Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image hurin tsaqifa

Fiqh dalam Perspektif Pemikiran Gus Baha

Agama | 2025-07-28 11:55:55

Oleh: Hurin Tsaqifa Ilma, Farhan Abdillah Bahar, Danta Yova Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Abstrak
Artikel ini membahas pemikiran fiqh KH. Bahauddin Nursalim atau yang lebih dikenal sebagai Gus Baha, seorang ulama Nusantara kontemporer yang memiliki pengaruh besar dalam pemikiran keislaman, khususnya di bidang fiqh dan tafsir. Gus Baha dikenal sebagai figur yang mampu mengintegrasikan tradisi keilmuan pesantren klasik dengan persoalan kontemporer secara moderat, mendalam, dan manusiawi. Dalam pandangannya, fiqh tidak hanya dipahami sebagai kumpulan hukum legalistik, tetapi sebagai produk peradaban ulama yang berkembang dari proses ijtihad, budaya, serta etika sosial dan spiritual¹. Melalui penguasaannya terhadap kitab-kitab fiqh klasik seperti Fathul Qarib, Fathul Mu’in, hingga Tafsir Jalalain, Gus Baha mengajak umat untuk memahami fiqh secara kontekstual, tidak tekstualis secara kaku, serta menjunjung tinggi aspek akhlak dan kemaslahatan umat².

Artikel ini menyoroti berbagai aspek pemikiran fiqh Gus Baha, mulai dari metodologi pesantren, kritik terhadap fiqh rigid, integrasi antara tafsir dan fiqh, hingga relevansi fiqh dalam konteks Indonesia. Kajian ini menunjukkan bahwa pendekatan Gus Baha menawarkan solusi penting dalam menghadapi stagnasi pemikiran hukum Islam serta menjadi jembatan antara tradisi dan kebutuhan zaman³.
Kata kunci: Gus Baha, fiqh, tafsir, pesantren, moderasi, Islam Nusantara.

Footnote:
1. Lihat ceramah Gus Baha dalam kanal YouTube El Bayan Official, “Ngaji Fiqh: Kitab Fathul Qarib”, diakses 5 Juli 2025, https://youtube.com/@elbayanofficial.
2. Gus Baha secara rutin mengkaji kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin Al-Malibari, dan Fathul Qarib karya Abu Syuja’, sebagai rujukan utama fiqh dalam tradisi Syafi’iyyah di pesantren.
3. Lihat penjelasan Gus Baha dalam pengajian Tafsir Jalalain, Surabaya, 2023, mengenai pentingnya memahami fiqh dengan ruh tafsir dan maqashid (tujuan hukum).

Pendahuluan
Fiqh merupakan salah satu cabang ilmu dalam Islam yang memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan individu dan sosial umat Muslim. Ia tidak sekadar berfungsi sebagai kumpulan hukum yang mengikat, tetapi juga sebagai bentuk konkret dari ijtihad ulama dalam memahami wahyu Allah sesuai dengan konteks zaman dan masyarakat. Dalam sejarahnya, fiqh berkembang dengan sangat dinamis dan menghasilkan berbagai mazhab yang masing-masing memiliki kekayaan metodologi serta corak pemikiran yang khas.

Namun, perkembangan fiqh dalam masyarakat kontemporer sering kali mengalami tantangan serius. Banyak kalangan umat Islam yang memahami fiqh secara kaku dan tekstual, tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan perubahan zaman. Fenomena ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara teks hukum dan realitas kehidupan, serta bisa menyebabkan lahirnya sikap keagamaan yang ekstrem atau tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.

Dalam situasi seperti ini, pemikiran fiqh yang moderat, fleksibel, dan berakar pada tradisi keilmuan menjadi sangat penting. Salah satu tokoh yang menawarkan pendekatan semacam itu adalah KH. Bahauddin Nursalim, atau lebih dikenal sebagai Gus Baha. Beliau adalah seorang ulama muda yang dikenal luas melalui pengajian kitab-kitab klasiknya, terutama dalam bidang tafsir dan fiqh. Latar belakangnya yang kuat di lingkungan pesantren, serta pendidikannya yang ditempa langsung oleh ayahnya (KH. Nursalim Al-Hafidz) dan ulama besar seperti KH. Maimun Zubair, menjadikan Gus Baha memiliki pandangan fiqh yang kaya dan mendalam¹.

