Ilusi Memberantas Kemiskinan Ala Kapitalis
Politik | 2025-08-08 11:00:47
Oleh D. Budiarti Saputri
Tenaga Kesehatan
Pemerintah sepertinya ingin menampakkan “angin segar” kepada masyarakat Indonesia, yakni dengan cara mengeluarkan pernyataan bahwa tingkat kemiskinan menurun di negeri ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen dan September 2024, menjadi 8,47 persen. BPS melakukan survei terhadap 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia pada Februari 2025 lalu. Survei tidak dilakukan pada Maret, sesuai jadwal yang seharusnya, karena bertepatan dengan Bulan Ramadan. Biasanya pada Bulan Ramadan konsumsi rumah tangga meningkat dibandingkan bulan-bulan lainnya. Rumah tangga dengan jumlah pengeluaran Rp609.160 per kapita per bulan (garis kemiskinan Maret 2025), atau sekitar Rp20.000 per hari, digolongkan sebagai penduduk miskin.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, meragukan rilis angka kemiskinan oleh BPS yang dinyatakan menurun. Garis kemiskinan Rp609.160 per kapita per bulan dinilai "terlalu rendah". Perbedaannya terlalu jauh dengan upah minimum di tiap provinsi (UMP), menurut Esther. UMP tertinggi ada di Jakarta dengan nilai Rp5,3 juta, sedangkan yang terendah ada di Jawa Tengah dengan Rp2,16 juta. Dikutip dari www.bbc.com (25/7/2025).
Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim angka kemiskinan turun, padahal banyak terjadi PHK di mana-mana. BPS juga mengubah garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar sekitar Rp20.305 per hari. Angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tapi faktanya standar garis kemiskinan juga rendah (masih mengadopsi PPP (Purchasing power parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000/hari). Ini manipulasi statistik untuk menunjukkan progres semu. Sistem Kapitalisme lebih peduli pada citra ekonomi ketimbang realitas penderitaan rakyat.
Akar kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tetapi pada sistem ekonomi Kapitalisme yang menciptakan jurang antara Si kaya dan Si miskin. Kekayaan menumpuk di segelintir elite, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit.
Alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, negara dalam sistem kapitalis hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan pun tak pernah menyentuh akar masalah, sebab sistem ekonomi yang cacat dan menindas.
Dalam sistem Khilafah, negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat: pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, yang tanpa syarat pasar. Sumber daya alam dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan dikomersialkan.
Khilafah tidak mengukur kemiskinan dari angka PPP buatan lembaga internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak. Oleh karena itu sudah seharusnya negara mengganti sistem kapitalis dengan sistem Islam. Agar terwujud kesejahteraan, keamanan, dan keadilan bagi seluruh rakyat, muslim dan non muslim.
Wallahualam bissawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
