Pentingnya Skill Mendengarkan dalam Dunia Politik dan Demokrasi
Kolom | 2025-07-31 12:08:53Berkomunikasi seharusnya bukan sekadar melemparkan pesan, tetapi juga kesiapan untuk mendengar dengan baik umpan balik dari komunikan. Betapa banyak komunikasi yang gagal tafsir karena tidak disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendengar lawan bicara.
Proses resepsi pesan akhirnya mengalami kebuntuan dan percakapan tidak mengalir dengan baik. Bahkan, kekacauan politik banyak terjadi misalnya di Indonesia karena elit tidak mendengar rakyat.
Dalam proses pertemanan di kehidupan nyata, berkomunikasi dengan teman pun harus disertai dengan empati dan simpati untuk mendengar keluhan teman. Teman cenderung membuka ruang privat untuk saling mendengar curahan hati. Tak berbeda, berkomunikasi dalam keluarga juga harus disertai seni mendengar dengan bijak ragam masukan dari anak, istri atau suami. Jika tidak, pertemanan dan komunikasi dalam keluarga perlahan akan terganggu sehingga berujung konflik.
Dalam dinamika politik yang konkret, mendengar tidak lagi sekadar dianggap konvensional dan basa-basi. Mendengar kini menjadi suatu skill yang sangat penting dalam dunia politik sebagaimana berbicara. Berbicara dan mendengar keduanya penting dikembangkan dalam dunia politik untuk menyelesaikan masalah publik.
Dalam diskursus politik terbaru seperti yang diungkapkan oleh Scudder & Neblo (2025), praktik mendengarkan sangat diperlukan dalam memajukan demokrasi. Mendengarkan adalah tindakan aktif untuk memberi pengakuan, membuka ruang inklusi, dan memperkuat legitimasi keputusan bersama.
Ketika organisasi masyarakat sipil, elit politik, gerakan mahasiswa, komunitas anak muda terutama Gen Z hari ini bersedia untuk mendengarkan satu sama lain, maka mereka sedang mengembangkan suatu fondasi kehidupan demokratis yang sehat dan bermakna. Ini yang diharapkan dalam suatu kehidupan demokrasi yang sejati.
Dengan kata lain, menjadi pendengar yang baik sangat dibutuhkan hari ini untuk memahami persoalan dan menyampaikan respon secara bijak dalam konteks politik dan demokrasi di tengah terpaan ragam noise media digital yang massif hari ini seperti hate speech, hoax, fake news, dan ragam disinformasi lainnya.
Demokrasi yang sehat bukan hanya diukur dari banyaknya suara yang dibicarakan, tetapi dari keberanian aktor-aktor politik untuk mendengarkan suara-suara orang lain terutama suara oposisi, media dan mereka yang rentan. Prabowo mengundang awak media ke kediamannya beberapa bulan lalu dapat dikatakan sebagai suatu keberanian untuk mendengar suara yang berbeda. Tentu, upaya mendengar suara lain seharusnya dilakukan elit secara konsisten dan jauh dari pencitraan semata.
Kita sedang hidup dalam suatu masa dan kondisi di mana demokrasi sedang mengalami suatu krisis baik di level global, nasional dan lokal. Gramsci (1937) menyebut krisis sebagai keadaan transisi di mana yang lama sekarat, tapi yang baru belum lahir. Di level global terdapat kecenderungan rezim yang terpilih dalam pemilu menjadi rezim otoritarian seperti yang dikemukakan oleh Levitsky & Ziblatt (2019). Hal ini terjadi karena demokrasi elektoral cenderung dikendalikan oleh popularitas dan uang sehingga elit yang terpilih terkadang tidak lahir dari proses politik yang panjang dalam tubuh partai politik dan tidak memiliki kualitas intelektual yang dapat digunakan untuk mendorong demokrasi yang berkualitas.
Di level nasional, kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi juga melemah dan mengalami kemunduran terutama karena adanya kecenderungan elit mengintervensi hukum dan penegak hukum sebagaimana diulas secara mendalam dan empiris oleh Power & Warburton (2020) dalam buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?. Kini publik terlihat cenderung tidak mempercayai supremasi hukum dan penegak hukum di negeri ini. Hal ini terlihat dari kritik mahasiswa dan netizen di media digital yang seolah tak berujung. Misalnya kasus persyaratan Wapres di MK dalam Pemilu 2024 dan kini persoalan tuduhan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo yang tak berujung dan seolah menandakan masyarakat sipil dan publik tidak lagi mempercayai institusi kepolisian.
Di level lokal, politik terjebak dalam kultur feodalisme lokal dan politik uang seperti yang diulas oleh Aspinall & Berenschot (2019) dalam karya hasil penelitiannya yaitu Democracy for Sale: Pemilihan Umum, Klientelisme, dan Negara di Indonesia. Politik lokal belum sepenuhnya mampu memberdayakan masyarakat lokal untuk melawan politik uang dan memilih partai politik yang ideologis serta peduli kepada kepentingan masyarakat lokal di berbagai sektor terutama aspek ketenagakerjaan dan lingkungan.
Alhasill, di tengah krisis demokrasi hari ini, berkomunikasi yang disertai dengan keinginan untuk saling mendengar permasalahan dan kepentingan menjadi relevan dan bisa menjadi solusi yang layak dipelajari dan dikembangkan agar ruang publik yang komunikatif dan partisipatif dimungkinkan tercipta di Indonesia dan akhirnya dapat membawa kepada kesejahteraan dan keadilan sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
