Donasi Seribu Per Hari Gagasan Humanis atau Ilusi Solidaritas yang Menindas Rakyat
Politik | 2025-10-06 07:21:24
Oleh: Jeje Zaenudin Mahasiswa Hukum UBP Karawang | Aktivis Pemuda Marhaenis.
Gagasan Dedi Mulyadi untuk mengajak masyarakat Jawa Barat, termasuk ASN dan pelajar, berdonasi sebesar Rp1.000 per hari demi membantu pendidikan dan kesehatan, sekilas tampak mulia. Namun jika ditinjau dari kacamata Marhaenisme, gagasan ini menyimpan persoalan mendasar: mengapa beban gotong royong justru diarahkan kepada rakyat kecil, bukan kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya besar?
Marhaenisme dan Hak Dasar Rakyat
Ajaran Marhaenisme yang dirumuskan oleh Bung Karno berpijak pada semangat pembebasan rakyat kecil dari segala bentuk penindasan, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Marhaenisme menegaskan bahwa kaum Marhaen (rakyat pekerja, buruh, petani, guru, dan masyarakat kecil) harus menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan.
Dalam pandangan Marhaenisme, pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara sebagaimana amanat Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945. Ketika rakyat kecil diminta untuk berdonasi rutin demi memenuhi haknya sendiri, hal itu mencerminkan adanya pemindahan tanggung jawab konstitusional negara kepada rakyat.
Mengapa ASN dan Siswa Dibebani?
Pertanyaan kritis muncul: mengapa justru ASN dan siswa yang diminta berdonasi?Padahal, banyak ASN terutama di daerah masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar dengan gaji yang pas-pasan. Sementara para siswa, yang seharusnya dilindungi dan difasilitasi dalam memperoleh pendidikan, malah dibebani kewajiban menyumbang secara rutin.
Kebijakan ini mengaburkan fakta bahwa:
Banyak pejabat dan elite ekonomi justru memiliki kemampuan finansial jauh lebih besar, namun tidak diwajibkan ikut menanggung beban moral dan sosial sebagaimana ASN dan siswa, sehingga muncul kesan bahwa beban tanggung jawab sosial kembali ditimpakan kepada kelompok rakyat kecil.
Dalam ajaran Marhaenisme, ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural, di mana kelompok bawah terus didorong berkorban, sementara kelompok atas menikmati posisi aman tanpa tanggung jawab yang sebanding.
Gotong Royong atau Ilusi Kepedulian?
Gotong royong sejati dalam pandangan Marhaenisme adalah kerja sama yang adil dan membebaskan, bukan kebersamaan yang menindas atau timpang. Ia harus berangkat dari kesadaran kolektif untuk memperjuangkan keadilan sosial, bukan dari paksaan moral yang menyembunyikan ketimpangan kelas.
Jika rakyat kecil, ASN bergaji rendah, dan siswa harus menyumbang setiap hari, sementara pejabat, pemilik modal, dan elite politik tidak ikut menanggung beban yang sama, maka nilai gotong royong kehilangan maknanya. Ia berubah menjadi ilusi kepedulian, yang secara halus menutupi ketidakadilan ekonomi dan kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawabnya.
Kritik Marhaenisme terhadap Kebijakan yang Tidak Berpihak
Marhaenisme menolak segala bentuk kebijakan yang memperlemah rakyat kecil. Rakyat tidak boleh terus-menerus diminta berkorban, sementara negara tidak hadir secara penuh dalam menjamin hak-hak sosial mereka.
Alih-alih meminta iuran dari ASN dan siswa, negara seharusnya:
Mengoptimalkan anggaran publik,Memperketat pengawasan terhadap korupsi dan kebocoran dana,Menarik kontribusi lebih besar dari kelas kaya dan elite pejabat yang menikmati surplus ekonomi.
Dengan cara ini, kebijakan sosial akan berjalan berdasarkan prinsip keadilan distributif, sebagaimana semangat Marhaenisme yang berpihak kepada kaum kecil.
Solusi sejati menurut Marhaenisme bukanlah membebani rakyat kecil dengan iuran harian, melainkan membangun sistem negara yang berpihak, adil, dan menjamin hak rakyat tanpa syarat. Negara harus menjadi pengayom, bukan sekadar pengalih tanggung jawab.
Marhaenisme mengajarkan bahwa rakyat harus sadar akan haknya, bukan sekadar menjadi alat moralitas untuk menutupi ketimpangan. Gotong royong harus dimaknai sebagai pembebasan, bukan penundukan.Gagasan donasi seribu rupiah per hari mungkin tampak sederhana, namun dari kacamata Marhaenisme, kebijakan ini justru menyingkap persoalan besar: mengapa rakyat kembali diminta menanggung beban negara?
Dalam negara yang berkeadilan, pengorbanan terbesar seharusnya datang dari mereka yang paling mampu, bukan dari rakyat kecil yang masih berjuang demi hidup layak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