Gus Baha memandang fiqh bukan sekadar perangkat hukum formal, melainkan bagian dari warisan keilmuan ulama yang lahir dari interaksi antara wahyu dan realitas sosial. Bagi beliau, memahami fiqh harus dimulai dari penguasaan terhadap ilmu alat, kitab-kitab klasik, serta pemahaman terhadap tujuan-tujuan hukum (maqashid al-syari’ah). Lebih jauh, Gus Baha juga menekankan pentingnya adab dan akhlak dalam mengamalkan fiqh, agar tidak terjebak dalam legalisme kering².

Pendekatan Gus Baha ini penting untuk dikaji karena menyajikan alternatif terhadap pemahaman fiqh yang rigid. Ia menunjukkan bahwa fiqh bisa tetap relevan dan aplikatif jika didekati dengan cara yang mendalam, bertanggung jawab, serta mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan. Artikel ini akan menguraikan secara sistematis bagaimana Gus Baha memahami fiqh, mulai dari kerangka pesantren, kritik terhadap tekstualisme, integrasi dengan tafsir, hingga relevansi sosial fiqh dalam konteks keindonesiaan.


Footnote:
1. Biografi dan sanad keilmuan Gus Baha dapat dilacak dari pengantar dalam berbagai pengajian beliau, serta dalam buku “KH. Bahauddin Nursalim: Ulama Tafsir dan Fiqh” (Yogyakarta: El Bayan, 2022), hlm. 12–14.
2. Lihat pengajian Gus Baha dalam kajian Tafsir Jalalaindan Fathul Qarib, kanal YouTube Santri Gayeng, ceramah 12 November 2021: “Ngaji Fiqh Itu Harus dengan Adab.”

Konsep Fiqh dalam Tradisi Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki peran penting dalam pewarisan ilmu keislaman, khususnya fiqh. Di lingkungan pesantren, fiqh tidak hanya diajarkan sebagai ilmu hukum semata, melainkan sebagai bagian dari pembentukan karakter, akhlak, dan spiritualitas santri. Kitab-kitab fiqh seperti Safinatun Najah, Fathul Qarib, Fathul Mu’in, hingga I’anatut Thalibin menjadi bacaan utama yang dikaji secara berjenjang sesuai dengan tingkat pemahaman santri¹.

Dalam tradisi pesantren, pembelajaran fiqh dilakukan melalui metode sorogan, bandongan, dan halaqah. Metode ini memungkinkan interaksi langsung antara kiai dan santri, serta membuka ruang pemahaman yang tidak sekadar tekstual, tetapi juga kontekstual. Salah satu ciri khasnya adalah pendalaman terhadap syarh (penjelasan) dari kitab, sehingga makna hukum tidak diambil secara mentah, melainkan melalui penalaran berlapis yang mengedepankan maqashid (tujuan syariah) dan realitas sosial².

Gus Baha merupakan representasi ulama yang tumbuh dan berkembang dalam atmosfer pesantren ini. Sejak kecil ia sudah terbiasa menghafal Al-Qur’an dan mempelajari kitab-kitab klasik di bawah bimbingan langsung ayahnya, KH. Nursalim Al-Hafidz. Tradisi ini dilanjutkan dengan berguru kepada KH. Maimun Zubair (Mbah Moen), di mana Gus Baha semakin mendalami fiqh melalui pendekatan yang luas, menyeluruh, dan tidak terjebak dalam fanatisme mazhab yang sempit.

Menurut Gus Baha, tradisi fiqh di pesantren harus dijaga dan dikembangkan karena ia memiliki karakter keilmuan yang kokoh, adil, dan kontekstual. Dalam banyak ceramahnya, beliau menekankan bahwa fiqh harus dikaji dengan menyelami ruh dan latar belakang hukumnya, bukan hanya sekadar menghafal hukum lahirnya³. Oleh karena itu, Gus Baha sangat menolak sikap tergesa-gesa dalam menghukumi sesuatu tanpa landasan kitab dan akhlak ilmiah yang kuat.

Dengan demikian, fiqh dalam perspektif Gus Baha bukan hanya tentang halal dan haram, sah dan batal, tetapi juga tentang pendidikan akal dan hati. Santri dididik untuk berpikir kritis, bertanggung jawab terhadap dalil, dan bersikap bijaksana dalam menyampaikan hukum kepada masyarakat. Inilah warisan pesantren yang hidup dalam pemikiran fiqh Gus Baha — warisan yang tidak hanya menjaga otoritas kitab, tapi juga menjaga keseimbangan antara teks dan konteks.

