Mengapa Dosen Muda Sebaiknya Segera S3?
Eduaksi | 2025-07-31 02:59:00Anda adalah dosen muda di perguruan tinggi dan lulusan magister? Bersyukurlah bahwa syarat pendaftaran pengajar kampus di Indonesia masih memperbolehkan lulus S2. Dibandingkan dengan negara-negara maju yang mewajibkan pelamar dosen adalah lulusan doctoral, situasi ini lebih fleksibel sebab lulusan magister dapat menjadi dosen lalu dalam perjalanan karir akademiknya, mereka melanjutkan studi doctoral dengan skema tugas belajar atau izin belajar.
Namun seringkali aktifitas akademik di kampus menyebabkan dosen lulusan magister terlalu asyik dengan dunia kerjanya dan melalaikan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Jam mengajar yang padat, aktifitas riset yang berlimpah, jabatan structural kampus yang memberikan “privilege” hingga kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat yang kadang menambah penghasilan. Kesemuanya baik dan bermanfaat, tetapi ingatlah bahwa seorang dosen lulusan magister perlu mencapai jenjang akademik doctor demi mencapai tingkat pendidikan paripurna.
Dalam pengalaman pribadi saya sebagai lulusan magister tahun 2014 yang segera setelahnya langsung mengabdikan diri sebagai dosen di almamater kampus S1, saya termasuk orang yang terlambat karena memulai studi doctoral setelah tujuh tahun menjadi dosen. Dalam kurun waktu tersebut, saya menghabiskan waktu untuk banyak hal mulai dari mengajar, menjabat structural di kampus, aktif di organisasi masyarakat, hingga menambah “jam terbang” sebagai konsultan di lembaga pemerintahan dan lembaga keuangan. Kesibukan yang mengasyikkan, dengan berlimpah rezeki juga, menyebabkan saya hampir melupakan cita-cita saya dahulu ketika awal menjadi dosen untuk melanjutkan S3.
Saya segera sadar untuk kembali mengejar cita-cita doctoral dan memulai hidup di luar negeri sebagai Ph.D. student dan dosen tugas belajar pada awal September 2021. Saya meninggalkan jabatan sekretaris program studi di kampus dan aktifitas lainnya yang menambah penghasilan di luar gaji dosen. Namun, setelah berjalan suka duka studi doctoral yang berakhir di tahun 2025, saya merasakan hikmah luar biasa dari penyelesaian S3 di usia muda. Berikut ini ulasan-ulasannya:
1. Pengeluaran Keluarga Belum Maksimal
Pendapatan bulanan seorang dosen di Indonesia adalah tidak besar jika dibandingkan dengan rata-rata di negara-negara ASEAN. Misalnya, dosen PNS lulusan S2 gaji pokoknya mulai dari 2,7 juta rupiah hingga 5,1 juta rupiah ditambah dengan tunjangan kinerja dan tunjangan profesi (jika sudah lulus sertifikasi dosen). Dengan penghasilan yang tak terlalu besar, kemampuan dosen untuk membiayai studi S3 dengan uang pribadi akan sangat berat. Oleh sebab itu, dosen perlu mempertimbangkan beasiswa di dalam atau luar negeri sebagai sumber pendanaan studi.
Jika usia seorang dosen semakin tua, kesempatan mendapatkan beasiswa akan semakin sedikit karena beberapa beasiswa membatasi usia pelamarnya. Belum lagi persyaratan administratif seperti kemampuan bahasa asing dapat menjadi beban tersendiri bagi calon pelamar.
Saat ini biaya S3 semakin mahal dengan kenaikan SPP di hampir semua perguruan tinggi negeri dan swasta. Misalnya tahun 2025, biaya per semester S3 di Universitas Indonesia mulai dari 27,5 juta rupiah dan Universitas Trisakti mulai dari 23,6 juta rupiah. Beban keuangan tersebut sangat berat jika ditanggung oleh seorang dosen yang mengandalkan penghasilan dari kampus semata. Oleh sebab itu, dosen muda wajib mempertimbangkan studi S3 dengan segera dengan syarat memenuhi aturan seperti syarat minimal durasi kerja bagi ASN atau di kampus swasta.
Ketika studi doctoral, saya merasakan ketenangan finansial karena dua anak saya masih kecil yang tidak membutuhkan biaya sekolah. Saya lebih leluasa mengatur pengeluaran harian dari uang beasiswa, gaji pokok PNS selama masa tugas belajar, dan pendapatan lainnya. Lebih nikmat lagi selama di luar negeri, saya tak memiliki kendaraan bermotor karena ketersediaan transportasi public yang baik. Saya juga menghindari tagihan dari cicilan kepemilikan barang dari perbankan dan lembaga keuangan selama masa studi demi ketenangan finansial.
2. Usia Muda Cenderung Lebih Sehat dan Produktif
Kesehatan adalah harta yang sangat berharga bagi setiap manusia. Meskipun kondisi kesehatan tak bersandar kepada factor umur, tetapi secara umum, anak muda lebih sehat dibandingkan orang tua. Dengan beban akademik dan non akademik dalam studi S3, dosen muda yang sehat wal afiat memiliki keunggulan untuk menyelesaikan studi tepat waktu tanpa gangguan kesehatan. Bukan hanya sehat secara fisik, tetapi dosen juga membutuhan kesehatan mental dan spiritual dalam mengarungi bahtera studi yang berat, rumit, dan menantang.
