Sebuah Catatan Tentang: Wawasan Kebangsaan, Kepemimpinan, dan Integrasi
Politik | 2025-08-20 12:25:38Sebuah Catatan Tentang:
WAWASAN KEBANGSAAN, KEPEMIMPINAN, DAN INTEGRASI
Sarkawi B. Husain
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Prolog
Wawasan kebangsaan atau kesadaran berbangsa, kepemimpinan, dan integrasi merupakan tiga konsep yang sangat penting dalam membangun dan memajukan sebuah bangsa. Wawasan kebangsaan atau kesadaran berbangsa merupakan kesadaran dan pemahaman tentang identitas dan nilai-nilai kebangsaan. Sementara itu, kepemimpinan merupakan kemampuan untuk memimpin dan mengarahkan masyarakat, sedangkan integrasi adalah proses mempersatukan berbagai elemen masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tulisan singkat ini, dibahas tentang pentingnya wawasan dan kesadaran berbangsa, kepemimpinan atau leadership, dan integrasi dalam membangun serta memajukan bangsa.
Wawasan Kebangsaan atau Kesadaran Berbangsa
Wawasan kebangsaan atau kesadaran berbangsa merupakan kesadaran dan pemahaman tentang identitas dan nilai-nilai kebangsaan. Wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai pandangan atau perspektif tentang kebangsaan yang mencakup nilai-nilai, norma, dan cita-cita yang menjadi landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesadaran tersebut atau yang lebih populer disebut nasionalisme dalam berbagai perspektifnya tidak pernah mengalami kehilangan relevansi untuk dibicarakan. Terlebih dalam situasi kekinian dimana luka bangsa ini belum sembuh dari keretakan parah yang ditandai dengan berbagai konflik, baik konflik antara elit dan masyarakat yang dipimpinnya, maupun antar sesama masyarakat. Hal ini diperparah oleh musibah yang silih berganti melanda negeri yang kita cintai ini (Husain, 2024). Saat kita memperingati 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia misalnya, Kabupaten Poso justru dilanda gempa bermagnitudo 5,8 dan menyebabkan puluhan korban luka-luka dan merusak bangunan termasuk gereja.
Oleh karena itu, di usia 80 tahun Indonesia pada Agustus 2025 ini hendaknya menjadi momentum yang sangat baik untuk merenungkan - meminjam kalimat Taufik Abdullah (1995) - harga yang harus dibayar bagi kemerdekaan ini. Tentu tidak kalah pentingnya adalah harga yang harus dibayar atas berbagai musibah yang menimpa bangsa Indonesia selama ini.
Selain itu, wacana kebangsaan telah menjadi ikon tersendiri dalam perbincangan tentang sejarah dan politik. Kenichi Ohmae misalnya dalam bukunya yang sangat terkenal: The End of The Nations State (1995) menulis bahwa era bangsa-bangsa telah berakhir karena revolusi teknologi informasi yang memungkinkan setiap perusahaan dapat beroperasi di setiap tempat di dunia tanpa harus membangun sistem bisnis lengkap dalam setiap negara. Jauh sebelum Ohmae melontarkan gagasannya tentang berakhirnya era negara bangsa, Karl Marx, lebih seabad lalu sudah berbicara tentang The withering away of the state (Cohen 1905-2005; Husain 2006).
Sementara itu, nasionalisme kata Lance Castles, menyerupai dewa Romawi Janus yang bermuka dua. Di satu pihak ia mengikat sebagian umat manusia dengan tali solidaritas atau bahkan cinta kasih yang baru, tetapi sekaligus menciptakan atau mempertegas garis pemisah antara ‘imagined community’ yang baru dengan siapa saja yang ‘dikhayalkan’ di luar batas garis pemisah yang bisa menjadi jurang permusuhan dan kebencian. Seperti diketahui bersama, ‘imagined community’ adalah konsep nasionalisme yang dikemukakan oleh seorang ahli Indonesia Benedict Anderson (1991) puluhan tahun lalu. Menurut Indonesianist ini, nasionalisme adalah ‘sesuatu yang dibayangkan’. Nasionalisme lahir bukan atas dasar ras, agama, atau daerah, karena mereka tidak mengenal satu sama lain. Akan tetapi, dalam benaknya masing-masing ada keterkaitan sebagai comradeship atau persaudaraan yang horisontal. Oleh karena itu, ketika diwawancarai oleh majalah Balairung beberapa tahun lalu seputar masalah ini, Anderson menegaskan bahwa nasionalisme adalah proyek bersama yang menjadi arah dan tujuan bersama. Proyek ini katanya, ditentukan oleh orang Indonesia sendiri dan tidak memperdulikan apakah dia orang Sunda, Jawa, Dayak atau yang beragama Islam, Hindu, dan sebagainya (Husain 2006).
