Setan Bisu di Tengah Penyitaan dan Pengangguran
Agama | 2025-08-03 07:42:38Di tengah jargon pertumbuhan dan kemajuan ekonomi, kita hidup di negeri yang gemar memberi cap: “tidak produktif,” “menganggur,” “tidak berdaya.” Tanah yang tak diolah dianggap gagal. Manusia yang tak bekerja dicap sebagai beban. Semuanya dinilai dari seberapa besar ia menyumbang pada mesin ekonomi.
Kapitalisme tak butuh waktu lama untuk memutuskan siapa yang layak dianggap bernilai. Tanah yang tak digarap? Dirampas. Rekening yang tak bergerak? Disita. Semua dihakimi lewat kacamata profit. Tak peduli apakah pemiliknya sedang sakit, miskin, atau sekadar tertindas.
Bahkan rekening pribadi pun tak luput dari logika dingin ini. Jika dalam jangka waktu tiga bulan tidak terdapat aktivitas transaksi, rekening Anda akan diklasifikasikan sebagai tidak aktif, dianggap kehilangan fungsi, dibekukan, dan tak lagi produktif menurut standar perbankan.
Lalu apa yang terjadi? Disita, dibekukan, dihapus. Semudah itu. Sama mudahnya dengan jutaan anak muda yang sedang menganggur bertahun-tahun, namun tak pernah sungguh-sungguh diperjuangkan nasibnya. Seolah mereka bukan bagian dari bangsa ini. Seolah nilai hidup mereka tak ada harganya.
Jika rekening pribadi saja bisa dibekukan, maka tanah rakyat pun bukan hal yang mustahil untuk dirampas. Dan benar saja, kini tanah pun mulai dijadikan target penyitaan.
Kementerian ATR/BPN mengajukan wacana untuk mengambil alih tanah kosong yang tak dimanfaatkan selama lebih dari tiga tahun. Lahan-lahan pribadi, termasuk tanah HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan), dinyatakan akan disita jika tidak digunakan. (wartaekonomi.co.id, 20/07/2025). Padahal, masalah utama dari tanah HGU maupun HGB yang tidak produktif bisa jadi bukan karena pemiliknya lalai. Banyak lahan belum terserap pasar karena minimnya permintaan, atau menunggu legalitas dan investor yang belum terealisasi. Beberapa terdampak inflasi dan mahalnya bahan baku, sehingga pengelolaan menjadi tidak ekonomis. Ditambah lagi, negara tidak memberi insentif produksi yang berarti.
Bukankah ini justru bentuk pembiaran struktural?
Baru-baru ini pun muncul kekhawatiran di tengah masyarakat menyusul pemberitaan mengenai pemblokiran rekening pasif. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mengusulkan pemblokiran rekening yang tidak aktif selama tiga bulan sebagai bagian dari upaya mencegah tindak kejahatan keuangan, termasuk pencucian uang dan judi online. Kebijakan ini diberitakan sebagai langkah efisiensi dan pengamanan sistem keuangan. Namun, bagi masyarakat kecil yang menabung secara perlahan, rekening tersebut sering kali menjadi satu-satunya harapan dan penyimpanan dana darurat. Sayangnya, kebijakan ini tampak tidak mempertimbangkan kenyataan sulitnya menabung di tengah tekanan ekonomi yang berat (Tempo.co, 24/7/2025).
Di permukaan, kebijakan ini tampak rasionalbmencegah pencucian uang, memberantas judi online, dan menjaga sistem keuangan tetap sehat. Namun jika dilihat lebih dalam, yang menjadi korban justru rakyat kecil yang tak punya kekuatan tawar. Mereka yang menabung receh demi receh, yang tidak bisa rutin bertransaksi karena pendapatan tak menentu, justru terancam kehilangan akses atas simpanannya sendiri.
Inilah watak sistem yang hanya melihat risiko keuangan, tapi menutup mata terhadap realitas sosial. Rekening warga miskin dipandang mencurigakan hanya karena diam. Seolah diam itu pasti berbahaya. Padahal, bagi mereka, satu rekening bisa menyimpan harapan masa depan—uang sekolah anak, ongkos berobat, atau sekadar pegangan hidup di hari tua.
Kebijakan ini memperjelas siapa yang sesungguhnya dilindungi dan siapa yang dikorbankan. Di satu sisi, negara begitu sigap menyasar rekening pasif rakyat kecil. Tapi di sisi lain, milyaran uang hasil korupsi justru mengalir mulus ke luar negeri tanpa hambatan berarti. Ke mana keberpihakan negara ini sebenarnya diarahkan?
Islam memiliki pandangan yang adil dan beradab dalam mengelola aset, baik milik individu maupun negara. Menurut pandangan Islam, rekening yang tidak aktif tidak dapat disita secara sepihak tanpa dasar yang sah.Harta adalah milik sah individu selama tidak digunakan untuk kezaliman atau hal haram. Negara tidak berwenang merampas milik rakyat tanpa alasan syar’i yang jelas.
Demikian pula tanah. Dalam Islam, tanah yang tidak digarap lebih dari tiga tahun bisa diambil alih bukan untuk dimiliki negara, tetapi untuk diberikan kepada rakyat lain yang siap mengelolanya demi kemaslahatan umum. Negara menjadi fasilitator distribusi dan pengelolaan lahan, bukan pelaku perampasan. Nabi Muhammad saw. bersabda:
"Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi)
Adapun soal pengangguran, Islam memandang bahwa negara wajib menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyatnya. Negara wajib membuka lapangan kerja, membangun sektor riil, dan mengelola sumber daya alam demi kemakmuran bersama. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Membiarkan rakyat menganggur tanpa solusi, lalu menyita harta dan tanah mereka, adalah bentuk kedzaliman yang nyata. Ini bukan sekadar kebijakan yang salah arah, tapi mencerminkan ketiadaan keberpihakan pada rakyat kecil.
Dalam sistem Islam, rekening yang pasif tidak otomatis disita. Selama tidak digunakan untuk hal-hal yang buruk, harta tetap dilindungi. Negara justru berkewajiban menjaga keamanan harta setiap warga.
Tanah yang menganggur pun tidak diambil paksa. Islam mengenal prinsip ihya’ul mawat, yaitu mendorong siapa pun yang mampu untuk menghidupkan tanah mati, agar bermanfaat bagi umat. Negara bertugas memastikan pengelolaannya adil dan tidak dikuasai segelintir orang.
Masalah pengangguran juga jadi tanggung jawab negara. Bukan diserahkan ke pasar bebas. Negara wajib membangun infrastruktur, membuka industri halal, dan mengelola kekayaan alam demi menciptakan lapangan kerja.
Semua itu bisa terwujud bila penguasa menjadikan syariat sebagai pedoman hidup. Kekuasaan bukan soal jabatan dunia, tapi amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah saw. bersabda:
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Pepatah ulama menyindir: “Setan berbicara ketika maksiat dibiarkan. Tapi ia menjadi bisu ketika kebenaran harus dibela.”
Maka, janganlah kita menjadi setan bisu. Saat kebijakan merugikan rakyat kecil, saat harta mereka dirampas dengan dalih produktivitas, dan saat pengangguran dibiarkan tanpa solusi. Kita tidak boleh diam.
Suara kita adalah bagian dari perjuangan. Diam adalah bentuk pengkhianatan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
