Peran Sastra dalam Merepresentasikan Isu Lingkungan Global
Sastra | 2025-08-05 12:20:24
Ekologi-kritik telah menjadi wadah utama untuk membahas sifat dan keterbatasan novel sebagai bentuk sastra. Isu-isu yang berkaitan dengan konsep Antroposen telah memunculkan pertanyaan mendasar tentang sifat dan batasan narasi itu sendiri, sifat realisme, serta asumsi filosofis, budaya, dan politik yang mengatur konvensi penokohan. Novel telah lama dianggap sangat cocok untuk membahas isu-isu lingkungan karena masalah ini selalu berkaitan dengan politik dan budaya. Sebuah novel memiliki kekuatan untuk menjadi komprehensif, tidak seperti makalah ilmiah, karena dapat melacak semua skenario yang mungkin terjadi dan mengkaji bagaimana prasangka, latar belakang pribadi, asumsi budaya, penelitian ilmiah, dan kelonggaran kehidupan sehari-hari membentuk cara orang menghadapi atau menghindari masalah lingkungan.
Flight Behaviour (2012) karya Barbara Kingsolver telah menjadi salah satu novel "cli-fi" (fiksi perubahan iklim) yang paling terkenal karena mendramatisasi berbagai aspek bencana ini, seperti emosional, ekologis, ekonomi, dan agama. Erin James, dalam bukunya The Storyworld Accord (2015), berpendapat bahwa novel memiliki kekuatan untuk membenamkan pembaca dalam lingkungan lokal dan cara-cara untuk memahaminya. Argumennya bergantung pada cara narasi menjadi paling "impersif" ketika berhasil memproyeksikan ruang dan budaya seperti yang dirasakan dalam skala manusia. Semakin kuat rasa keterlibatan kita dalam sebuah narasi, semakin besar kemungkinannya untuk meningkatkan pemahaman kita tentang cara berpikir orang lain.
James berpendapat bahwa narasi adalah satu-satunya teks yang dapat memberi kita akses kognitif dan emosional terhadap konsepsi dan pengalaman orang-orang mengenai rumah ekologis mereka. Selain itu, membaca teks-teks tersebut dapat memperluas pemahaman kita tentang berbagai cara orang mengalami dan hidup di dunia. Namun, pembelaan James terhadap narasi juga secara tidak sengaja menunjukkan kemungkinan keterbatasan ketika menyentuh isu-isu lingkungan dalam skala global, seperti perubahan iklim. Perubahan-perubahan ini terjadi pada skala yang tidak kita rasakan dengan indra manusia biasa dan memiliki kerumitan yang mungkin lolos dari pemahaman kita.
James juga tidak membahas tantangan dari bentuk prosa "impresif" yang paling kuat dan kontroversial, yaitu di mana sudut pandang yang diupayakan adalah sudut pandang hewan non-manusia. Pertanyaan kuncinya adalah jenis dunia apa yang dimiliki oleh hewan non-manusia dan bagaimana subjektivitas non-manusia dapat direpresentasikan secara adil dalam bahasa. Dalam representasi semacam itu, antropomorfisme menjadi kiasan yang membantu tetapi tidak stabil.
Antroposen dan Pertanyaan tentang Narasi
Bagi manusia, narasi adalah hal mendasar untuk memahami dunia dan merasa mampu bertindak di dalamnya. Namun, ada jenis fenomena yang paling menolak kebutuhan manusia akan "cerita" sebagai bentuk penjelasan intelektual. Salah satunya adalah distribusi agen kausal yang sangat besar sehingga ada "tindakan" tetapi bukan "rantai peristiwa". Hal lainnya adalah diskoneksi naratif radikal antara tindakan lokal dan produk yang dihasilkan oleh perilaku yang muncul. Kompleksitas itu sendiri tampaknya akan menjadi meta-masalah lingkungan yang mendasari. Tugas terpenting bagi sastra modern adalah menemukan cara untuk merepresentasikan realitas baru ini dari agen yang sulit dipahami dan kesalahan yang jauh atau tidak terlihat.
Dominic Head berpendapat bahwa novel sebagai bentuk mungkin tidak memadai untuk banyak pekerjaan lingkungan. A Friend of the Earth (2000) karya T. C. Boyles adalah sebuah novel yang mengangkat tantangan ini. Novel ini menggunakan dua alur cerita yang bergantian, yang berfokus pada seorang aktivis lingkungan bernama Ty Tierwater. Celah antara dua narasi adalah teknik di mana Boyle membuat isu Antroposen dapat dibaca. Pada narasi yang lebih awal, ada tujuan dan isu yang jelas, yaitu menyelamatkan hutan, dan juga antagonis yang jelas, yaitu bos perusahaan penebangan kayu. Dalam narasi selanjutnya, tidak ada aktivisme lingkungan karena tidak ada hutan yang bisa "diselamatkan" atau antagonis manusia yang terlihat.