Footnote:
1. Lihat: Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 89–95.
2. Gus Baha dalam pengajian kitab Fathul Mu’in, kanal YouTube Ngaji Ilmu, 2022: “Cara Ulama Membaca Kitab Itu Penuh Pertimbangan.”
3. Ceramah Gus Baha, “Fiqh Tidak Boleh Dihafal Mentah”, Santri Gayeng, 2021.

Fiqh sebagai Produk Budaya Ulama
Salah satu pendekatan khas Gus Baha dalam memahami fiqh adalah penekanannya bahwa fiqh merupakan hasil karya intelektual para ulama, bukan teks sakral yang tak boleh digugat. Ia sering mengingatkan bahwa fiqh berbeda dengan Al-Qur’an dan Hadis dalam tingkat kesuciannya, karena fiqh adalah hasil ijtihad manusia — yang bisa benar, bisa juga keliru. Oleh sebab itu, fiqh memiliki unsur historis dan kontekstual yang sangat kuat¹.

Menurut Gus Baha, para ulama terdahulu menyusun hukum-hukum fiqh dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Contohnya, dalam masalah muamalah atau pernikahan, banyak hukum fiqh yang merujuk pada kondisi masyarakat Arab klasik yang sangat berbeda dengan realitas sosial masyarakat Indonesia saat ini². Maka dari itu, penting bagi umat Islam untuk membedakan antara hukum syariah (yang bersifat tetap) dengan fiqh (yang bersifat dinamis dan bisa berubah sesuai konteks).

Gus Baha menyebut bahwa keagungan para ulama terdahulu terletak pada keberanian mereka dalam menjawab persoalan zaman melalui ijtihad yang mendalam. Mereka tidak hanya berpedoman pada teks, tetapi juga memperhitungkan adat, kebiasaan masyarakat, maslahat, dan kerusakan yang mungkin timbul. Dalam ceramahnya, Gus Baha menyebut bahwa ulama seperti Imam Syafi’i sendiri pernah mengubah pendapat fiqhnya saat berpindah dari Irak ke Mesir, karena menyesuaikan dengan perubahan kultur masyarakat³.

Dengan cara pandang ini, Gus Baha ingin agar umat Islam bersikap adil dan tidak membabi buta dalam mengikuti satu pendapat fiqh. Ia mengajarkan agar setiap pendapat fiqh dibaca dengan cermat: bagaimana latar belakang sosialnya, siapa penulisnya, dan dalam konteks apa pendapat itu lahir. Sikap seperti inilah yang menurutnya menunjukkan kedewasaan intelektual dan kesadaran historis dalam beragama⁴.
Gus Baha juga mengkritik keras praktik menyederhanakan hukum fiqh hanya menjadi "ini haram", "itu halal", tanpa memahami proses panjang ijtihad yang melatarinya. Baginya, fiqh bukan sekadar produk hukum, tetapi warisan budaya intelektual yang perlu dikaji dengan sabar, cerdas, dan beradab. Jika tidak, umat Islam justru akan mereduksi khazanah keilmuan ulama menjadi slogan-slogan kosong yang justru menjauhkan makna sejati dari hukum Islam.


Footnote:
1. Ceramah Gus Baha, “Fiqh Itu Produk Budaya Ulama, Bukan Kitab Suci”, kanal Ngaji Santri, 2021.
2. Ibid. Lihat juga pembahasan beliau tentang kebiasaan nikah muda di Arab yang tidak bisa serta-merta diberlakukan di Nusantara.
3. Gus Baha merujuk pada al-Madzahib al-Fiqhiyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, dalam konteks perubahan qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i.
4. Ceramah Gus Baha, “Jangan Taklid Buta Dalam Fiqih”, YouTube El Bayan, 2023.
Kritik Gus Baha terhadap Fiqh Tekstualis dan Kaku
Salah satu ciri menonjol dalam pemikiran Gus Baha adalah keberaniannya mengkritik cara pandang keagamaan yang tekstualis dan kaku. Menurut beliau, banyak orang hari ini terjebak dalam pemahaman fiqh yang terlalu literal, hanya berpegang pada teks hukum tanpa memperhatikan konteks, tujuan, dan hikmah yang terkandung di balik hukum itu sendiri. Padahal, fiqh adalah hasil ijtihad manusia yang seharusnya fleksibel dan mempertimbangkan maslahat (kebaikan) bagi umat¹.