Lebih lanjut lagi, dosen muda yang melanjutkan kuliah doctoral di usia muda memiliki kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan meraih pengalaman lebih luas. Durasi kuliah selama empat tahun atau lebih seharusnya bukan hanya dihabiskan di ruang kelas dan perpustakaan, tetapi juga mimbar konferensi, seminar, pelatihan, dan kegiatan lainnya. Usia muda memberikan keluwesan untuk mengeksplorasi pengetahuan yang sangat luas di dalam dan di luar negeri.
Saya merasakan pengalaman sangat berharga selama studi doctoral dalam mengikuti aktifitas di luar kampus seperti summer school di Universitas Leiden Belanda, study visit di parlemen EU Brussel Belgia, Ph.D. training di Max Planck Institute Heidelberg Jerman, short course di Universitas Bologna Italia, Universitas Hagen Jerman, dan Universitas Wroclaw Polandia, dan beberapa konferensi internasional di Ceko, Slovakia, Bosnia & Herzegovina, dan Hongaria. Semua kegiatan tersebut membutuhkan kondisi fisik prima serta sehat jasmani dan rohani karena berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan musim-musim berbeda.
3. Menghindari Diri dari Stigma Beban Akreditasi Kampus
Perguruan tinggi yang kekurangan dosen lulusan S3 akan mengalami penurunan kualitas pendidikan, masalah pengembangan ilmu pengetahuan, dan kesulitan dalam akreditasi. Poin pertama dan kedua mungkin sangat subjektif, namun poin ketiga adalah fakta jika jumlah dosen S3 kurang dari jumlah yang dipersyaratkan otoritas pendidikan tinggi, kampus akan terancam gagal dalmm mempertahankan akreditasi. Misalnya perguruan tinggi meraih akreditasi A atau Unggul pada penilaian sebelumnya. Pada periode penilaian berikutnya, ada potensi penurunan nilai akreditasi akibat salah satunya jumlah dosen S3 tak sesuai dengan syarat akreditas A atau Unggul.
Saya teringat akan nasehat dari Wakil Dekan Akademik yang meminta saya agar segera menyelesaikan studi doctoral untuk menambah jumlah dosen S3 di program studi homebase saya. Beliau menceritakan bahwa program studi saya terancam turun nilai akreditasinya karena hampir 2/3 dosen belum menyelesaikan S3nya bahkan ada yang belum memulai sama sekali.
Ibarat pepatah “Panas setahun dihapus hujan sehari” bagi dosen-dosen yang telah mengabdikan dirinya bertahun-tahun di kampus lalu mendapatkan stigma negatif karena belum S3. Situasi ini nampaklah tidak adil karena kemampuan dan kesempatan tiap dosen berbeda untuk meraih studi doctoral. Namun begitulah fakta hari ini perguruan tinggi dituntut untuk memiliki jumlah dosen S3.
4. Motivasi dan Kepercayaan Diri
Dosen muda yang melanjutkan S3 lebih memiliki motivasi dibandingkan dengan dosen senior yang menyelesaikan S3 jelang usia pensiun. Misalnya dosen berusia 25-35 tahun memulai kuliah doctoral pada tahun 2025. Ia memproyeksikan lulus S3 secara tepat waktu pada tahun 2029. Setelah lulus, ia memiliki waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan jabatan akademik misalnya dari Lektor ke Lektor Kepala hingga Guru Besar. Faktanya dengan aturan baru, durasi kenaikan jabatan dosen tak lagi semudah dan secepat sebelumnya. Dosen muda yang aktif penelitian dan publikasi pun tak dapat mengakselerasi jabatan fungsional seperti kisah-kisah senior-senior kita dahulu. Oleh sebab itu, dosen senior berpangkat Lektor yang belum S3 saat ini diduga akan kehilangan potensi meraih jabatan fungsional Guru Besar di masa depan.
Usia muda juga menjadi penting dalam menjaga kepercayaan diri dalam menjalani S3. Menurut pengalaman pribadi, saya memiliki banyak kolega S3 yang usianya terpaut jauh lebih muda dari saya. Mayoritas kawan saya adalah fresh graduate S2 yang melanjutkan ke jenjang S3 secara langsung atau hanya jeda satu hingga dua tahun. Sedangkan saya memiliki jarak tujuh tahun dari waktu kelulusan S2 sebelumnya dan telah merintis karir di perguruan tinggi. Bahkan ada beberapa kasus di luar negeri, mahasiswa Indonesia memiliki supervisor yang sebaya atau lebih muda.
Meskipun persoalan kepercayaan diri lebih kembali kepada pribadi masing-masing. Ada juga kasus mahasiswa Indonesia yang berusia 50an di luar negeri dan mampu beradaptasi dengan situasi akademik yang mayoritas diisi oleh anak-anak muda. Namun kembali lagi, usia muda masih lebih baik untuk memulai S3 agar mampu beradaptasi dengan lingkungan akademik yang menantang.
Keempat alasan yang saya sajikan akan sangat berbeda bagi setiap individu yang menjalankan studi doctoral di dalam atau luar negeri. Semoga tulisan ini mendorong dosen-dosen muda agar segera memulai S3 tanpa menunda-nunda lagi.
Hidayatulloh
Ph.D. of Financial Law, University of Miskolc, Hungary
Dosen FSH UIN Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
