Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hardiansyah Padli

Literasi Etika Lingkungan yang Perlu Diperkuat

Edukasi | 2025-08-10 14:01:47
Foto: Dok Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf

Etika lingkungan bukanlah konsep rumit. Ia sesederhana bagaimana kita memperlakukan tempat tinggal kita. Bukan hanya milik akademisi atau aktivis, etika lingkungan adalah seruan nurani: sejauh mana kita sadar akan dampak dari setiap keputusan yang kita buat, baik sebagai individu, korporasi, maupun pembuat kebijakan.

Sayangnya, saat ini kita sedang menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Data dari WALHI menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia bisa mencapai 600 ribu hektare pada tahun 2025. Itu bukan hanya angka. Itu berarti pohon-pohon yang tumbang, hutan yang hilang, hewan-hewan yang kehilangan habitat, dan masyarakat yang hidupnya bergantung pada alam yang kini terancam

Hukum dan Pertumbuhan yang Menggerus Hutan

Lebih mengkhawatirkan, kerusakan itu seringkali dilegalkan. Celah hukum membuka jalan bagi perusahaan untuk mengeksploitasi hutan lindung dan kawasan konservasi atas nama pertumbuhan ekonomi. Ketika hukum hanya menjadi alat bagi keuntungan jangka pendek, maka etika lingkungan tak lagi memiliki tempat berdiri.

Padahal, membangun negeri seharusnya tidak melulu soal naiknya angka-angka ekonomi. Pembangunan yang sejati adalah yang menjaga keseimbangan—antara pertumbuhan dan kelestarian, antara hari ini dan hari esok. Kita tidak bisa hanya mengejar laba, tanpa memikirkan warisan seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk anak dan cucu kita kelak.

Alam bukan sekadar sumber daya yang bisa dikuras. Ia adalah jaringan kehidupan yang saling terhubung. Tanah yang subur, udara yang bersih, air yang mengalir, dan semua makhluk hidup—semuanya saling bergantung. Ketika satu bagian rusak, bagian lain akan ikut terganggu. Itu sebabnya menjaga lingkungan bukan pilihan, tapi tanggung jawab.

Perubahan Dimulai dari Langkah Kecil

Perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil. Sesederhana membawa tas belanja sendiri, mengurangi konsumsi plastik, menggunakan transportasi publik, atau tidak membuang sampah sembarangan. Mungkin terlihat sepele. Tapi ketika jutaan orang melakukannya bersama-sama, dampaknya luar biasa.

Namun tentu, tidak cukup hanya berhenti pada tindakan individu. Kita butuh sistem yang mendukung. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang berpihak pada kelestarian, meski tidak selalu populer secara ekonomi. Perusahaan harus menyadari bahwa tanggung jawab sosial mereka bukan hanya slogan, tapi komitmen nyata terhadap masyarakat dan alam.

Sekolah dan universitas juga punya peran penting. Pendidikan harus menanamkan bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tugas tambahan, melainkan bagian dari karakter manusia yang utuh. Anak-anak kita harus belajar sejak dini bahwa mereka adalah bagian dari bumi, bukan pemiliknya yang bisa berbuat semaunya.

Belajar dari Masyarakat Adat

Kita pun bisa belajar banyak dari masyarakat adat. Di banyak tempat, mereka telah hidup selaras dengan alam selama ratusan tahun. Di Minangkabau, misalnya, ada pepatah “alam takambang jadi guru”—yang artinya alam adalah guru sejati. Mereka tidak hanya melihat alam sebagai tempat tinggal, tapi juga sebagai sumber nilai, pengetahuan, dan kebijaksanaan.

Sayangnya, pandangan seperti ini kini makin terpinggirkan. Di tengah arus modernisasi dan ambisi pertumbuhan, nilai-nilai kearifan lokal sering kali dianggap usang. Padahal, di sanalah tersimpan banyak solusi yang lebih berkelanjutan daripada pendekatan teknokratis yang kita anut saat ini.

Etika lingkungan bukan sekadar aturan. Ia adalah cara pandang yang harus menjadi dasar setiap kebijakan, setiap keputusan, dan setiap langkah kita. Kita tidak bisa terus-menerus bereaksi setelah bencana terjadi. Sudah waktunya kita bertindak sebelum terlambat, dengan visi jangka panjang yang lebih bijak.

Warisan yang Kita Tinggalkan

Mari kita renungkan: warisan apa yang sedang kita bentuk? Apakah nanti anak-anak kita hanya akan mengenal hutan dari foto-foto lama? Apakah mereka hanya akan tahu tentang sungai yang jernih dari cerita sebelum tidur? Jika hari ini kita terus menutup mata, besok mungkin sudah terlambat untuk menyesal.

Menjaga lingkungan bukanlah tugas orang lain. Ia adalah panggilan untuk kita semua—untuk lebih peka, lebih peduli, dan lebih berani dalam memilih yang benar. Karena pada akhirnya, bumi ini bukan hanya tempat kita berdiri. Ia adalah rumah yang harus kita jaga bersama.

Dan rumah, seperti yang kita tahu, bukanlah tempat yang kita abaikan. Ia adalah tempat yang kita rawat, kita cintai, dan kita pertahankan untuk mereka yang datang setelah kita. Maka mari mulai hari ini, dari diri sendiri, dari langkah kecil, menuju perubahan besar yang penuh makna.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image