Jika ditarik relevansinya dengan masyarakat Indonesia yang sangat plural, maka tesis atau ‘proyek nasionalisme’ yang diajukan oleh Ben Anderson tampaknya sangat berat dilakukan, namun tidak ada pilihan lain, kita harus melakukannya. Pada saat membicarakan tentang bangsa Indonesia, sangat sulit melepaskan fikiran kita dari spirit suku, ras, dan agama. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini spirit primordial tersebut mengalami perbenturan amat keras yang kadang-kadang membuyarkan harapan kita untuk menjadi sebuah bangsa yang bersatu: Indonesia (Husain 2006).
Kita tampaknya harus belajar banyak dari sejarah perkembangan nasionalisme Indonesia. Akar nasionalisme harus ditelusuri pada proses demokratisasi yang terjadi seiring dengan munculnya kelas sosial baru di dalam masyarakat dan rasionalisasi terhadap ikatan primordial pada akhir abad XIX dan awal abad XX yang telah menimbulkan sebuah kesadaran baru di dalam masyarakat. Kita harus belajar misalnya pada kerelaan dan keinginan Kartini sebagai ‘orang Jawa’ agar kesempatan bea siswa ke Belanda yang diberikan kepadanya digantikan oleh Agus Salim yang ‘orang Minangkabau’. Dari peristiwa ini, tampak bahwa kesadaran diri sebagai sesama warga Hindia Belanda telah tumbuh yang kemudian menjadi dasar bagi kesadaran tentang bangsa Indonesia (Husain 2006).
Pembelajaran kita dari sejarah tentunya harus juga tetap dibarengi oleh sebuah kesadaran bahwa keanekaragaman bangsa Indonesia juga mengundang potensi konflik yang bila mendapat tempat persemaian akan meledak dan membuyarkan komitmen kebangsaan kita. Hal ini misalnya berbeda dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand yang secara etnik dan agama relatif lebih homogen. Ketiga negara tersebut setelah melewati periode otoritarian yang cukup panjang, tetap mampu mempertahankan komitmen kebangsaan mereka. Bahkan ketiga negara itu mengalami lompatan yang cukup jauh dengan berjalannya proses demokrasi. Tidak heran jika Gus Dur (saat masih menjabat sebagai presiden) ketika menerima gelar doktor honoris causa pada awal masa pemerintahannya di Universitas Thammasat Thailand, mengungkapkan keinginannya untuk belajar demokrasi dari negeri gajah putih tersebut (Husain 2006).
Pertanyaannya kemudian adalah sarana apa yang dapat dipakai dan efektif untuk membangun kesadaran berbangsa di tengah dinamika etnik dan agama yang begitu besar. Menurut hemat saya, pendidikan adalah sarana yang sangat penting untuk menumbuhkan sikap nasionalisme, demokrasi, dan penghargaan atas pluralisme. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang melakukan misi pembinaan daya intelektual dan pembinaan daya moral secara berimbang. Hal ini harus ditekankan karena kalangan intelektual adalah golongan yang paling mudah terkontaminasi berbagai virus, termasuk virus hegemoni yang ditebarkan oleh negara(Husain 2006).
Dalam wacana sekarang – meminjam istilah Kristanto – intelektual sering disebut kelompok kelas menengah dengan gaya hidup yang mencolok. Merek tidak mau turun ke bawah karena mereka tidak mau digolongkan “masyarakat bawah” namun mereka juga belum kelas elite. Oleh karena itu, yang tampak dalam raut-raut wajah mereka adalah kesombongan. Sikap ambigu ini menjadi mangsa yang paling mudah dijangkau oleh tangan-tangan kekuasaan karena kemampuan intelektual mereka tidak menjadikannya kritis, namun lebih cenderung untuk mencari aman dan ketenteraman pribadi (Kristanto 1997: 35; Husain 2006).
Tidak pelak lagi, intelektual semacam inilah yang gemar mengaduk-aduk dan menyebarkan kebencian di antara sesama masyarakat Indonesia yang sangat plural ini. Mereka tidak menjadi agen perbaikan masyarakat, tetapi menjadi pusat rujukan konflik dan perpecahan. Jika ini yang terjadi maka pendidikan menjadi penyumbang utama bagi hancurnya impian dan harapan kita untuk membangun bangsa yang “besar” dan beradab. Akan tetapi, jika pendidikan taat pada misinya maka saya yakin akan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang tidak pernah mengkhianati tanah air dan bangsanya seperti yang dicontohkan oleh Ki Hajar Dewantara (Husain 2006).
