Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hardiansyah Padli

Tambang dan Erosi Etika Kekuasaan

Politik | 2025-08-07 08:45:54
ILUSTRASI Penampakan lubang tambang batu bara di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, tepatnya di Kelurahan Teluk Dalam, Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. | Dokumen Jatam Kaltim

Di balik sumber pendapatan negara dari sektor pertambangan, tersembunyi realitas yang tak dapat dibantah: ada banyak warga yang hidup dalam garis kemiskinan di sekitar tambang. Problematika mereka dari kehilangan akses terhadap air bersih, hingga perusakan ruang hidup. Padahal, wilayah-wilayah tersebut yang seharusnya lebih dahulu merasakan manfaat langsung dari pengelolaan sumber daya alam.

Situasi ini tidak dapat dianggap kebetulan, melainkan isyarat dari krisis etika dalam tata kelola kekuasaan kita. Negara, yang secara konstitusional didelegasikan untuk mengelola kekayaan alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seringkali terlihat menjalankan fungsi tersebut mengaburkan nilai-nilai keadilan sosial dan ekologis. Ketika kekuasaan dijalankan tanpa dasar etika, maka pembangunan hanya akan membuahkan ketimpangan, bukan kemajuan yang berkelanjutan.

Sumber daya alam tidak sebatas komoditas ekonomi. Ia adalah bagian dari kehidupan yang menyatu dengan ekosistem sosial dan budaya masyarakat. Maka, pengelolaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral, tanggung jawab antar generasi, dan penghargaan atas hak-hak masyarakat lokal.

Ironisnya, di banyak daerah, tata kelola tambang justru mempertontonkan keadaan yang sebaliknya. Berbagai laporan dari organisasi masyarakat sipil memperlihatkan bagaimana izin tambang diberikan secara serampangan, acap kali tanpa konsultasi yang bermakna dengan masyarakat lokal. Di sejumlah wilayah, konflik lahan akibat dari irisan wilayah konsesi, intimidasi masyarakat lokal, serta kerusakan ekologis menjadi pola berulang dari tata kelola tambang yang meminggirkan etika publik.

Revisi Undang-Undang Minerba tahun 2020 menjadi fase krusial yang menunjukkan perubahan tujuan kebijakan negara. Revisi ini memperlebar kewenangan pemerintah pusat dalam pemberian izin dan diduga melanggengkan posisi korporasi dalam eksploitasi tambang. Namun, yang dipinggirkan ialah bagaimana kebijakan tersebut berpengaruh terhadap hak hidup masyarakat lokal, keberlanjutan ekosistem dan legitimasi negara di mata publik.

Catatan empirik kerusakan lingkungan akibat tambang terpampang secara nyata. Menurut WALHI, lebih dari 3.000 desa pesisir telah terdampak pencemaran akibat limbah tambang, dengan sekitar 35.000 keluarga nelayan mengalami langsung. Pembangunan smelter di berbagai tempat menghasilkan limbah beracun yang merusak sumber air dan udara. Puluhan pulau kecil telah masuk dalam perencanaan wilayah pertambangan, mengancam ekosistem laut serta keberlanjutan hidup komunitas adat dan lokal.

Krisis seperti ini mengisyaratkan bahwa telah terjadi pemisahan antara pengambilan keputusan politik dengan tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Kebijakan tentang pengelolaan tambang kerap kali didasarkan atas pertimbangan ekonomi jangka pendek, mengaburkan dimensi keberlanjutan dan keadilan distribusi. Imbasnya, pembangunan yang seharusnya menjadi ruang kolektif justru memunculkan jurang antara kelompok penerima manfaat dan kelompok terdampak.

Realitas ini menegaskan bahwa negara tidak boleh terus menerus berbuat setelah krisis terjadi; kebijakan antisipatif menjadi keharusan. Negara harus mereformulasi hubungan dengan rakyat dan sumber daya alam secara lebih baik dan bertanggung jawab. Legitimasi pemerintahan tidak cukup dibangun melalui pertumbuhan ekonomi semu, melainkan melalui keberanian untuk mengakui adanya ketimpangan yang telah berlangsung lama.

Jika negara ingin memperkuat legitimasi pemerintah, maka langkah awal dengan cara menyatakan secara terbuka bahwa telah terjadi ketimpangan struktural dalam tata kelola sumber daya. Peninjauan terhadap seluruh izin tambang yang telah diberikan menjadi suatu keniscayaan. Audit ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat sipil, agar prosesnya tidak menjadi ritual administratif semata. Izin yang terbukti merugikan lingkungan, tidak berpihak pada warga, atau diberikan tanpa dasar etis, layak untuk dicabut.

Penegakan hukum juga harus menjadi agenda utama. Impunitas terhadap perusakan lingkungan dan pengabaian hak masyarakat menjadi ganjalan besar dalam reformasi sektor ini. Negara tidak boleh terus-menerus membiarkan hukum menjadi alat perlindungan korporasi. Sebaliknya, hukum harus ditegakkan sebagai instrumen keadilan yang berpihak pada kepentingan publik dan keberlanjutan.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Masyarakat lokal adalah pemilik sah atas ruang hidup mereka. Partisipasi mereka tidak boleh dibatasi pada konsultasi formal yang tidak mengikat. Mereka harus menjadi bagian aktif dari proses penentuan arah pembangunan. Keadilan tidak akan terwujud tanpa demokrasi ekologis—yakni partisipasi nyata warga dalam pengelolaan lingkungan yang mereka tempati.

Etika kekuasaan menuntut negara hadir sebagai pelindung, bukan sekadar pengatur. Dalam pengelolaan tambang, negara harus berpihak pada prinsip kehati-hatian, transparan, dan akuntabel. Kekuasaan atas sumber daya tidak boleh dilihat hanya sebatas hak prerogatif, melainkan sebagai mandat yang mengandung etika.

Tata kelola tambang juga harus mempertimbangkan aspek antar-generasi. Kebijakan yang ditempuh hari ini akan berdampak pada kehidupan anak cucu esok. Maka, keberlanjutan harus menjadi prinsip penting. Pembangunan yang mendegradasi ekologis bukanlah kemajuan, melainkan bentuk pengabaian atas amanah masa depan.

Lebih dari sekadar kebijakan teknis, tata kelola tambang merupakan refleksi dari wajah kekuasaan itu sendiri: apakah difungsikan untuk menghasilkan keadilan atau sebatas melayani pemilik modal. Jika yang tampak adalah kerusakan, ketimpangan, dan pengabaian hak-hak rakyat, maka jelas telah terjadi pengingkaran terhadap peran negara sebagai pemegang amanah publik.

Sekarang, saatnya negara merumuskan ulang hubungan antara kekuasaan dan sumber daya alam. Tidak hanya untuk mencapai tujuan investasi atau pendapatan negara, tetapi untuk meletakkan kembali keadilan pada fondasi kebijakan publik. Karena dengan cara tersebut, tambang dapat menghadirkan kemanfaatan bagi seluruh rakyat—bukan sebatas instrumen akumulasi bagi elit kekuasan dan ekonomi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image