Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ariefdhianty Vibie

Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme: Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki

Kolom | 2025-08-12 14:34:01
potret kemiskinan, sumber gambar: freepik

Oleh: Irma Dharmayanti (Aktivis Muslimah Bandung)

Pada 25 Juli 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2025 turun menjadi 8,47% atau 23,85 juta orang, dari 8,57% pada September 2024. Kemiskinan ekstrem pun disebut turun menjadi 0,85% atau sekitar 2,38 juta orang. Sekilas, ini terdengar seperti kabar baik. Namun, ketika melihat standar garis kemiskinan yang dipakai, optimisme itu segera berubah menjadi tanda tanya besar.

BPS menetapkan garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau setara Rp20.305 per hari. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa angka ini naik 2,34% dibanding September 2024. Di kota, garis kemiskinan lebih tinggi yakni Rp629.561 per bulan, sementara di desa Rp580.349 per bulan.

Dari sisi komponennya, pengeluaran makanan mendominasi 74,58% pembentukan garis kemiskinan, sedangkan kebutuhan bukan makanan—seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan—hanya 25,42%. Artinya, status miskin atau tidaknya seseorang lebih banyak diukur dari apakah ia bisa makan, bukan dari apakah ia punya rumah layak, pendidikan memadai, atau akses kesehatan yang baik.

Metode ini menuai kritik. Menurut CNN Indonesia (25/07/2025), garis kemiskinan BPS masih mengacu pada Purchasing Power Parity (PPP) 2017 Bank Dunia sebesar USD 2,15 per hari—angka yang sangat rendah untuk mengukur kesejahteraan masyarakat Indonesia saat ini. Tirto.id (26/07/2025) mengutip Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, yang menegaskan bahwa standar tersebut tidak mencerminkan realita, apalagi di tengah gelombang PHK dan tingginya biaya hidup perkotaan.

Fenomena ini semakin ironis ketika melihat kasus Indramayu. Berdasarkan laporan BeritaSatu (28/07/2025), kabupaten ini adalah penghasil padi dan garam terbesar di Indonesia, namun tetap menjadi salah satu daerah termiskin di Jawa Barat. Potensi pertanian dan kelautan yang melimpah tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga. Harga jual komoditas rendah, biaya produksi tinggi, dan keuntungan justru dinikmati perantara, bukan petani.

Bahkan, BeritaSatu (29/07/2025) melaporkan bahwa tingkat pengangguran laki-laki di perkotaan meningkat, menjadi salah satu penyebab bertambahnya kemiskinan di wilayah urban. Hal ini memperlihatkan bahwa penurunan kemiskinan di atas kertas tidak sejalan dengan kondisi sosial-ekonomi di lapangan.

Inilah wajah asli sistem ekonomi kapitalisme—angka kemiskinan bisa dibuat turun dengan mengubah definisi, bukan dengan memperbaiki kualitas hidup rakyat. Negara dalam sistem ini lebih berperan sebagai pengelola data dan fasilitator pasar bebas, bukan penjamin kebutuhan dasar rakyat. Akar kemiskinan terletak pada jurang kesenjangan yang diciptakan kapitalisme: kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite, sementara mayoritas rakyat berjuang sekadar untuk bertahan hidup.

Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam memandang kesejahteraan bukan dari nominal rupiah atau garis kemiskinan internasional, melainkan dari terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyat secara layak. Negara bertanggung jawab penuh atas pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sumber daya alam tidak diprivatisasi, melainkan dikelola untuk kemaslahatan umum. Distribusi kekayaan diatur agar tidak menumpuk pada satu kelompok saja seperti tercantum dalam QS Al-Hasyr ayat 7.

Kapitalisme mungkin bisa membuat grafik kemiskinan terlihat indah, tetapi Islam memastikan perut rakyat benar-benar terisi. Bedanya jelas, kapitalisme mengejar angka tinggi, tetapi Islam memuliakan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image