Gus Baha sering kali menyoroti fenomena masyarakat yang terlalu cepat menghukumi sesuatu sebagai “haram” atau “bid’ah” hanya karena tidak sesuai dengan teks atau kebiasaan mazhab tertentu. Ia mengingatkan bahwa sikap seperti ini justru bertentangan dengan semangat para ulama klasik yang selalu membuka ruang diskusi, perbedaan pendapat (ikhtilaf), dan ijtihad. Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha berkata, _“Fiqh itu bukan teks mati. Kalau hanya membaca teks, anak SMA juga bisa. Tapi memahami teks dengan maqashid, hanya bisa dilakukan orang berilmu.”_²

Kritik ini secara khusus ditujukan kepada kelompok-kelompok yang memahami Islam secara legal-formal tanpa mempertimbangkan nilai kasih sayang dan toleransi yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Gus Baha menolak pandangan yang menjadikan fiqh sebagai alat pembatas sosial, yang hanya memisahkan yang "suci" dan "najis", "halal" dan "haram", tanpa membangun etika welas asih dalam masyarakat. Baginya, fiqh semestinya menjadi alat mempermudah, bukan mempersulit.

Selain itu, Gus Baha juga mengkritik metode ceramah atau dakwah yang hanya menyuguhkan potongan hukum fiqh secara lepas, tanpa penjelasan dalil, latar belakang, dan pertimbangan konteksnya. Ia menyebut bahwa gaya dakwah seperti ini membuat masyarakat tidak berpikir, hanya ikut-ikutan dan mudah menyalahkan orang lain³. Ia mengingatkan bahwa tradisi ulama bukanlah menghafal fatwa, tapi menyelami dalil dan memahaminya secara utuh.

Kritik ini bukan berarti Gus Baha menolak fiqh atau otoritas ulama, justru sebaliknya, ia sangat menghormati tradisi keilmuan fiqh. Namun ia menuntut agar fiqh dikaji dengan tanggung jawab keilmuan, adab, dan empati terhadap umat. Hal ini sejalan dengan prinsip raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan) dalam kaidah fiqhiyah yang menjadi landasan utama dalam hukum Islam⁴.

Dengan kritik tersebut, Gus Baha membuka ruang baru bagi generasi muda dan masyarakat umum untuk mencintai fiqh secara sehat — bukan dengan semangat fanatik, tapi dengan semangat memahami, menghargai perbedaan, dan menjadikan fiqh sebagai sumber solusi, bukan sumber konflik.

Footnote:
1. Ceramah Gus Baha, “Jangan Kaku dalam Beragama, Islam Itu Luwes”, kanal YouTube Santri Gayeng, 2022.
2. Gus Baha dalam kajian kitab Fathul Mu’in, pembahasan tentang qiyas dan istihsan.
3. Lihat: Gus Baha, “Fiqh Harus Dihubungkan dengan Rahmat, Bukan Hanya Hukum”, YouTube El Bayan, 2023.
4. Kaidah fiqh: “Al-masyaqqah tajlibut-taysir” dan “ad-dhararu yuzâl” menjadi dasar kritik Gus Baha terhadap fiqh yang menyulitkan umat.

Integrasi Tafsir dan Fiqh dalam Pandangan Gus Baha
Salah satu kekuatan utama pemikiran Gus Baha adalah kemampuannya mengintegrasikan ilmu fiqh dan tafsir dalam satu kesatuan metodologis. Bagi Gus Baha, fiqh tidak boleh dipisahkan dari sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an. Maka dalam banyak pengajiannya, ketika membahas hukum fiqh, Gus Baha selalu mengaitkannya dengan konteks ayat-ayat Al-Qur’an dan pemahaman para mufassir klasik seperti Imam Jalaluddin al-Mahalli, Imam Suyuthi, atau Imam Al-Razi¹.

Menurut Gus Baha, banyak kekeliruan dalam memahami fiqh terjadi karena hukum diambil secara lepas dari semangat Al-Qur’an. Misalnya, dalam kasus pernikahan, warisan, atau muamalah, hukum fiqh sering kali dikutip hanya dari teks kitab, padahal ayat-ayat Al-Qur’an terkait masalah itu justru mengandung dimensi etis, sosial, dan spiritual yang jauh lebih luas. Oleh sebab itu, Gus Baha mengajak umat untuk kembali membaca hukum dengan lensa tafsir agar tidak kehilangan nilai-nilai utama Islam: keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan².