Pentingnya Wawasan Kebangsaan, Kepemimpinan, & Integrasi
Bertitik tolak dari paparan di atas, maka kita sangat memerlukan sebuah wawasan kebangsaan dalam membangun dan memajukan sebuah bangsa. Wawasan kebangsaan tersebut dapat: 1) Meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang identitas kebangsaan; 2)Membangun rasa persatuan dan kesatuan di antara masyarakat; dan 3) Mengarahkan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Wawasan kebangsaan juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, masyarakat dapat lebih mudah memahami dan menghayati nilai-nilai kebangsaan, sehingga dapat lebih bersemangat dalam membangun dan memajukan bangsa.
Namun demikian, untuk mewujudkan cita-cita di atas, diperlukan seorang pemimpin yang mampu mengarahkan sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat. Seorang pemimpin yang baik mestinya mampu: 1) Mengarahkan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama; 2) Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan; dan 3) Membangun kepercayaan dan kredibilitas di antara masyarakat. Sementara itu, kepemimpinan yang efektif juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan hadirnya seorang pemimpinan yang kuat dan visioner, masyarakat dapat lebih mudah memahami dan menghayati tujuan dan arah pembangunan, sehingga dapat lebih bersemangat dalam membangun dan memajukan bangsa.
Kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan Pancasila yang berdasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Pancasila. Kepemimpinan tersebut menekankan pada pentingnya musyawarah, mufakat, dan keadilan sosial. Seorang pemimpin yang memiliki jiwa Pancasila akan memimpin dengan bijak, adil, dan berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara.
Kenyataan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, maka seorang pemimpin juga harus mampu mennggerakkan sebuah proses integrasi atau mampu mempersatukan berbagai elemen masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Kemampuan melaksanakan proses integrasi tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan kata lain, integrasi sangat penting dalam membangun dan memajukan sebuah bangsa. Akan tetapi, tantangannya adalah seorang pemimpin yang akan melaksanakan proses integrasi terlebih dahulu harus mempunyai integritas yang kuat.
Integritas adalah salah satu nilai yang sangat penting dalam kehidupan pribadi dan profesional. Dalam berbagai aspek kehidupan, integritas menjadi landasan utama untuk membangun kepercayaan, kredibilitas, dan reputasi yang baik. Kalau demikian halnya, maka apa yang dimaksud dengan integritas? Integritas adalah keselarasan antara kata dan perbuatan, atau antara niat dan tindakan. Seseorang yang memiliki integritas adalah orang yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan hal-hal yang benar, jujur, dan adil, serta bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Integritas juga mencakup konsistensi dalam perilaku dan keputusan, serta kemampuan untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya. [Di kampus: jika kita tidak bisa mendidik mahasiswa untuk pintar, setidaknya kita mengajarkan kepada mereka agar memiliki integritas].
Epilog
Wawasan kebangsaan atau kesadaran berbangsa, kepemimpinan (leadership), dan integrasi memiliki hubungan yang sangat erat dalam membangun dan memajukan sebuah bangsa. Wawasan kebangsaan dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang identitas kebangsaan, kepemimpinan dapat memimpin dan mengarahkan masyarakat, sedangkan integrasi dapat mempersatukan berbagai elemen masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Dengan memahami dan mengimplementasikan wawasan kebangsaan, kepemimpinan, dan integrasi, kita dapat membangun dan memajukan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju, sejahtera, serta berdaulat.
Referensi
Abdullah, Taufik (1995). ‘Kalau Bung Karno mau kaya raya’ Dalam Jawa Pos 23 Maret.
Abdullah, Taufik (1995).‘Pengalaman, kesadaran, dan sejarah’ Pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Anderson, Benedict R. O’G. (1991). Imagined communities, reflections on the origins and spread of nationalism. Edisi Kedua. London: Verso [edisi pertama 1983].
Cohen, G.A. (1905-2005). Karl Marx’s theory of history: A defence. Princeton: Princeton University Press.
Husain, Sarkawi B. (2006). “Sebuah Catatan Kecil tentang Negara, Nasionalisme, dan Demokrasi. Karakter Bangsa”. Jurnal Ilmiah Kebangsaan dan Keindonesiaan, Unair, Vol.1,No. 2.
Husain, Sarkawi B. (2024). “Surabaya, Kota Pergerakan, Kota Revolusi, dan Amnesia Sejarah”. Pidato disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Revolusi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga di Surabaya, 17 Desember.
Kristanto, Dedy (1997). ‘Raibnya Suara Intelektual’ dalam BASIS, No. 09-10 Tahun ke-46, September-Oktobe 1997, hlm. 28-37.
Ohmae, Kenichi (1986). The end of the nation state: The rise of regional economics. Paperbook. The Free Press.
Soetrisno, Loekman (1985). ‘Massa Periferal di Pedesaan Indonesia: Dimensi Ekonomi Politik’ dalam PRISMA No. 03, 1985, Th. XIV, hlm. 28-37.
Tim Puspar (2004). Wawasan budaya untuk pembangunan: Menoleh kearifan lokal. Yogyakarta: Pilar Politika.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
