Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Sepotong Cerita dalam Secangkir Kopi

Gaya Hidup | 2025-08-03 08:07:39

Oleh Muliadi Saleh

Pagi belum benar-benar tiba. Langit masih menggantungkan sisa kelabu semalam. Di meja kayu tua, aroma kopi pertama menari pelan, mengepul seperti puisi yang baru saja terlahir dari ruang hening batin manusia. Tak ada suara selain desir angin, detak jarum jam, dan kepulan uap dari cangkir putih yang retaknya menyimpan rahasia.

Kopi, bukan sekadar minuman. Ia adalah narasi. Bukan narasi tentang rasa semata, tetapi tentang perjalanan. Tentang waktu yang telah lewat, tentang mimpi yang masih tertinggal, tentang harapan yang menumpuk dan penuh ketidakpastian. Setiap tetesnya menyimpan bab-bab sunyi yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang terbiasa diam. Yang akrab dengan jeda.

Hitam warnanya, pekat barangkali. Tapi dari kepekatannya itu, lahirlah terang. Bukan terang yang membutakan, tapi yang menyentuh pelan: pada mata yang sembab, pada hati yang retak, pada jiwa yang lelah. Kopi mengajarkan bahwa hidup tak selalu harus manis untuk layak dinikmati.

Tak terhitung berapa banyak percakapan penting lahir dari meja yang sama, ditemani kopi yang berbeda. Terkadang, satu cangkir cukup untuk memulai perdamaian. Kadang juga menjadi saksi dari retak yang tak mampu dihindari. Ia tak memihak. Ia hanya ada, setia menemani tanpa banyak tanya. Dalam kesederhanaannya, kopi menyimpan kemewahan yang tak bisa dibeli: kehadiran yang utuh.

Kita kerap lupa bahwa yang paling mahal dalam hidup bukanlah hal-hal besar, melainkan detik-detik kecil yang sarat makna. Tegukan pertama di pagi hari. Pandangan kosong ke luar jendela. Senyum yang tak sengaja muncul saat aroma kopi menari ke dalam hidung. Di sanalah letak puisi hidup: dalam kesederhanaan yang tidak dibuat-buat.

Kopi tak pernah memaksa siapa pun untuk menyukainya. Ia hanya hadir, pekat atau tidak, manis atau pahit, sesuai tangan yang menyeduh dan lidah yang merindu. Tapi dari cangkirnya, banyak kisah tak biasa bermula: seorang ayah yang kembali dari ladang, seorang ibu yang melepas lelah, seorang penulis yang mencari kalimat, seorang pencinta yang menunggu harap tak kunjung datang. Semuanya menyatu dalam harmoni sunyi bernama kopi.

Barangkali kita semua adalah sepotong cerita yang sedang larut dalam cangkir kehidupan. Ada yang sudah dingin, ada yang masih hangat, ada pula yang baru diseduh. Tapi satu hal yang pasti: setiap kita ingin dikenang. Seperti kopi. Yang walau telah habis diteguk, masih menyisakan aroma di hati orang-orang yang sempat duduk bersamanya.

Kopi tak pernah butuh pujian. Ia cukup diseduh dan dirasakan. Ia tak pernah minta dikenang, tapi anehnya: selalu dirindukan.

Begitu juga hidup.

Di dunia yang serba cepat dan bising, kopi menjadi pengingat bahwa jeda bukan kemunduran. Bahwa diam bukan kekalahan. Bahwa duduk sejenak dan memandang keluar jendela bukan pemborosan, tapi bentuk penghayatan. Kita butuh waktu untuk sekadar tidak terburu-buru. Untuk tidak selalu menyelesaikan, tapi juga merasakan.

Dan ketika kopi tinggal ampas, kita pun sadar: hidup ini tak untuk diselesaikan, melainkan untuk disyukuri. Tegukan demi tegukan. Kisah demi kisah.

Maka jika pagi ini kau menyeduh kopi dan duduk dalam diam, ketahuilah: kau sedang menulis cerita. Bukan di atas kertas, tapi di ruang batin yang diam-diam mencatat. Tentang bagaimana kau bertahan. Tentang bagaimana kau belajar menerima. Dan tentang bagaimana kau terus percaya bahwa hidup, meski pahit, tetap indah untuk disyukuri.

Karena sejatinya, yang menjadikan kopi berharga bukanlah rasa atau mereknya, tapi dengan siapa ia dinikmati, dan kenangan apa yang lahir bersamanya.

---

Muliadi Saleh

Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

"Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban"

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image