Dalam pengajiannya terhadap Tafsir Jalalain dan Fathul Mu’in, Gus Baha sering memberi contoh bagaimana hukum tertentu dalam fiqh dibentuk berdasarkan pemahaman terhadap lafadz Al-Qur’an yang tidak tunggal. Sebagai contoh, kata daraba dalam Al-Qur’an bisa berarti "memukul", tapi juga bisa dimaknai secara kiasan seperti "menjauh" atau "meninggalkan", tergantung konteksnya. Perbedaan tafsir inilah yang melahirkan variasi hukum dalam fiqh³. Bagi Gus Baha, memahami fiqh harus sejalan dengan semangat tafsir, agar tidak muncul interpretasi kaku yang bertentangan dengan misi rahmat Islam.

Integrasi tafsir dan fiqh ini menunjukkan Gus Baha tidak hanya menguasai teks, tetapi juga memiliki sensitivitas terhadap nilai. Ia menghindari penjelasan hukum yang semata-mata tekstual, dan lebih memilih pendekatan holistik — yaitu dengan membaca hukum dari sisi dalil, maqashid, serta kondisi sosial masyarakat yang hidup di zaman tersebut⁴.

Pendekatan ini juga membuktikan bahwa Gus Baha memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dan bukan hanya sumber hukum. Ia menolak jika fiqh dijadikan dominasi atas wahyu, sebaliknya, ia ingin fiqh tunduk pada nilai-nilai wahyu. Dengan integrasi ini, Gus Baha berhasil menunjukkan bahwa hukum Islam adalah cerminan cinta dan kebijaksanaan Tuhan, bukan sekadar aturan dingin yang memisahkan halal dan haram.

Footnote:
1. Gus Baha sering merujuk pada Tafsir Jalalain, terutama dalam penafsiran ayat-ayat hukum seperti QS. An-Nisa’ dan Al-Baqarah, lihat ceramah “Tafsir Fiqh: Keadilan Islam dalam Warisan”, El Bayan Official, 2022.
2. Ceramah Gus Baha, “Fiqh Jangan Dipisah dari Tafsir Al-Qur’an”, YouTube Ngaji Santri, 2023.3. Lihat perdebatan makna “wadribuhunna” dalam QS. An-Nisa: 34 yang dibahas Gus Baha dalam Tafsir Jalalain.
4. Gus Baha menekankan pentingnya maqashid dalam kajian fiqh, sebagaimana dijelaskan dalam pengajian kitab Fathul Mu’in, 2023.

Relevansi Pemikiran Fiqh Gus Baha dalam Konteks Indonesia Kontemporer
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki tantangan besar dalam penerapan nilai-nilai Islam, khususnya fiqh, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia sangat majemuk: secara suku, budaya, bahasa, dan bahkan keberagamaan internal umat Islam sendiri. Dalam kondisi seperti ini, pemahaman fiqh yang inklusif, adaptif, dan penuh toleransi sangat dibutuhkan. Dan di sinilah letak relevansi pemikiran Gus Baha.

Gus Baha hadir sebagai ulama yang memahami fiqh bukan sekadar alat hukum, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang harus menjaga keutuhan umat dan kebangsaan. Beliau secara konsisten menyuarakan bahwa fiqh harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berbudaya damai, gotong royong, dan berorientasi pada harmoni sosial¹. Fiqh tidak boleh digunakan untuk menyulut konflik, memecah umat, atau menjustifikasi kekerasan dalam nama agama.

Dalam banyak ceramahnya, Gus Baha mengkritik keras kelompok-kelompok yang mengimpor fiqh dari Timur Tengah secara mentah tanpa mempertimbangkan realitas lokal Indonesia. Misalnya, praktik penolakan terhadap adat lokal atau pengharaman budaya daerah sering dilakukan hanya karena tidak sesuai dengan selera hukum luar. Padahal, kata Gus Baha, Islam datang bukan untuk menghapus budaya, melainkan untuk memperbaiki dan menyucikannya².

Lebih lanjut, Gus Baha juga menekankan pentingnya fiqh sebagai sarana membangun peradaban, bukan sekadar aturan teknis. Dalam konteks Indonesia, fiqh harus bisa menjawab isu-isu kontemporer seperti keadilan gender, hak warga negara, distribusi ekonomi, serta hubungan antaragama. Pemikiran fiqh yang kaku dan anti-perubahan justru akan menjauhkan Islam dari generasi muda dan membuat umat kehilangan arah di tengah globalisasi.

Di sinilah pendekatan Gus Baha — yang menggabungkan tafsir, fiqh, dan nilai lokal — menjadi sangat relevan. Ia menawarkan jalan tengah yang harmonis antara kemurnian ajaran Islam dan realitas sosial Indonesia. Fiqh versi Gus Baha tidak menyeragamkan umat, tapi menghargai keberagaman dengan tetap berpijak pada kitab, akhlak, dan keadilan³.

