontras, ada fenomena job hopping, yaitu berpindah-pindah pekerjaan dalam waktu singkat. Keduanya berada di dua kutub ekstrem: satu terlalu menetap, satu terlalu sering berpindah. Idealnya, seseorang perlu menemukan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan. Bertahan bukan berarti stagnan, dan berpindah bukan berarti tidak setia.

Mengatasi job hugging bukan berarti harus langsung resign atau mencari pekerjaan baru. Yang penting adalah menyadari pola keterikatan dan mengevaluasi apakah pekerjaan saat ini masih mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain refleksi diri, tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya masih belajar sesuatu yang baru? Apakah saya masih merasa termotivasi? Selanjutnya Adalah diskusi dengan mentor atau rekan. Kadang kita butuh perspektif luar untuk melihat situasi dengan lebih jernih. Diskusi dengan orang yang dipercaya bisa membuka wawasan baru.

Diperlukan juga eksplorasi internal. Jika belum siap pindah, coba cari tantangan baru di dalam organisasi. Ambil proyek lintas divisi, ikuti pelatihan, atau ajukan ide inovatif. Berikutnya yaitu membangun Identitas di luar pekerjaan, dengan membangun minat dan jejaring di luar kantor agar rasa percaya diri tidak bergantung pada satu peran saja. Terakhir adalah menyiapkan rencana jangka panjang. Tidak harus langsung pindah, tapi punya rencana karier jangka panjang bisa membantu mengurangi rasa takut dan membuka peluang baru.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image