The Book of Dave (2006) karya Will Self juga menggunakan teknik narasi yang bergantian dalam bingkai waktu yang berbeda, tetapi dengan cara yang seolah-olah menyoroti ketidakcukupan representasi terhadap realitas. Ada London yang tenggelam di masa depan, dan narasi masa kini terdiri dari omelan seorang supir taksi London yang misoginis. Teks yang ia tulis kemudian ditemukan di masa depan dan dianggap sebagai dokumen agama. Komedi yang suram tapi tepat terletak pada absurditas koneksi yang tidak terlihat antara masa lalu dan masa kini.
Fiksi Non-Manusia dan 'Petrofiction'
Adam Trexler berpendapat bahwa skala isu Antroposen harus mendorong bentuk kreativitas dan inovasi baru, mengembangkan cara-cara baru untuk merepresentasikan agensi non-manusia, menggantikan perhatian saat ini yang lebih "kanonik" pada sentralitas penokohan individu dalam sebuah novel. 'Petrofiction' adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh Amitav Ghosh untuk menggambarkan subgenre novel yang membahas minyak dan dampaknya yang mendalam pada kehidupan manusia. Ghosh mencatat bahwa keberadaan minyak yang ada di mana-mana dalam kehidupan modern tidak secara langsung diangkat dalam novel modern. Daniel Worden melihatnya sebagai semacam "ketidaksadaran lingkungan". Tugas ekokritik adalah untuk membawa "ketidaksadaran" ini ke dalam kesadaran yang lebih penuh36.
Novels seperti Oil (1927) oleh Upton Sinclair dan Giant (1952) karya Edna Ferber melacak efek minyak melalui fokus pada ketegangan dalam sebuah keluarga atau kelompok manusia kecil. Dalam novel-novel ini, minyak adalah agen utama terutama sebagai katalis, yang membuat konflik psikis atau sosial yang sebelumnya laten menjadi nyata. Namun, novel-novel ini juga dapat dilihat sebagai cara untuk membuat ketidaksadaran lingkungan menjadi lebih mudah dibaca. Jennifer Wenzel menyarankan istilah "petro-magic-realism" untuk menggambarkan teks-teks yang berlatar belakang kolonial atau pascakolonial dan yang melacak gejolak budaya, politik, dan lingkungan yang besar yang disebabkan oleh penemuan minyak.
Fiksi Genre dan Tantangan terhadap Realisme
Trexler sangat memuji apa yang disebut fiksi genre karena perhatiannya pada bagaimana hal-hal material yang dalam sering kali menyelimuti dan bahkan menentukan tindakan manusia. Heise mengamati bahwa konsep Antroposen, dalam membuat kita membayangkan masa kini dari sudut pandang masa depan yang rusak, sudah menyiratkan penggunaan kiasan yang umum terkait dengan fiksi ilmiah.
Ghosh, Mark McGurl, dan Trexler masing-masing berpendapat untuk perombakan drastis terhadap perbedaan yang bisa dibilang elitis antara sastra "serius" dan sastra genre. Ghosh, dalam bukunya The Great Derangement (2016), berpendapat bahwa novel sastra saat ini sering kali terbatas ambisinya dan tidak menyadari jenis skala spasial dan temporal yang akrab dalam fiksi ilmiah. Ia berpendapat bahwa hasil dari hal ini adalah diskoneksi yang kini berbahaya antara dunia kontemporer dan apa yang disebut sastra serius.
Namun, ada masalah lain dengan penegasan ulang fiksi genre. Hubungan pembaca dengan masa depan dystopian yang sekarang berulang kali digambarkan dalam film atau novel sering kali merupakan sejenis "pemikiran ganda". Gambar-gambar banjir, keruntuhan sosial, kekeringan, perang air, dan sebagainya adalah ekspresi dari kecemasan sosial yang diakui, namun juga, secara kontradiktif, merupakan penyangkalannya melalui transformasinya menjadi bentuk-bentuk tontonan dan thriller.
Ghosh membandingkan kondisi novel-novel Barat yang ia anggap berpikiran sempit dengan karya-karya dari India dan Arab, di mana nilai-nilai individualisme konsumen kurang menentukan. Elizabeth DeLoughrey membaca pergeseran menjauh dari realisme dalam karya penulis Maori Selandia Baru, Keri Hulme. Realisme magis telah dikaitkan dengan masyarakat perimeter-dunia di mana realitas tampak ilusi atau tidak nyata karena diciptakan atau dimanipulasi oleh kekuatan luar. Namun, rasa realitas yang terputus ini kini menjadi kondisi global.
Singkatnya, tantangan lingkungan terus-menerus menguji sifat dan batasan novel sebagai sebuah bentuk, dan kebutuhan akan kreativitas yang baru dan mendesak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
