Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image barata nusantara

Menimbang Isu Amnesti, Abolisi, dan Serangan Siber di Era Presiden Prabowo

Politik | 2025-08-18 10:10:43

Demokrasi, Hukum, dan Persepsi Publik

Sejak awal pemerintahannya, Presiden Prabowo dihadapkan pada narasi yang gencar di ruang publik digital. Isu yang paling santer adalah pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong. Sebagian pihak buru-buru menilai langkah ini sebagai bentuk “perlindungan koruptor”. Namun bila kita kembali ke konstitusi, jelas disebutkan: Presiden berhak memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR (UUD 1945 Pasal 14 ayat 2). Artinya, keputusan ini bukan kehendak sepihak, melainkan proses yang mendapat legitimasi politik.

Hasto adalah sekjen partai, bukan pejabat negara, sehingga tuduhan pidana politik yang menjeratnya masih jauh dari pembuktian hukum. Tom Lembong pun menjalankan kebijakan fiskal dalam konteks koordinasi dengan Presiden terdahulu. Bila pengadilan sendiri tak berani memanggil Presiden ke-7 sebagai saksi kunci, maka tuduhan menjadi pincang. Presiden Prabowo dalam hal ini memilih prinsip Jawa: mikul dhuwur, mendhem jero — menghormati dan melindungi simbol negara yang pernah ada.

Pajak: Salah Kaprah Menyasar Presiden

Isu lain yang tak kalah keras adalah soal “pajak mencekik”. Komentar di jagad maya menggiring opini seolah kenaikan pajak adalah kebijakan langsung Presiden Prabowo. Padahal, faktanya banyak kenaikan terjadi karena Peraturan Daerah (Perda) yang disahkan DPRD kabupaten/kota sejak era Presiden Jokowi. Contoh Cirebon dengan kenaikan drastis hingga 1000% terjadi jauh sebelum 2025. Ironisnya, hanya kabupaten tertentu yang masih aman saat ini, sementara daerah lain mulai merasakan dampak regulasi lama.

Di sini terlihat jelas ada distorsi informasi: publik tidak dibekali pemahaman tentang perbedaan kewenangan pajak pusat dan daerah. Akibatnya, Presiden baru dijadikan kambing hitam.

Fenomena “Buzzer” dan Perang Algoritma

Tidak bisa dipungkiri, ruang digital Indonesia kini dipenuhi akun yang seolah-olah terorganisir. Setiap unggahan positif tentang program Presiden Prabowo segera diserbu komentar negatif. Pola ini menunjukkan sinkronisasi: teks serupa, waktu posting berdekatan, dan akun-akun dengan karakter mencurigakan. Secara teori komunikasi politik, ini disebut astroturfing: gerakan buatan yang dipoles seakan suara rakyat.

Tujuannya bukan sekadar menyampaikan kritik, melainkan mendelegitimasi pemerintah sejak awal, membangun persepsi bahwa setiap kebijakan selalu salah. Ironis, karena praktik serupa di masa lalu justru tidak diarahkan pada kasus besar yang tak pernah tersentuh selama satu dekade, seperti mafia hukum atau kasus korporasi besar.

Evaluasi Internal: Kebutuhan Mendesak

Harapan saya sebagai aktivis mahasiswa, Presiden Prabowo perlu lebih tegas menata ulang struktur internal:

Evaluasi komisaris BUMN, wakil menteri, bahkan pejabat eselon yang masih loyal pada kekuasaan lama.

Pastikan anggaran negara tidak diselewengkan untuk mendanai “buzzer” yang bekerja menyerang pemerintahannya sendiri.

Perkuat basis komunikasi publik dengan data transparan: tunjukkan dokumen hukum amnesti/abolisi, peta kewenangan pajak, serta capaian program faktual.

Penutup: Politik yang Adil, Demokrasi yang Sehat

Presiden Prabowo berada di persimpangan penting: antara melanjutkan tradisi politik transaksional atau membangun era baru yang transparan. Amnesti dan abolisi bukan semata-mata pembebasan, melainkan strategi untuk menutup konflik politik lama. Namun langkah ini akan sia-sia bila ruang digital dibiarkan dikuasai orkestrasi buzzer.

Sebagai bagian dari generasi muda, saya percaya: kritik harus tetap ada, tapi harus berbasis data dan kebenaran hukum, bukan rekayasa algoritma. Pemerintah pun harus terbuka, konsisten, dan berani membersihkan lingkarannya sendiri. Hanya dengan begitu, demokrasi kita bisa tumbuh sehat tanpa harus terjebak pada polarisasi lama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image