Selain itu, pendekatan Gus Baha juga bisa menjadi model moderasi beragama (wasathiyyah) yang dicanangkan oleh pemerintah dan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama. Dalam pidato kenegaraan dan program moderasi Islam, pemerintah Indonesia menekankan pentingnya ulama yang tidak hanya tekstual, tapi juga kontekstual. Dalam hal ini, pemikiran Gus Baha sangat sesuai untuk membimbing masyarakat Muslim agar tetap beragama dengan tenang, cerdas, dan tidak mudah terprovokasi⁴.


Footnote:
1. Lihat ceramah Gus Baha: “Fiqh Harus Berpihak pada Rakyat, Bukan Menghakimi Mereka”, YouTube El Bayan Official, 2022.
2. Gus Baha, “Islam Tidak Menghapus Budaya Jawa, Tapi Menyucikannya”, pengajian umum di Jepara, 2023.
3. Lihat: Gus Baha, “Fiqh Jangan Jadi Alat Memukul, Tapi Alat Memeluk”, kanal YouTube Ngaji Santri, 2021.
4. Bandingkan dengan konsep Islam Nusantara dan Moderasi Beragama dalam dokumen resmi Kemenag RI (2020), di mana pendekatan Gus Baha menjadi bagian penting dari praksisnya.

Kesimpulan
Fiqh dalam perspektif Gus Baha bukanlah kumpulan hukum yang kaku dan hitam-putih, melainkan sebuah warisan intelektual ulama yang harus dipahami secara mendalam, penuh adab, serta disesuaikan dengan zaman dan konteks masyarakat. Melalui pendekatan pesantren yang kuat, Gus Baha mampu menunjukkan bahwa fiqh adalah hasil ijtihad manusia yang terbuka terhadap diskusi, perubahan, dan perbedaan pendapat. Ia menolak fanatisme mazhab yang sempit, serta mengkritik tajam pemahaman fiqh yang hanya berlandaskan teks tanpa menyentuh nilai dan tujuan hukum Islam.

Integrasi antara tafsir dan fiqh menjadi ciri khas Gus Baha dalam menyampaikan hukum Islam. Baginya, hukum tidak boleh dipisahkan dari semangat wahyu, dan harus selalu berpijak pada nilai keadilan, rahmat, serta kemaslahatan umat. Pendekatan ini menjadikan fiqh terasa lebih hidup, solutif, dan relevan untuk diterapkan di masyarakat modern — khususnya dalam konteks Indonesia yang multikultural.

Pemikiran Gus Baha tentang fiqh tidak hanya penting secara teoritis, tetapi juga praktis. Ia memberikan arah bagi umat Islam untuk beragama secara damai, tidak beringas dalam menyampaikan hukum, serta mampu hidup berdampingan dengan perbedaan yang ada. Dalam era globalisasi dan krisis nilai, pemikiran fiqh Gus Baha menjadi penyejuk yang membimbing umat kembali pada ruh syariat: keadilan, kebaikan, dan kasih sayang.


Daftar Pustaka
1. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 2011.
2. El Bayan Official. “Ngaji Fiqh: Kitab Fathul Qarib”. Diakses 5 Juli 2025. https://youtube.com/@elbayanofficial
3. Gus Baha. Ceramah “Fiqh Jangan Jadi Alat Memukul, Tapi Alat Memeluk”. YouTube Ngaji Santri, 2021.
4. Gus Baha. Ceramah “Islam Tidak Menghapus Budaya Jawa, Tapi Menyucikannya”. Pengajian umum, Jepara, 2023.
5. Gus Baha. Ceramah “Fiqh Harus Dihubungkan dengan Rahmat, Bukan Hanya Hukum”. YouTube El Bayan, 2023.
6. Gus Baha. Pengajian Tafsir Jalalain dan Fathul Mu’in. YouTube Santri Gayeng, 2022–2024.
7. Khallaf, Abdul Wahhab. Al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Kairo: Dar al-Qalam, cet. 3, 1990.
8. Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Kemenag RI, 2020.
9. Tim Penulis El Bayan. KH. Bahauddin Nursalim: Ulama Tafsir dan Fiqh. Yogyakarta: El Bayan, 2022.


Abstrak

Farhan Abdillah Bahar, Hurin Tsaqifa Ilma, Danta Yova

Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah




Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image