Menafsir Makna Logika Mistika
Humaniora | 2025-08-10 09:04:34
"Rasionalitas membimbing dan membawa kita menuju peradaban modern, tapi seringkali kita lupa bahwa mistika berbicara tentang rasa, dan science tidak akan pernah sampai pada hal itu"
Kita hidup dalam satu bangsa yang penuh dengan warisan budaya, yang tertinggal dan turut serta di dalamnya berbagai macam produk berbentuk moral, etika, hingga kisah yang sekilas tak nyata, terbungkus dalam realitas intersubjektif yang terus menggema meski perlahan tergilas modernitas. Perlahan kepercayaan tradisional mulai terbuang, terabaikan, dan mungkin suatu saat nanti benar-benar menjadi mati. Manusia modern mulai latah dan seringkali tak peduli, bagaimana satu makna tak terlihat mungkin saja terpendam dan tersirat dalam kisah-kisah kuno yang melibatkan entah entitas berwujud seperti apa, hingga kita mencerca, menertawakan, dan mulai menghancurkan keyakinan semacamnya, berlindung dibalik dalih rasionalitas dan mulai mencela semua yang dianggap sebagai “logika mistika”.
Agama, mitos, legenda atau bahkan negara semuanya tidaklah nyata secara biologis, pengalaman spiritual melihat hal-hal mistik tak akan pernah bisa sejalan dengan pengetahuan science, itulah realitas intersubjektif. Realitas yang muncul dari kesepakatan bersama, turun-temurun diwariskan lintas generasi dalam bentuk produk budaya, tak nyata, tapi kita telah sepakat untuk percaya.
Kepercayaan semacam ini tidaklah muncul dari meja-meja laboratorium, atau kelas megah universitas, dia muncul dari kesadaran manusia, membawa serta fungsi sosial yang sebenarnya sangat bermakna. Mitos misalnya, dalam pemahaman harfiah eksistensinya tak akan pernah ditemukan, tak masuk dalam akal manusia modern bagaimana buaya putih akan muncul jika kita menjamah satu sungai keramat —misalnya, tapi bagaimana kalau kita maknai lebih dalam dan ternyata maksud di baliknya adalah mengatur cara manusia menghormati alam, dan upaya untuk menghindarkan dari sifat serakah dan merusak, atau mungkin kisah tentang makhluk raksasa di balik pohon di suatu sumber mata air, yang ternyata cara leluhur kita menjaga air itu tetap abadi sepanjang musim. Begitulah cara logika mistika bekerja di masyarakat selama ini.
Kebudayaan kita, pada mulanya tidaklah mengenal tetek bengek science atau teori-teori ilmiah, kita menggunakan berbagai macam kepercayaannya dan cerita untuk menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja, serta bagaimana manusia mengimani dan mengatur tata krama di hadapan alam. Inilah teknologi sosial, atau mungkin science tradisional, melalui simbol dan maknalah pengetahuan di turunkan, menjadi cara ampuh untuk mengawasi tanpa CCTV atau polisi, namun melalui rasa hormat dan kebijaksanaan.
Dulu saya begitu keras menentang, bahkan mencela tentang apa itu logika mistika, latah percaya semua hal di dunia harus berdasar science dan pengetahuan modern, sebelum akhirnya sadar dan kembali membuka tentang makna dan hakikatnya. Kembali teringat tentang gagasan dekonstruksi Derrida, tentang bagaimana benar dan salah tidak dibatasi oleh satu garis permanen, dan bagaimana melihat kebenaran bukan sebagai satu entitas yang absolut, selalu ada benar di antara salah dan selalu ada salah diantara benar. Ketimbang mendebat dan mematahkan warisan pemikiran ini, saya lebih suka untuk memaknainya dengan nurani, semua hanyalah masalah sudut pandang pengetahuan saja, dan mulai melihatnya sebagai pesan dari leluhur yang mengharap kita selalu santun di hadapan semesta.
Rasionalitas membimbing dan membawa kita menuju peradaban modern, tapi seringkali kita lupa bahwa mistika berbicara tentang rasa, dan science tidak akan pernah sampai pada hal itu. Jika ia membawa manusia menjadi lebih sopan, arif, dan bijaksana maka perlu kita rawat secara kritis, tak ada yang perlu ditertawakan atau bahkan dicela, karena yang perlu diubah bukan mitosnya, tapi cara kita memahaminya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
