Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Menemui Marhaen, Menemui Rakyat

Sejarah | 2025-08-20 12:52:52
Bung Karno Berdialog dengan PETANI

Oleh: Muliadi Saleh

Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi & Kebudayaan

Pada suatu hari di awal 1920-an, seorang mahasiswa bersepeda menyusuri jalanan Bandung. Mahasiswa itu adalah Soekarno. Ia berhenti di sebuah sawah kecil, menyapa seorang petani yang sedang bekerja. Dari percakapan singkat, terungkap bahwa tanah, cangkul, dan padi adalah milik si petani, tetapi hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Petani itu memperkenalkan diri: Marhaen.

Pertemuan sederhana ini mengubah arah sejarah. Soekarno melihat dalam diri Marhaen cermin jutaan rakyat kecil Indonesia: memiliki sesuatu tetapi tetap miskin, bekerja keras tetapi tetap terpinggirkan. Dari sinilah lahir Marhaenisme, sosialisme khas Indonesia yang berakar pada nilai bangsa, bertujuan mengangkat martabat rakyat kecil, dan memperjuangkan keadilan sosial.

Menemui, Bukan Memanggil

Yang penting bukan hanya kisah tentang Marhaen, tetapi cara Soekarno menemui Marhaen. Ia turun dari sepeda, berjalan ke pematang, dan berbicara langsung. Padahal, jika ia memanggil dari kejauhan, Marhaen pasti datang.

Di sinilah letak makna kepemimpinan: hadir tanpa jarak, mendengar tanpa perantara. Kepemimpinan sejati dimulai dari keberanian menemui rakyat, bukan sekadar menunggu rakyat datang.

Cermin untuk Hari Ini

Seratus tahun lebih telah berlalu. Tetapi kisah itu tetap relevan. Hari ini, kita sering mendengar kata “rakyat” diucapkan di podium, namun rakyat yang sebenarnya jarang ditemui. Banyak pemimpin sibuk membangun citra, tetapi enggan menginjak lumpur sawah, mencium asin laut, atau mendengar keluh kesah pedagang di pasar.

Kisah Marhaen adalah pengingat: pemimpin sejati tidak hanya mengatur “pertemuan” di panggung pencitraan, melainkan benar-benar menemui rakyat.

Api yang Belum Padam

Marhaenisme bukanlah masa lalu. Selama masih ada rakyat yang bekerja keras tetapi hidup miskin, selama masih ada ketidakadilan yang menyingkirkan mereka dari tanah dan lautnya, api Marhaenisme tetap menyala.

Kemerdekaan bukan hanya bendera dan upacara, melainkan keberanian membela rakyat kecil. Dari sawah kecil itu, Bung Karno menemukan bangsa. Kini, kita ditantang: maukah pemimpin kita kembali menemui rakyatnya?

---

Muliadi Saleh

Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi & Kebudayaan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image