Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Maryam Sakinah

Kasus Pelecehan Anak di Bondowoso, Ironi di Balik Penghargaan Kota Layak Anak

Kolom | 2025-08-11 17:31:53
image credit: pixabay.com

Bondowoso baru saja menerima penghargaan Kabupaten Layak Anak (KLA) Peringkat Nindya 2025. Piagam diserahkan langsung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi kepada Bupati Abdul Hamid Wahid di Jakarta, 8 Agustus lalu.

Penghargaan KLA diberikan kepada daerah yang memenuhi sejumlah indikator ramah anak, mulai dari pemenuhan hak sipil, lingkungan keluarga, kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan khusus. Bupati Abdul Hamid Wahid menyebut capaian ini hasil kerja bersama pemerintah daerah, masyarakat, dunia usaha, sekolah, dan pegiat perlindungan anak.

Akan tetapi, di saat euforia prestasi itu masih berlangsung, di salah satu desa di Kecamatan Maesan, terungkap kasus pelecehan anak oleh ayah kandung yang terjadi selama tujuh tahun. Sang anak yang kini berusia 20 tahun, mengaku mendapat pelecehan seksual sejak duduk di bangku kelas VII SMP. Kasus baru terungkap ketika korban menceritakan kasusnya kepada sang ibu yang menjadi TKW di Malaysia.

Kasus ini kini dalam proses penyelidikan kepolisian. Di sisi lain, Dinas Sosial dan P3AKB Bondowoso mendampingi korban yang mengalami trauma berat.

Paradoks Kapitalisme

Kedua fakta ini menunjukkan paradoks perlindungan anak dalam sistem kapitalisme. Bagaimana bisa sebuah kabupaten mendapatkan penghargaan kota layak anak, tetapi di saat yang sama, ada anak mengalami pelecehan oleh ayah kandungnya sendiri. Ini sungguh ironis.

Akan tetapi, bila ditelisik kriteria-kriteria sebuah kabupaten layak anak, maka akan didapati bahwa penghargaan ini sebatas pencapaian administratif saja. Selain itu, penilaiannya hanya berdasarkan indikator-indikator kuantitatif, seperti persentase pernikahan di bawah usia 18 tahun, ketersediaan lembaga konsultasi pengasuhan anak, angka kematian bayi, prevalensi kekurangan gizi, jumlah sekolah ramah anak, pelatihan, dan fasilitas publik ramah anak. Angka-angka ini tentu mudah didapat dan mudah pula dipamerkan.

Artinya, kemenangan ini tidak otomatis memberi jaminan keamanan pada anak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan kehidupan anak di ruang publik, bahkan di ruang-ruang privat anak bersama keluarganya pun, keamanan dan kenyamanan itu sulit didapatkan oleh mereka. Anak-anak tetap dihantui rasa waswas oleh ulah orang dewasa di sekitarnya, bahkan oleh ayah kandungnya sendiri.

Ironisnya, celah perlindungan atas anak-anak ini berakar dari struktur sosial ekonomi yang dibentuk oleh sistem kapitalisme juga. Ketika ekonomi rumah tangga rapuh, perempuan mulai meninggalkan perannya sebagai ibu. Ia turut terjun ke sektor publik demi menopang perekonomian keluarga. Pada saat itu, pola pengasuhan perlahan melemah dan ikatan keluarga sering kali bergantung pada kondisi finansial semata.

Situasi ini menciptakan lingkungan yang rawan, di mana anak-anak dapat terjebak dalam kekerasan tanpa ada pengawasan yang memadai. Kontrol sosial melemah karena privasi keluarga ditempatkan di atas keselamatan anak. Penegakan hukum pun bersifat reaktif, baru berjalan setelah korban mengalami penderitaan bertahun-tahun.

Kondisi ini menunjukkan bagaimana kapitalisme memisahkan kebijakan perlindungan anak dari sistem nilai yang menyeluruh. Seharusnya, program perlindungan anak menjadi prioritas anggaran dan kebijakan sebab anak-anak inilah pemegang estafet peradaban. Namun, bila yang terjadi sebaliknya, sebuah kabupaten hanya tampak baik di atas kertas, sementara pelecehan terhadap anak oleh keluarga terdekatnya masih terus terjadi tanpa pencegahan sistemis.

Perlindungan Anak dalam Islam

Dalam perspektif Islam, perlindungan anak bukan sekadar proyek atau program perlombaan yang diukur dengan angka-angka statistik. Ia adalah kewajiban syar’i yang lahir dari penerapan sistem hidup yang menyeluruh. Dalam masyarakat yang diatur oleh syariat, negara tidak hanya mencatat angka kemiskinan, tetapi menutup akar-akar kemiskinan itu. Negara tidak hanya membuat seperangkat regulasi, tetapi memastikan pengawasan dan penegakan hukum berjalan preventif, bukan sekadar reaktif. Halal dan haram menjadi landasannya.

Selain itu, Islam menempatkan keluarga dan negara sebagai benteng perlindungan anak yang kokoh. Ayah sebagai kepala keluarga dan sosok pencari nafkah, sedangkan ibu sebagai madrasatun ulaa dan rabbatul bait. Bila peran ayah dan ibu ini tetap ada di jalurnya, niscaya roda perjalanan rumah tangga akan baik-baik saja.

Negara menjamin kebutuhan ekonomi keluarga dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya dan memutuskan rantai eksploitasi tenaga kerja wanita. Negara juga memastikan pendidikan dengan kualitas terbaik demi terbentuknya sosok-sosok yang berkepribadian Islam berjalan di setiap lini kehidupan.

Penutup

Paradoks antara penghargaan KLA dan kasus pelecehan anak di Bondowoso adalah potret nyata rapuhnya sistem kapitalisme yang hanya menghitung angka, tetapi gagal menyentuh akar masalah. Islam Kaffah menawarkan solusi yang menyeluruh dengan mengukuhkan keluarga, menutup celah kemiskinan, dan menegakkan hukum secara preventif dan tegas. Perlindungan anak bukan sekadar slogan atau lomba, melainkan amanah peradaban. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara total, amanah itu dapat terwujud. Wallahu'alam bisshawab []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image